Gubernur Jenderal Van Imhoff Melarang Mandi di Kali
Sempat dianggap aneh dan memalukan, orang-orang Belanda di Batavia mulai mengadopsi kebiasaan mandi di kali. Kebiasaan ini sempat dilarang gubernur jenderal VOC.
CUACA panas tengah melanda sejumlah negara di Asia tak terkecuali Indonesia. Meningkatnya suhu, menurut Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisikan (BMKG), terjadi akibat gerak semu matahari. Fenomena ini menjadi siklus yang terjadi setiap tahun.
Paparan matahari yang meningkat juga diprediksi sebagai tanda Indonesia akan memasuki musim kemarau pada akhir Mei hingga akhir September. Oleh karena itu, masyarakat yang beraktivitas di ruang terbuka diimbau menggunakan alat pelindung dari terik matahari.
Cuaca panas membuat orang mudah gerah dan berkeringat sehingga lebih sering mandi. Kondisi Indonesia sebagai negeri tropis menyebabkan masyarakatnya terbiasa mandi dua kali sehari.
Baca juga: Kebiasaan Tidur Siang di Masa Lalu
Bagi penduduk Batavia, mandi tak hanya untuk menyegarkan diri tetapi juga menjaga kebersihan. Kebiasaan mandi dilakukan penduduk pribumi dan orang Indo, sementara orang Belanda totok butuh waktu lama untuk yakin mandi merupakan cara menjaga kesehatan dan melindungi dari penyakit tropis.
Ketidaksukaan orang Belanda pada kebiasaan mandi mendorong munculnya peraturan khusus bagi serdadu Kompeni: mereka diminta untuk mandi setidaknya setiap delapan atau sepuluh hari sekali. Meski begitu, menurut ahli sejarah Jakarta, Adolf J. Heuken, S.J, dalam Tempat-tempat Bersejarah di Jakarta, sampai tahun 1775 sebuah dekrit pemerintah pusat melarang memaksa para tentara di garnisun supaya (sekurang-kurangnya) mandi sekali seminggu.
Sebelum mengadopsi kebiasaan mandi setiap hari, orang-orang Belanda menganggapnya aneh dan tak sejalan dengan nilai-nilai kesopanan. “Mereka menjadi malu oleh pemandangan para istri dan gundik yang mandi di sungai Ciliwung,” tulis sejarawan Jean Gelman Taylor dalam Kehidupan Sosial Batavia: Orang Eropa dan Eurasia di Hindia Timur.
Baca juga: Kali Buatan Berbayar di Batavia
Arsiparis Frederik de Haan dalam Oud Batavia Volume 2 menyebut orang-orang Belanda totok benci mandi dan lebih suka memakai pakaian dalam baru untuk menjaga kebersihan diri. Meski sempat dianggap aneh, seiring berjalannya waktu, kebiasaan mandi mulai menjadi kebutuhan bagi orang-orang Belanda. Umumnya penduduk Batavia mandi pada pagi hari. Mereka melangkah pagi-pagi sekali menyusuri tangga menuju kali atau parit.
Menurut De Haan, pada abad ke-17 bukan hal yang aneh bila rumah-rumah di Batavia memiliki akses tempat pemandian di kali. Hal senada disebutkan Heuken bahwa banyak rumah di dekat kali memiliki kamar mandi kecil pada permukaan air dan dari kamar-kamar itu para wanita tanpa malu-malu menyelam ke dalam pemandian umum.
Kebiasaan mandi di kali mengundang perhatian Gubernur Jenderal Gustaf Willem Baron van Imhoff (menjabat 1743–1750). Ia melarang penduduk Batavia mandi di kali dan kanal, bukan karena alasan kesopanan, melainkan karena kali atau kanal kotor lantaran digunakan sebagai saluran pembuangan.
De Haan mencatat, selain tempat mandi dan mencuci, kanal-kanal di Batavia juga berfungsi sebagai selokan terbuka. Meski larangan membuang limbah ke kanal pernah diterapkan pada 1653, namun kebiasaan penduduk membuang sampah ke parit terdekat sulit dihilangkan. Bahkan, tak hanya membuang sampah rumah tangga, pada 1740 membuang kuda dari kandang Kompeni ke sungai sudah menjadi kebiasaan. Bangkai hewan hingga korban pembunuhan tak jarang ditemukan mengambang di sungai.
Terkait penemuan bangkai atau mayat, sebuah perintah sempat dikeluarkan pada 1809: jika bangkai atau mayat kandas di depan rumah seseorang, penghuninya harus mendorongnya kembali ke air. Namun, drainase yang lambat di musim kemarau dan kondisi pasang surut air membuat bangkai atau mayat bisa mengapung berhari-hari sebelum menghilang dari pandangan.
Baca juga: Menjaga Kebersihan Kota pada Zaman Belanda
Menurut Arsiparis dan sejarawan Mona Lohanda dalam Sejarah Para Pembesar Mengatur Batavia, sungai dan kanal di Batavia juga menjadi tempat penampungan curahan segala jenis sisa yang dihasilkan oleh manusia. Hal ini karena rumah-rumah di dalam kota Batavia tidak memiliki kakus, sehingga segala jenis kotoran manusia ditampung pada tempat tertentu dan pada malam hari jam 09.00 yang disebut negenuursbloemen, kotoran tersebut dibuang ke kali atau kanal oleh para budak.
“Aturan ini sudah dikeluarkan sejak tahun 1630, sedangkan yang namanya WC atau kakus dan sistem saluran pembuangan air baru dikenal pada pertengahan abad ke-19 di Eropa,” tulis Mona.
Selain kotoran manusia, sampah rumah tangga juga dibuang ke kali karena aturan membuat dan menempatkan bak sampah di muka rumah baru dikeluarkan pada pertengahan abad ke-19. Peraturan itu dikeluarkan setelah kanal kering sehingga perahu pengangkut sampah tidak mungkin melakukan pekerjaannya.
Baca juga: Kelola Sampah untuk Cegah Musnah
Menurut Mona, sampah telah menjadi momok bagi pemerintah kota Batavia pada abad ke-18. Berbagai peraturan dikeluarkan bahkan berulang kali diundangkan serta diperbarui seperti pengangkutan sampah, penggalian kali maupun kanal yang tertimbun lumpur agar bisa dialiri kembali, namun belum mampu menyelesaikan persoalan sampah di Batavia hingga memicu penyakit epidemik yang menimbulkan malapetaka bagi penduduk Batavia.
Upaya Van Imhoff memperbaiki kebersihan dan kesehatan penduduk kota Batavia pada akhirnya sulit tercapai. Usahanya untuk mendirikan layanan kebersihan dengan sampan gagal. Begitu pula peraturannya yang melarang penduduk Batavia mandi di sungai atau kanal juga sulit diterapkan karena bertentangan dengan kebiasaan kuno, di mana sejak tahun 1643 anak tangga rumah sengaja dibuat di pinggir-pinggir kanal untuk memudahkan penduduk berendam maupun mandi.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar