SOSOK Ibnu Sutowo punya tempat dalam sejarah perusahaan minyak negara. Dulu, sebelum menjadi Pertamina, namanya Perusahaan Minyak Nasional (Permina). Di kedua perusahaan milik negara itu, Ibnu tetaplah menjadi dedengkotnya. Semasa Permina beroperasi (1957—1968), Ibnu menjabat sebagai direktur utama PN Permina. Di saat yang sama, Ibnu masih perwira militer aktif berpangkat mayor jenderal.
“Ibnu Sutowo ‘Raja Minyak’ Indonesia,” sentil Mahasiswa Indonesia, Minggu ke-III April 1967.
Selain orang nomor satu di Permina, Ibnu juga berkedudukan sebagai dirjen Minyak dan Gas Bumi (Migas) Departemen Pertambangan. Tak heran bila Ibnu punya pengaruh kuat atas jaringan minyak Permina, termasuk mengatur regulasi kebijakan. Dalam posisi itu, sepak terjang Ibnu pun kerap jadi sorotan baik di dalam maupun luar negeri.
Baca juga: Foya-foya Bos Pertamina Ibnu Sutowo
Dalam bidikan pers asing, nama Ibnu santer disebut-sebut terlibat dalam penyelewengan jabatan dan kekayaan Permina. Sementara itu, mingguan Mahasiswa Indonesia menjadi satu dari segelintir media dalam negeri yang cukup berani memberitakan tentang Ibnu. Dalam dua edisinya, media besutan aktivis mahasiswa Bandung itu menyoal peran Ibnu dalam mengelola Permina. Mulai dari tender-tender dengan perusahaan minyak asing, gaya hidup mewah, hingga indikasi penyalahgunaan uang Permina dalam jumlah fantastis.
Ibnu, seperti diberitakan Mahasiswa Indonesia, bersitegang dengan Menteri Pertambangan Ir. Slamet Bratanata. Konflik merebak setelah terjadi perdebatan mengenai prosedur eksplorasi minyak di sepanjang pantai utara Pulau Jawa, Kalimantan Selatan dan Timur. Menteri Bratanata menghendaki pelaksanaannya melalui sistem terbuka (open tender). Sementara itu, Ibnu bersikukuh mengadakan tender tertutup terhadap perusahaan minyak asing yang sudah ditentukannya.
Menurut Bratanata, tender terbuka dalam eksplorasi minyak di Indonesia bertujuan mencapai kembali kepercayaan dunia internasional terhadap pemerintah. Hal ini juga sekaligus untuk mencegah permainan kongkalikong pemberian konsesi eksplorasi dan eksploitasi minyak. Sebagai catatan, Ibnu mengajukan tender tertutup terhadap tiga perusahaan minyak asing yang relatif kecil. Menteri Bratanata kurang yakin perusahaan tersebut bakal mampu meluaskan usaha pembukaan tambang-tambang minyak baru. Itulah sebabnya dia begitu getol agar kontrak eksplorasi ditawarkan secara terbuka kepada semua peminat yang berjumlah 16 maskapai.
Baca juga: Mendulang Sejarah Tambang Nusantara
“Ibu Sutowo dikabarkan menolak mati-matian gagasan menteri itu, dan berdaya upaya keras mengundang campur tangan langsung dari Jenderal Soeharto,” sebut Mahasiswa Indonesia.
Jenderal Soeharto saat itu merupakan pejabat presiden merangkap ketua presidium Kabinet Ampera, juga kolega Ibnu sesama perwira tinggi TNI Angkatan Darat. Hubungan kolegial itu tampaknya memuluskan langkah Ibnu soal urusan tender Permina. Surat keputusan Presidium Kabinet Ampera No. 26/U/Kep/1/1967 tertanggal 31 Januari 1967 menetapkan kedudukan Dirjen Migas di bawah Ketua Presidium Kabinet. Itu berarti Ibnu bukan lagi di bawah menteri pertambangan melainkan Jenderal Soeharto. Atau dengan kata lain, dirjen Migas direbut dari Departemen Pertambangan. Pengistimewaan tersebut menimbulkan tanda tanya besar tentang apa yang sebenarnya terjadi di atas sana.
Kabar miring lagi yang menyeret nama Ibnu ialah soal kegemarannya akan kemewahan. Kediamannya yang terletak di Jl. Tanjung, Menteng, Jakarta Pusat berlantaikan marmer. Saat itu masih jarang rumah orang dilapisi ubin marmer yang menjadi penanda status orang berada. Kabar burung juga banyak yang menyatakan ada keran air di rumah itu yang berbahan emas. Sementara itu, olahraga kesukaan Ibnu Sutowo diketahui adalah golf.
“Karena terlalu gemar main golf, konon ia pernah terbang dengan pesawat dari Jakarta ke Pekanbaru, untuk main golf di kota minyak itu. Ia mempunyai sejumlah mobil pribadi dan mobil kantor, disamping sejumlah pengawal, yang tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Beberapa kali, ia bermurah hati menghadiahkan mobil-mobil milik PN Permina kepada beberapa orang, yang pertimbangan-pertimbangannya tidak diketahui jelas,” demikian diulas Mahasiswa Indonesia.
Baca juga: Bea Cukai Loloskan Mobil Selundupan Robby Tjahjadi
Dari pemberitaan itu, Kejaksaan Agung didorong untuk menyelidiki Permina dan Ibnu Sutowo soal pemborosan dan kebocoran uang negara. Namun, ketika Permina bersalin nama menjadi Pertamina pada 1968, Ibnu masih duduk sebagai direktur utama. Selain Mahasiswa Indonesia, media kritis lainnya, seperti Indonesia Raya, turut gencar memberitakan indikasi penyimpangan dan penyelewengan dalam tubuh Pertamina di bawah kuasa Ibnu Sutowo.
“Kami sudah agak bosan mengulang-ulangi segala rupa pembuktian bahwa kebijaksanaan [Direktur Utama Pertamina] Ibnu Sutowo selama ini di Pertamina merugikan sekali bagi kepentingan negara dan rakyat. Karena itu, kami ingin menyampaikan pembuktian baru bahwa memang keadaan Pertamina selama ini tidak beres dan memerlukan penertiban,” kata tajuk rencana Indonesia Raya, 10 Desember 1970.
Waktu pada akhirnya membuktikan benar terjadi salah urus pada Pertamina. Pada pertengahan 1970-an, utang Pertamina menggunung hingga mencapai 10,5 milyar dolar Amerika. Setelah lama berkuasa, Ibnu akhirnya dipecat dari kedudukan dirut Pertamina, kendati luput dari jeratan hukum atas kerugian sejumlah uang negara.
Baca juga: Pemberantasan Korupsi Setengah Hati Rezim Orde Baru