Gubernur Jenderal VOC Jadi Korban Wabah Penyakit
Wabah penyakit yang merebak di Batavia menewaskan ribuan orang. Tak hanya penduduk biasa, dua gubernur jenderal juga turut menjadi korban.
WABAH penyakit yang menyerang penduduk Batavia pada abad ke-18, tak hanya menewaskan ribuan jiwa, tetapi juga mengubah kota itu, dari yang tersohor dengan sebutan Koningin van het Oosten (Ratu dari Timur) menjadi Graf der Hollanders (kuburan orang Belanda).
Ada beberapa pendapat mengenai penyebab Batavia menjadi tidak sehat dan tidak layak dihuni. John Crawfurd, orientalis Skotlandia, beranggapan bahwa kondisi tersebut terjadi akibat keputusan kurang tepat yang diambil VOC saat membangun Batavia.
“Orang Belanda, tanpa menghiraukan perbedaan garis lintang sekitar 45 derajat, memutuskan untuk memiliki sebuah kota dengan model Belanda, dalam jarak enam derajat dari garis khatulistiwa dan di permukaan laut. Sungai tersebar di kota dalam bentuk kanal yang indah namun kemudian kehilangan arusnya, mengendapkan sedimennya yang melimpah, dan menimbulkan penyakit malaria,” tulis Crawfurd dalam A Descriptive Dictionary of the Indian Islands & Adjacent Countries.
Sejarawan Leonard Blussé dalam Persekutuan Aneh: Pemukim Cina, Wanita Peranakan dan Belanda di Batavia VOC menyebut bahwa Dr. J.A. Paravicini yang menyelidiki dengan sangat teliti sebab-sebab angka kematian di Batavia yang mendadak naik sesudah tahun 1733 terjadi akibat Mookervaart.
“Ia tegas-tegas menunjuk sebagai kambing hitamnya adalah Mookervaart, sebuah saluran yang digali pada tahun itu. Namun secara pribadi ia menduga bahwa begitu banyaknya orang-orang yang mati itu mungkin disebabkan oleh pengaruh buruk dari musim yang tak menentu,” sebut Blussé.
Pada 1732, Gubernur Jenderal Diederik Durven memerintahkan penggalian Mookervaart untuk mengatur pasokan air ke kota dengan lebih baik. Namun, penggalian saluran ini justru menimbulkan berjangkitnya wabah dan kematian di kalangan kuli-kuli Jawa penggali tanah serta penduduk di desa-desa sekitarnya. Tak hanya itu, proyek ini juga turut membawa bencana maut tersebut ke Batavia.
Baca juga: Skandal Putri Gubernur Jenderal VOC
Sementara itu, arsiparis Mona Lohanda dalam Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia beranggapan bahwa permasalahan sampah yang menjadi momok bagi pemerintah kota Batavia pada abad ke-18 turut menyumbang kepada munculnya penyakit epidemik yang menimbulkan malapetaka bagi Batavia.
“Siang hari terutama pada saat musim kering kemarau, bau menyengat yang berasal dari kali, kanal, tercium kemana-mana. Sampah rumah tangga, kotoran manusia, buangan sisa kerja pembangunan, bangkai binatang, menjadi satu di dalam sungai atau kali buatan yang sudah semakin tercemar,” tulis Mona.
Akibatnya, pada 1733 penduduk Batavia dikejutkan dengan banyaknya kematian yang menyebabkan jumlah personel atau pegawai VOC menurun drastis. Sebelum tahun 1733, rata-rata 500 pegawai VOC mati setiap tahunnya. Namun, angka kematian pada tahun-tahun berikutnya rata-rata antara 2.000 hingga 3.000 orang per tahun. Mereka menjadi korban penyakit tipus, malaria, disentri, dan beri-beri.
Baca juga: Gubernur Jenderal VOC Dijatuhi Hukuman Mati
Penjelasan mengenai kondisi Batavia yang semakin tidak sehat juga dikemukakan oleh P.H. van der Brug, yang beranggapan bahwa malaria merupakan faktor utamanya.
Van der Brug, sebagaimana dikutip Bondan Kanumoyoso dalam Ommelanden: Perkembangan Masyarakat dan Ekonomi di Luar Tembok Kota Batavia, 1684–1740, menjelaskan, “Nyamuk yang merupakan vektor penyakit malaria termasuk dalam jenis Anopheles sundaicus, spesies air asin yang berkembang biak di perairan payau dekat pantai. Cukup jelas bahwa angka kematian yang tinggi hanya terbatas di daerah pantai. Nyamuk-nyamuk tersebut dapat dengan mudah mencapai kota di dalam tembok, sebab mereka berkembang biak di kolam-kolam ikan yang mengelilinginya. Kolam-kolam ikan ini pertama kali dibangun oleh para nelayan Jawa pada 1729. Namun, karena kolam-kolam ikan air asin membutuhkan beberapa tahun untuk dibangun, para nelayan tersebut tidak menggunakannya hingga 1733. Pada tahun yang sama, Batavia dilanda wabah malaria yang mematikan dan ribuan penduduk asli serta imigran Eropa meninggal.”
Arsiparis Frederik de Haan dalam Oud Batavia Volume 2 memberikan gambaran mengenai kehidupan di kota Batavia saat wabah penyakit merebak pada abad ke-18. Ia menceritakan kisah seorang penduduk bernama Thurnberg yang mengadakan makan malam bersama tiga belas orang kawannya di Batavia pada Juni 1775, sesaat menjelang keberangkatannya ke Jepang. Ketika Thurnberg kembali ke Batavia pada awal Januari 1777, ia mendapat kabar bahwa sebelas dari tiga belas orang kawannya itu telah meninggal dunia. Tingginya angka kematian akibat wabah penyakit yang merebak di Batavia membuat berita kematian seakan menjadi hal yang biasa bagi penduduk di kota itu.
Baca juga: Menjaga Kebersihan Kota pada Zaman Belanda
Bahkan, menurut peneliti dan akademisi Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun, penduduk Batavia seakan tak terkejut dan terpengeruh ketika mengetahui rekan yang kemarin bertemu dengannya hari ini telah meninggal. “Bila mendengar berita bahwa ada kenalannya yang meninggal, biasanya mereka berkata, ‘Ya sudah, dia tidak berutang apa pun pada saya’ atau ‘saya harus menagih utangnya dari ahli warisnya’”, tulis Susan.
Tak hanya memakan korban dari kalangan penduduk biasa, wabah penyakit yang merebak di Batavia juga merenggut nyawa Gubernur Jenderal Dirk van Cloon (menjabat 1732–1735). Pria kelahiran Batavia dan berdarah campuran Asia itu seorang lulusan Universitas Leiden.
Nicholas Johannes Krom dalam Gouverneur Generaal Gustaaf Willem van Imhoff menulis bahwa masa jabatan Van Cloon yang meninggal pada Maret 1735 itu terbilang singkat sebagai seorang gubernur jenderal. “Ia tidak mengalami banyak kesenangan di jabatan tinggi, sebagaimana dibuktikan dengan keluhannya yang berulang-ulang, tidak hanya tentang kondisi kesehatannya yang buruk, tetapi juga tentang ‘pertengkaran dan kekesalan yang tidak menyenangkan’ yang melibatkannya sebagai seorang gubernur jenderal VOC,” tulis Krom.
Selepas kematian Dirk van Cloon, Dewan Hindia tidak bisa bersepakat tentang siapa yang akan menjadi gubernur jenderal selanjutnya, terlebih menurut M.C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Indonesia Modern 1200–2008, kala itu pejabat tinggi VOC terpecah akibat konflik dan banyak berselisih. Guna menemukan pengganti Van Cloon, Dewan Hindia terpaksa melakukan undian untuk menentukan siapa yang akan menjadi gubernur jenderal selanjutnya. Abraham Patras, satu-satunya orang Prancis yang menjabat gubernur jenderal, keluar sebagai pemenang undian tersebut.
Nahas, sebelum Hereen XVII mengabulkan permintaannya agar dibebaskan dari tugasnya, Abraham Patras yang kala terpilih telah berusia senja, meninggal dunia pada 1737. Mona menyebut Abraham Patras menjadi korban penyakit epidemi yang melanda kota Batavia kala itu.
Jabatan gubernur jenderal yang ditinggalkan Abraham Patras menjadi rebutan dua orang anggota Dewan Hindia, yakni Adriaan Valckenier dan Gustaaf Willem Baron van Imhoff. “Pada mulanya Van Imhoff berhasil menjegal pemilihan Valckenier, walau akhirnya pada Mei 1737 yang disebut terakhir itu berhasil juga menjadi gubernur jenderal,” tulis Mona.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar