WABAH penyakit yang melanda Batavia lama (Oud Batavia) pada abad ke-18 bukan satu-satunya faktor kemunduran Kota Tua, yang kerap dipandang sebagai simbol kemakmuran VOC. Penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi yang berperan besar dalam kejatuhan kompeni.
Sejarawan Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun menulis orang-orang Eropa di Batavia sendiri yang berkontribusi terhadap kemunduran ini. “Mereka berpartisipasi dalam bisnis ilegal yang menyebar luas dan menggerogoti monopoli VOC dan keuntungannya. Sebagian dana untuk membangun kediaman-kediaman mewah di luar kota berasal dari usaha-usaha pribadi para pegawai VOC yang menyelundupkan barang dagangan mereka ke dalam kapal-kapal perusahaan, dan menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi,” tulis Susan.
Sementara itu, menurut penulis Amerika Serikat, Willard A. Hanna dalam Hikayat Jakarta, kegagalan menciptakan koloni sejati mutlak terletak pada mentalitas VOC, yang mana tujuan mereka adalah memonopoli dan mengadakan pembatasan-pembatasan yang merugikan diri mereka sendiri atas perusahaan-perusahaan swasta dan perdagangan bebas. “Sejak mulai beroperasi di Hindia Belanda, VOC memerintahkan, atau membiarkan, kaum pedagangnya melakukan kegiatan-kegiatan yang pada akhirnya menyebabkan kegiatan-kegiatan itu tidak dapat dipertahankan lagi dan tidak menguntungkan,” sebut Hanna.
Baca juga: Gubernur Jenderal VOC Jadi Korban Wabah Penyakit
Hanna mencontohkan pedagang-pedagang semula membeli 1 bahar (500 pon) rempah-rempah seharga R$ 45–60 atas nama kompeni, kemudian meminta pada si penjual untuk menyerahkan 550 atau 600 pon. Selisih berat yang berkisar 50 hingga 100 pon itu lalu dikirimkan dengan kapal-kapal kompeni sebagai muatan pribadi dan dijual untuk keuntungan sendiri, dengan membagi keuntungan –bila perlu– dengan kaki tangan mereka.
“Setelah perdagangan rempah-rempah ini lama-kelamaan menjadi lebih teratur, menjadi rutin pula pegawai-pegawai kompeni menuntut 10–20% dari semua pengiriman, memisahkan 10% untuk penguasa daerah dan para pengawas pribumi, dan membeli sisanya dari produsen-produsen yang sebenarnya dengan harga yang telah ditetapkan, yang mungkin berupa satu atau dua meter bahan tekstil/kain murah untuk setiap pekerja,” tulis Hanna. Sistem ini kemudian lebih dikembangkan lagi demi kepentingan pejabat-pejabat kompeni dan para penguasa adat tradisional, namun juga menjadi kerugian bagi VOC itu sendiri dan penduduk umumnya.
Korupsi yang menjalar bagaikan wabah di tubuh kompeni kerap dianggap sebagai penyebab keruntuhan VOC. Ko Unoki dalam Mergers, Acquisitions and Global Empires: Tolerance, Diversity, and the Success of M&A menulis kurangnya tata kelola perusahaan memungkinkan korupsi meluas di antara para pejabat dan pegawai VOC, termasuk para pelaut dan gubernur jenderal, yang secara teratur mengeruk harta karun yang dibeli dan dirampas dari berbagai pelayaran untuk diri sendiri.
“Perlakuan kikir para pelaut, bersama dengan kemampuan para petinggi seperti gubernur jenderal untuk menciptakan daerah kekuasaan pribadi mereka sendiri yang sebagian besar berada di luar jangkauan majikan mereka di Belanda, tak pelak lagi mendorong terjadinya korupsi,” tulis Unoki. Praktik korupsi yang parah membuat VOC diplesetkan menjadi Vergaan Onder Corruptie yang berarti binasa oleh korupsi.
Baca juga: Toleransi Beragama Gubernur Jenderal Joan Maetsuycker
Sejumlah gubernur jenderal VOC yang dituding melakukan korupsi di antaranya Cornelis Janszoon Speelman (menjabat 1681–1684). Speelman, yang lahir di Rotterdam, 3 Maret 1628, dikenal sebagai pemimpin ekspedisi militer untuk ekspansi VOC di Nusantara. Namanya tercatat dalam penaklukkan Kesultanan Gowa dan Makassar, Ambon, Banda, dan Ternate.
Mantan gubernur di wilayah Ceylon (kini Sri Lanka) dan anggota Dewan Hindia itu juga pernah dikirim ke Jawa Timur pada akhir tahun 1676 untuk menangani kericuhan yang ditimbulkan oleh Trunajaya dan Pangeran Puger dari Mataram. Namun, setahun kemudian Speelman ditarik kembali ke Batavia meski perlawanan Trunajaya masih terus berlangsung.
Pada 25 November 1681, Speelman diangkat menjadi gubernur jenderal. Menurut arsiparis dan sejarawan Mona Lohanda dalam Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia masa jabatan Speelman sebagai gubernur jenderal dipandang aman-aman saja oleh orang Belanda. “Keadaan itu boleh jadi karena perlawanan Trunajaya sudah dipatahkan. Ia ditangkap pada Desember 1679 dan pada Januari 1680, Amangkurat II sendiri yang menikam mati Trunajaya,” tulis Mona.
Baca juga: Gubernur Jenderal VOC Dijatuhi Hukuman Mati
Namun, tak lama setelah Speelman meninggal pada 11 Januari 1684, kritik terhadap kepemimpinannya bermunculan. Frederik Willem Stapel menulis dalam “Cornelis Janszoon Speelman”, Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indie (1936), beberapa minggu sebelum kematian Speelman, enam anggota Dewan Hindia mengadakan pertemuan membahas kebijakan gubernur jenderal yang tidak mereka setujui. Keluhan utama mereka berkaitan dengan keterlambatan pengiriman armada pulang ke Belanda, yang mana kebiasaan menunda keberangkatan kapal-kapal tersebut bertentangan dengan keinginan Dewan XVII.
“Jika armada meninggalkan Batavia tepat waktu, mereka dapat tiba di negara asal pada musim panas, yang sangat berharga. Namun, bila kedatangan mereka terlambat dari waktu yang ditentukan, kerugian yang justru akan didapatkan oleh kompeni,” tulis Stapel.
Selain masalah penahanan kapal, ketidakberesan administrasi dan pemerintahan di Batavia turut menjadi sorotan. Speelman dianggap memerintah semaunya tanpa meminta saran maupun berembuk dengan Dewan Hindia. Caranya memanipulasi uang dengan perintah membayar para serdadu yang kenyatannya tidak ada atau pembayaran kerja yang tidak dilakukan pun dibongkar. Tak hanya itu, pasokan lada dari pedagang pribumi juga dibayar dengan murah. “Dengan cara-cara seperti itu ia memanipulasi sejumlah besar uang, ditambah lagi di masa pemerintahannya tidak membawa keuntungan apa-apa bagi VOC,” sebut Mona.
Baca juga: Skandal Putri Gubernur Jenderal VOC
Seakan belum cukup, Speelman juga disebut terlibat dalam perdagangan swasta dan mengumpulkan kekayaan dalam jumlah besar melalui penggelapan dan penyelundupan. Akibatnya, seluruh harta kekayaannya yang ada di koloni disita oleh VOC, namun dipastikan sebagian besar hartanya itu diselundupkan ke Belanda dalam bentuk perhiasan-perhiasan berharga.
Selain Speelman, gubernur jenderal lain yang dituduh korupsi adalah Joan van Hoorn (menjabat 1704–1709). Menantu dari mantan Gubernur Jenderal Willem van Outhoorn itu dipaksa mengundurkan diri sebagai orang nomor satu di Batavia pada 1709 setelah banyak keluhan tejadinya nepotisme dan korupsi.
Tudingan korupsi bukan yang pertama kali dalam keluarga Van Hoorn. Sejarawan Nonja Peters dalam The Christian Slaves of Depok: A Colonial Tale Unravels menyebut tuduhan tersebut juga pernah diarahkan kepada ayahnya, Pieter van Hoorn yang pernah menjabat sebagai anggota Dewan Hindia.
“Gubernur Jenderal Joan Maetsuyker memberhentikan Pieter van Hoorn dari Dewan Hindia atas tuduhan korupsi, dan kekayaan yang konon diwariskan putranya, Joan kepada putrinya Pieternelltje, juga dipandang dengan penuh kecurigaan oleh beberapa penulis,” tulis Peters.
Baca juga: Daendels Hukum Mati Pelaku Korupsi
Gubernur jenderal lain yang juga dituduh korupsi adalah Diederick Durven (menjabat 1729–1732. Menurut Gerrit Knaap dalam Genesis and Nemesis of the First Dutch Colonial Empire in Asia and South Africa, 1596–1811, Durven yang berasal dari Delft terpilih menjadi gubernur jenderal menggantikan Mattheus de Haan. Namun, ia ditarik kembali oleh Dewan XVII pada 1731. “Pria ini bersama dengan direktur jenderal diperintahkan kembali oleh Dewan XVII, menyusul tuduhan nepotisme dan korupsi,” tulis Knaap.
Durven dituding terlibat dalam perdagangan gelap, yang pada masa itu marak dilakukan oleh para pejabat tinggi VOC. Imbas tuduhan itu, Mona menyebut Durven dipecat dari jabatannya sebagai gubernur jenderal pada 9 Oktober 1731, namun baru benar-benar turun dari jabatannya pada 1732. Meski dituding terlibat nepotisme dan korupsi, kasusnya tidak pernah dibawa ke pengadilan sebelum kematian Durven di Delft pada 1740.*