Kali Buatan Berbayar di Batavia
Seorang Kapitan Cina membangun kali buatan di Batavia. Sampan dan perahu yang lewat kali Molenvliet ini harus membayar tol.
Jakarta dikenal sebagai kota yang memiliki banyak sungai dan kanal. Hal itu berkaitan dengan penataan wilayah Batavia oleh pemerintah kolonial Belanda, yang gemar menggali kali-kali buatan atau kanal-kanal yang disebut grachten. Pembangunan kanal-kanal itu sebagai manifestasi dari kota-kota di negeri asal mereka, yang terbelah-belah oleh beberapa grachten.
Menurut Tanu Trh dalam Kisah Jakarta Tempo Doeloe, jumlah kali di Jakarta mencatat rekor di masa kekuasaan Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Tempo dulu anak sungai, terusan atau parit lebar yang menghubungkan aliran sungai yang satu dengan yang lain, kebanyakan berada di bagian utara kota. Orang Belanda menyebutnya benedenstad atau kota bawah, yakni daerah Mangga Besar ke arah utara.
Penggalian kali-kali buatan bukan hal baru dalam penataan kota Batavia. Pembangunan tersebut tak hanya dilakukan VOC, pihak swasta juga membangun kali-kali buatan dengan seizin VOC. Pembangunan itu biasanya berdasarkan pertimbangan komersial-ekonomis, karena banyak sampan mengangkut barang-barang dagangan melintasi sungai maupun kanal di Batavia.
Tanu menyebut banyak sampan mengangkut barang-barang yang “potong kompas” agar lebih cepat tiba di tempat tujuan. Tak heran sampan kerap terlihat lalu-lalang melintasi kanal atau kali buatan. Perahu atau sampan yang melintas di kali buatan diwajibkan membayar tol kepada pemilik atau pembuat kali-kali buatan tersebut. “Tidak berbeda dengan keadaan sekarang, kalau kendaraan bermotor melewati jalan tol,” tulis Tanu.
Baca juga: Cara Penduduk Batavia Memperoleh Air Minum
Aturan wajib bayar tol salah satunya diberlakukan di bagian kali Ciliwung, yang lurus dari Harmoni ke utara karena dulunya merupakan kali swasta. Sejarawan Alwi Shahab dalam Betawi Queen of The East menyebut kali Ciliwung yang membelah kawasan Jalan Gajah Mada dan Huyum Wuruk merupakan sungai buatan atau sebuah kanal dengan “menyobek” kali Ciliwung yang dialirkan ke sana. Di masa silam, kali ini juga dikenal dengan nama kali Molenvliet, yang dalam bahasa Belanda berarti Molen (kincir) dan vliet (aliran), karena dahulu di kawasan ini terdapat kincir angin meniru sistem pengairan Belanda.
Proyek pembangunan kali Molenvliet berlangsung pada pertengahan abad ke-17. Seorang Kapitan Cina yang dikenal sebagai ahli pengairan, yakni Phoa Beng Gan, ditunjuk sebagai arsiteknya. “Phoa kemudian mengadakan rapat kongkoan (Dewan Tionghoa) yang setuju membiayai penggalian kanal mengingat VOC tidak punya uang,” tulis Alwi Shahab.
Phoa Beng Gan yang memimpin penggalian kanal itu mengerahkan banyak tenaga kerja untuk menyelesaikan proyek tersebut. Manfaat mulai terlihat setelah penggalian kanal sampai ke Jalan Ketapang. Daerah rawa di sekitar kanal itu menjadi kering, sehingga nyamuk-nyamuk anopheles lambat laun mulai berkurang. Banyaknya rawa yang mengering lalu dimanfaatkan sejumlah penduduk untuk membangun rumah dan perkebunan di area sekitar kanal. Hasil panen dari perkebunan itu diangkut dengan perahu-perahu melalui kanal tersebut.
Dalam Ensiklopedi Jakarta: Culture & Heritage Volume 1 yang diterbitkan oleh Dinas Kebudayaan dan Permuseuman Provinsi DKI Jakarta, disebutkan bahwa Phoa Beng Gan mendapat izin dari kompeni untuk membuat kali Molenvliet pada 1648. Ia kemudian memungut tol dari sampan-sampan yang melewati kanal tersebut.
Baca juga: Miras dari Air Kali Ciliwung
Menurut sejarawan Susan Blackburn dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun, kanal ini merupakan sarana angkutan barang dagangan lokal untuk membuka daerah pedalaman. “Sepanjang jalur air ini dibangun banyak kincir air untuk pabrik bubuk mesiu, penggilingan jagung, dan penggergajian kayu. Karena itulah daerah ini dikenal dengan nama Molenvliet atau kanal penggerak kincir,” tulis Susan.
Pada 1654, kali Molenvliet diambil alih kompeni dengan harga 1.000 real. Phoa Beng Gan melepasnya karena pengelolaannya tidak lagi menguntungkan, sehubungan dengan penggalian terusan-terusan baru yang dilakukan kompeni.
Fungsi kali Ciliwung tak hanya sebagai jalur transportasi air. Sampai abad ke-19, air kali Ciliwung masih digunakan penduduk Batavia untuk memenuhi kebutuhan air minum. Seiring berjalannya waktu kali Ciliwung semakin tercemar sehingga tak lagi digunakan untuk air minum. Sampan pengangkut barang yang hilir mudik melintasi kanal itu di zaman kolonial Belanda kini sudah tak terlihat lagi.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar