Pemberontakan yang Gagal di Akhir Tahun
Pieter Erberveld dijatuhi hukuman berat karena dilaporkan akan melakukan pemberontakan terhadap VOC di akhir tahun.
Malam mulai menjelang saat seorang pria mendatangi sebuah rumah dengan pekarangan luas di kawasan Batavia pada 28 Desember 1721. Setelah diizinkan masuk dan bertemu pemilik rumah, pria itu mengabarkan bahwa ia bersama pasukannya telah siap memasuki kota.
Sejarawan Alwi Shahab dalam Batavia Kota Banjir menulis bahwa kedatangan Raden Kartadria ke kediaman Pieter Erberveld, seorang Indo yang lahir dari ayah seorang pembuat sepatu kaya dari Jerman dan ibu Jawa itu bagian dari konsolidasi sebelum melakukan pemberontakan melawan VOC.
Menurut Raden Kartadria, pemberontakan akan dilakukan di akhir tahun karena di momen tersebut orang-orang kulit putih sibuk merayakan tahun baru dengan pelesir sepuas-puasnya dan minum sampai mabuk-mabukan. Dalam kondisi seperti itu, Raden Kartadria dan pasukannya akan mudah merebut pintu kota dan memasuki benteng di waktu fajar.
Kisah rencana pemberontakan Pieter Erberveld ditulis oleh penulis berinisial P. Bh. berjudul “Pieter Erberveld: Kepala Pertemanan Soempa Djahat di Betawi” yang diterbitkan pada 1889. Menurut sejarawan William Bradley Horton dalam Pahlawan dari Batavia, Narasi Pieter Erberveld Melawan Kompeni kemungkinan penulis kisah tersebut seorang koresponden Sinar Terang, surat kabar dengan target pembaca masyarakat Cina yang terbit mulai 25 Juni 1888.
Baca juga: Kepala Kampung Jawa Dihukum Mati dengan Keji
P. Bh menulis, sejak lama Pieter Erberveld merasa kesal kepada VOC yang tidak mau menggunakan tenaganya karena dia terlalu kaya. Hal itu membuatnya meremehkan VOC hingga kemudian ia mendapat penghinaan dari seorang pedagang bernama Van der Schuur, yang setelah kejadian tersebut membuat Erberveld mencari cara untuk membalas dendam kepada orang Eropa. Namun, perbincangan keduanya (Erberveld dan Raden Kartadria) yang tengah merencanakan pembunuhan terhadap orang-orang Eropa didengar seorang budak yang melaporkannya kepada pihak kompeni.
Kabar mengenai rencana pemberontakan itu disampaikan kepada Gubernur Jenderal Hendrick Hendrick Zwaardecroon, Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-20 (memerintah 1718–1725). Menurut Alwi Shahab, kabar pemberontakan yang sampai ke telinga orang nomor satu di Hindia Belanda itu disampaikan oleh perwira VOC Kapten Cruse yang mendapat informasi tersebut dari seorang budak pada 29 Desember 1721.
“Kapten yang tampan ini melaporkan bahwa satu jam lalu budak Pieter Erberveld memberitahukan bahwa pada malam tahun baru akan terjadi huru-hara besar di Batavia dan Pieter memastikan pada 1 Januari 1722 akan jadi raja di Jawa,” tulis Alwi Shahab.
Baca juga: Kapiten VOC Bernama Joncker
Sementara itu, P. Bh. juga menyebut bahwa Gubernur Jenderal Zwaardecroon menerima peringatan adanya bahaya konspirasi dari Sultan Banten yang tertulis dalam huruf Arab (kemungkinan Pegon). Mendengar kabar tersebut, Gubernur Jenderal memerintahkan anak buahnya untuk melakukan pengusutan dan menangkap orang-orang yang terlibat dalam rencana pemberontakan.
Pada 31 Desember 1721, di kediaman Pieter Erberveld telah ramai sejumlah orang yang bersiap menyerang orang-orang Eropa. Mereka tak menyadari rencana pemberontakan telah terendus kompeni yang bergegas mengepung kediaman Erberveld.
“Tiba-tiba pintu rumah yang dikunci rapat digedor, disertai ringkik suara kuda dan teriakan-teriakan buka pintu. Kapten Cruse dan para serdadu kompeni bersenjata lengkap menyerbu masuk,” tulis Alwi Shahab.
Serbuan itu mengejutkan Pieter Erberveld. Rencana pemberontakan yang telah disusun gagal total. Meski sempat memberikan perlawanan, Erberveld bersama sejumlah orang ditangkap. Menurut sejarawan Susan Blackburn dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun, pada 1722 di ruang penyiksaan, Erberveld mengaku berkomplot untuk menguasai Batavia bersama para pemimpin Jawa. Setelah disidang di pengadilan Batavia, Erberveld dijatuhi hukuman berat.
Baca juga: Pengkhianatan VOC Terhadap Joncker
Alwi Shahab menyebut Pieter Erberveld dan Raden Kartadria mendapat hukuman paling keji. Tangan kanan mereka dikampak sampai putus. Selain itu, besi panas yang memerah karena berapi ditempelkan ke tubuh mereka. Tak berhenti di situ, kepala mereka ditebas hingga putus dan hati mereka dikeluarkan lalu dilempar keluar kota untuk santapan burung.
“Konon, kaki dan tangan Pieter diikat ke empat ekor kuda. Kuda-kuda itu kemudian dipacu untuk berlari ke arah berlawanan untuk mencabik-cabik tubuh Pieter,” sebut Alwi Shahab.
Penangkapan dan proses eksekusi Pieter Erberveld bersama kawan-kawannya sontak mencuri perhatian publik Batavia. Tempat eksekusinya dikenal sebagai Kampung Pecah Kulit. Sebagai peringatan agar tak ada lagi orang yang berani melakukan pemberontakan, di pekarangan rumah Erberveld didirikan monumen yang terukir tulisan dalam bahasa Belanda dan Jawa. Di atas monumen itu ditempatkan relief tengkorak kepala Erberveld yang terbuat dari gips.
Monumen yang berdiri sejak ratusan tahun itu sempat dibongkar di masa pendudukan Jepang. Pada 1970, replika monumen Erberveld tersebut dipasang kembali di Gedung Museum Sejarah Jakarta dan Museum Prasasti, tempat ia dimakamkan.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar