Cara Penduduk Batavia Memperoleh Air Minum
Penduduk Batavia lebih suka air sumur atau sungai daripada air sumur bor. Orang kaya mengimpor air mineral dari Eropa yang disebut air Belanda.
Beragam air minum kemasan berjejer di rak-rak supermarket maupun mesin pendingin di warung-warung setiap sudut kota Jakarta. Air minum kemasan ini berbagai jenis, mulai dari air mineral, air soda atau minuman berkarbonasi, infused water hingga purified water. Air minum kemasan tersebut dijual dengan harga bervariasi tergantung ukuran.
Salah satu air minum kemasan yang dijual dengan beragam bentuk dan ukuran adalah air mineral yang tersedia dalam bentuk gelas, botol kecil berukuran 330 ml, botol berukuran sedang hingga 1500 ml, serta kemasan galon yang kapasitasnya mencapai 19 liter. Ukuran yang beraneka ragam tersebut menyesuaikan kebutuhan air minum masyarakat.
Air minum kemasan gelas maupun botol biasanya digunakan untuk keperluan acara yang dihadiri banyak orang, seperti pengajian hingga pertemuan atau rapat kerja di perkantoran. Sementara air minum kemasan galon cocok untuk memenuhi kebutuhan air minum konsumen rumah tangga karena kapasitasnya yang besar.
Baca juga: Miras dari Air Kali Ciliwung
Besarnya kebutuhan masyarakat akan air minum membuat sejumlah pengusaha melirik bisnis penjualan air minum kemasan ini. Mereka memasarkan air minum kemasan dengan berbagai kelebihan dan keunikan, baik dari segi rasa maupun ukuran.
Melihat jauh ke belakang, kebutuhan air minum juga merupakan hal yang penting bagi penduduk Batavia. Hal ini terlihat dari tulisan Tio Tek Hong, pengusaha tersohor zaman Belanda, dalam bukunya, Keadaan Jakarta Tempo Doeloe, Sebuah Kenangan 1882–1959. Kala itu, di Lapangan Banteng, yang pada masa itu disebut Waterlooplein, ada sebuah sumur yang airnya jernih.
“Orang Tionghoa suka ambil air sumur itu, karena katanya amat cocok dan baik, terutama untuk menyeduh teh,” tulis Tio Tek Hong. Air sumur itu juga digunakan oleh expert (ahli) teh untuk mengetahui mana teh yang baik dan mana yang tidak baik.
Selain dari sumur di Lapangan Banteng, penduduk Batavia juga mengambil air dari sumur di Kampung Lima (Jalan Asem Lama) yang berlokasi di kawasan Tanah Abang. Sumur yang berada di pekarangan rumah itu airnya jernih. Air tersebut diedarkan dengan gerobak untuk dijual dengan harga f.1.50 per tahang atau tong.
Baca juga: Sejarah Air Minum Kemasan
Air dari sumur itu laris dibeli warga. Menurut wartawan sekaligus sejarawan Jakarta, Alwi Shahab dalam Saudagar Baghdad dari Betawi, hal itu dikarenakan pada masa itu belum ada ledeng. Pada masa itu, penduduk Batavia umumnya menampung air hujan yang disimpan dalam tempayan-tempayan Cina yang besar untuk umum. “Tapi, lebih umum lagi orang membeli air kali yang mudah diambil,” tulis Alwi Shahab.
Air kali dibeli warga dari tukang pijul yang mengedarkannya dengan menggunakan perahu. Air tersebut dijual sepicis (10 sen) per kaleng. Hal senada dituturkan Tio Tek Hong bahwa penduduk di wilayah Kota banyak yang minum air dari sungai di Jembatan Dua yang dianggap bersih dan diedarkan dengan perahu serta dijual seharga sepicis (10 sen) sekaleng minyak tanah.
Pertambahan jumlah penduduk Batavia membuat penggunaan air sungai, sumur, dan air hujan untuk memenuhi kebutuhan hidup menjadi tidak cukup. Pasalnya, masih banyak rumah yang tak memiliki sumur dan jumlah sumur di Batavia masih bisa dihitung jari. Kondisi tersebut membuat masyarakat mencari cara lain untuk memenuhi kebutuhan akan air minum, salah satunya melalui sumur bor (artesische put).
Kemunculan sumur bor ini berkaitan dengan kekhawatiran ancaman penyakit akibat permasalahan sanitasi. Menurut Tio Tek Hong, air minum itu tidak sedikit menjadi sebab musabab, hingga hampir tiap kali musim panas sungai-sungai menjadi dangkal, sehingga dihinggapi berbagai macam penyakit menular seperti cholera, typhus, diptheris dan sebagainya.
Sejarawan Susan Blackburn dalam Jakarta Sejarah 400 Tahun menyebut pada akhir abad ke-19 pemerintah membuat sumur artesis yang lebih dalam, terutama di wilayah-wilayah orang Eropa di kota.
Meski menjadi alternatif, Tio Tek Hong menyebut tak banyak orang yang memanfaatkan sumur bor ini untuk mendapatkan air minum. “Air ini tidak banyak orang yang suka minum, karena sebagai air minum rasanya tidak enak dan bila dipakai menyeduh teh, air teh menjadi hitam,” kata Tio Tek Hong.
Oleh karena itu, meski mudah mendapatkan air sumur bor dengan saluran pipa ke rumah, air kali tetap paling banyak digunakan penduduk. Untuk membersihkan air sungai yang akan dikonsumsi, warga biasanya menggunakan saringan batu kapur (kalksteen), semacam saringan yang memakai kaki (standaard) kayu, di bawahnya air saringan ditampung dengan tempayan kecil.
Sementara itu, menurut Alwi Shahab, guna memenuhi kebutuhan air minum yang aman dikonsumsi, orang kaya mengeluarkan biaya besar untuk mengimpor air mineral dari Eropa yang dikenal dengan sebutan air Belanda. “Sebagian mereka juga menggunakan air dari sumber mata air di pedalaman yang kini banyak beredar dan sudah merupakan minuman sehari-hari,” tulis Alwi Shahab.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar