Gubernur Jenderal VOC Dijatuhi Hukuman Mati
Gubernur jenderal VOC dianggap bertanggung jawab atas pembantaian Tionghoa di Batavia. Tak cukup mengundurkan diri, ia juga dijatuhi hukuman mati.
Hakim menjatuhkan hukuman mati kepada Ferdy Sambo, mantan Kadiv Propam Polri, karena terbukti melakukan pembunuhan berencana terhadap ajudannya, Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Sambo dinyatakan bersalah melanggar Pasal 340 KUHP juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Ia juga dinyatakan melanggar Pasal 49 juncto Pasal 33 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Hukuman mati bukan hal baru dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia. Sejarawan dan arkeolog Belanda, Hans Bonke, sebagaimana kutip Alwi Shahab dalam Saudagar Baghdad dari Betawi, menyebut hukuman mati kerap diberlakukan di Hindia Belanda sejak awal abad ke-18, bahkan jumlahnya jauh lebih besar daripada di Belanda.
“Di awal abad ke-18, di Amsterdam yang berpenduduk 210 ribu jiwa, dilakukan lima kali hukuman mati per tahun. Di Batavia yang berpenduduk 130 ribu jiwa, angka ini dua kali lebih besar dan kadang-kadang malah lebih,” tulis Alwi.
Apalagi bila yang terhukum adalah budak. Hakim akan lebih kejam dalam menjatuhkan hukuman. Meski begitu hukuman mati tak selalu dijatuhkan kepada budak. Gubernur Jenderal VOC Adriaan Valckenier (menjabat 1737–1741) juga pernah dijatuhi hukuman mati. Valckenier dianggap bertanggung jawab dalam peristiwa pembunuhan orang-orang Tionghoa di Batavia pada 1740.
Baca juga: Pemberontakan yang Gagal di Akhir Tahun
VOC mengawasi dengan ketat penduduk di Batavia, khususnya orang-orang Tionghoa, setelah terjadi pemberontakan yang gagal yang dipimpin seorang Indo-Eropa, Pieter Erberveld, pada akhir tahun 1721. Untuk mengantisipasi pemberontakan kembali terjadi, VOC melakukan pembatasan terhadap keberadaan orang-orang Tionghoa.
Menurut Benny G. Setiono dalam Tionghoa dalam Pusaran Politik, Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier, atas usul dari anggota Dewan Hindia Gustaf Willem Baron van Imhoff, mengeluarkan peraturan permissiebrieffje atau surat izin bagi orang Tionghoa.
“Pada 25 Juli 1740 dikeluarkan resolusi ‘bunuh atau lenyapkan’. Resolusi ini memerintahkan bahwa semua orang Tionghoa yang mencurigakan tanpa peduli apakah mereka mempunyai surat izin atau tidak, harus ditangkap dan diperiksa,” tulis Benny.
Menurut Susan Blackburn dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun keadaan kian memanas karena VOC menurunkan harga dan kuota produksi penggilingan tebu di sekitar Batavia sebagai tanggapan atas melimpahnya persediaan dalam pasar gula dunia. Kebijakan yang diambil VOC itu menyebabkan ratusan kuli Tionghoa kehilangan pekerjaan dan gerombolan pencuri mulai bermunculan hingga meresahkan masyarakat.
Perasaan saling curiga menyebabkan terjadinya tindak kekerasan pada Oktober 1740. M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200–2008 menulis, berdasarkan bukti-bukti yang diperoleh, VOC menyimpulkan orang-orang Tionghoa tengah merencanakan pemberontakan. “Pihak Cina merasa yakin, VOC akan mengirim kelebihan orang Cina ke luar Batavia dan membuang mereka ke laut segera sesudah mereka melewati ufuk,” tulis Ricklefs.
Akibatnya, situasi di Batavia dan sekitarnya menjadi tegang. Menurut Benny, saat keadaan makin gawat pada akhir September 1740, Valckenier memanggil Dewan Hindia untuk mengadakan sidang darurat. Di hadapan sidang, Valckenier memberi perintah serta kuasa kepada anggota Dewan Hindia Van Imhoff dan Van Arden untuk bertindak. Kekuasaan yang diberikan sang gubernur jenderal digunakan Van Imhoff untuk melakukan serangan saat sekelompok orang Tionghoa merebut posisi pihak Belanda di wilayah Meester Cornelis (kini Jatinegara) dan Tanah Abang pada 7 Oktober 1740.
“Dengan kekuatan yang terdiri dari 1.800 orang serdadu Kompeni yang merupakan seluruh kekuatan di Batavia, ditambah dengan schutterij (penjaga sipil/milisi) dan 11 batalyon pennist (pasukan wajib militer), Van Imhoff mulai melakukan operasi pembersihan,” tulis Benny.
Baca juga: Kepala Kampung Jawa Dihukum Mati dengan Keji
Khawatir orang-orang Tionghoa di dalam kota akan bergabung dengan pihak penyerang, VOC kemudian memberlakukan jam malam dan menggeledah rumah-rumah orang Tionghoa untuk mencari senjata. “Apa yang sebenarnya terjadi sesudah itu tidak jelas, dan kelak hal itu akan menjadi bahan perdebatan yang hangat. Tampaknya Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier mengisyaratkan bahwa pembunuhan besar-besaran terhadap orang-orang Cina bukanlah tidak disetujui,” tulis Ricklefs.
Susan mencatat, ketika orang-orang Tionghoa yang bersenjata seadanya menyerang kota, mereka dapat dengan mudah dipukul mundur. Ironisnya aksi penyerangan itu berdampak kepada orang-orang Tionghoa yang tinggal di dalam kota. “Orang Eropa dan Indonesia secara spontan menyerang, menjarah dan membakar 6.000–7.000 rumah orang Cina dan membantai banyak penghuninya, kemungkinan korbannya lebih dari 1.000 orang Cina. Meskipun tidak memerintahkan tindakan ini, pemerintah sedikit sekali atau tidak melakukan apa pun untuk menghentikannya,” sebut Susan.
Menurut Benny, baru setelah dua minggu lamanya, Valckenier bertindak untuk menghentikan penyerangan terhadap orang-orang Tionghoa di Batavia. Pengampunan umum bagi semua orang Tionghoa diumumkan, peraturan surat izin pun dihentikan. Meski begitu, orang-orang Tionghoa diharuskan tinggal di tempat tersendiri di luar tembok kota.
Baca juga: Daendels Hukum Mati Pelaku Korupsi
Walaupun pembantaian orang-orang Tionghoa di Batavia berhasil diatasi, namun peristiwa itu memicu kegemparan di kalangan orang-orang Belanda, terutama anggota Dewan Hindia. Tak sedikit di antara mereka yang menuntut Valckenier bertanggung jawab atas peristiwa tersebut hingga mendorong mosi tidak percaya kepada Valckenier dalam sidang Dewan Hindia pada 16 Desember 1740. Valckenier merespons mosi itu dengan mengundurkan diri. Ia memutuskan kembali ke Belanda pada 1744, namun kondisi kesehatan yang memburuk membuatnya turun di Cape Town atau Tanjung Harapan, Afrika Selatan.
Di sisi lain, Valckenier mengajukan tuntutan hukum terhadap Gustaf Willem Baron van Imhoff yang kembali ke negeri Belanda. Namun, sidang Heeren XVII justru mengangkat Van Imhoff menjadi gubernur jenderal yang baru. Sementara itu, perintah untuk menangkap Valckenier dikirim ke Tanjung Harapan. Mantan gubernur jenderal itu dibawa kembali ke Batavia pada November 1742 dan ditawan dalam benteng hingga akhir hayatnya.
Menurut Ricklefs, Valckenier didakwa telah melakukan pelanggaran berat dan dijatuhi hukuman mati oleh suatu pengadilan yang diatur oleh Van Imhoff. Ia terhindar dari hukuman penggal kepala karena naik banding. Sahabat-sahabatnya di negeri Belanda juga mengajukan gugatan atas namanya yang tetap belum terselesaikan hingga tahun 1760, setelah kedua pelaku utama ini meninggal dunia: Van Imhoff tahun 1750 dan Valckenier tahun 1751. Putra Valckenier memenangkan gugatan tersebut.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar