Tirto Utomo, dari Juru Warta Jadi Pendiri Aqua
Tirto Utomo mendapatkan ide mendirikan perusahaan air minum dalam kemasan secara kebetulan. Merek awalnya Puritas kemudian diganti menjadi Aqua.
Banjir bandang terjadi di Cicurug, Sukabumi, Jawa Barat, pada 21 September 2020. Selain menerjang permukiman penduduk, banjir juga merendam pabrik PT. Aqua Golden Mississippi Tbk. di Jalan Siliwangi, Mekarsari, Sukabumi. Video keadaan pabrik Aqua yang kebanjiran itu viral di media sosial sehingga Aqua menjadi trending topic.
Aqua didirikan oleh Tirto Utomo hampir setengah abad lalu. Sebelum mendirikan Aqua, dia bekerja sebagai wartawan. Setelah bergelar sarjana hukum, dia memutuskan bekerja sesuai bidangnya di perusahaan minyak milik negara. Di sinilah, dia secara kebetulan mendapatkan ide bisnis mendirikan perusahaan air minum dalam kemasan.
Tirto Utomo atau Kwa Sien Biauw lahir di Wonosobo pada 8 Maret 1930. Orang tuanya, Kwa Liang Tjoan dan Tjan Thong Nio menjalankan usaha peternakan sapi perah. Dia menempuh pendidikan dasar di Wonosobo, sekolah menengah pertama di Magelang, dan sekolah menengah atas di Malang.
Menurut Muhammad Henaldy dalam Menjadi yang Terbaik: Perjalanan Penuh Karya Tirto Utomo Pendiri Aqua, di samping sekolah, Tirto juga aktif berorganisasi. Dia menjadi ketua Cung Lien Hui, organisasi pergerakan pemuda Tionghoa, yang memiliki cabang hampir di seluruh Indonesia. Di organisasi ini pula, dia bertemu Kwee Gwat Kien (Kienke), putri bankir senior The Javasche Bank (kini, Bank Indonesia), yang kemudian menjadi pendamping hidupnya.
Baca juga: Sukarno: Wartawan Pekerjaan Gawat
Setelah lulus sekolah menengah di Malang, Tirto melanjutkan kuliah di program ekstensi Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada di Surabaya. Sambil kuliah, dia bekerja sebagai wartawan di Djawa Post.
“Kota Surabaya yang panas tak menyurutkan langkah dan semangatnya, dengan bekal sepeda onthel dengan gesit dia melakukan wawancara dan liputan ke berbagai sumber untuk melengkapi tulisan dan laporan beritanya,” tulis Henaldy.
Meski sambil bekerja, Tirto berhasil menyelesaikan kuliahnya sebagai kandidat sarjana hukum dalam waktu kurang lebih empat tahun pada 1954. Dia kemudian pergi ke Jakarta menyusul kekasihnya, Kienke, yang lebih dulu kuliah di jurusan Sastra Inggris di Universitas Indonesia. Tirto melanjutkan ke Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Mereka menikah pada akhir tahun 1957.
Baca juga: Jalan Panjang Lagu Kebangsaan Indonesia Raya
Berbekal pengalaman bekerja di Djawa Post, Tirto bergabung dengan Sin Po, media massa nasional yang berpengaruh. Bahkan, dia kemudian menjadi pemimpin redaksi selama lima tahun (1955–1959). Sin Po merupakan surat kabar Tionghoa berbahasa Melayu yang terbit sejak Oktober 1910. Awalnya terbit mingguan kemudian menjadi harian pada 1912. Sejarah mencatat, harian inilah yang pertama kali memuat lagu dan notasi Indonesia Raya karya wartawannya, Wage Rudolf Soepratman, setelah diperdengarkan dalam Kongres Pemuda II pada 1928.
Setelah lulus Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Tirto ingin bekerja sesuai kapasitasnya sebagai sarjana hukum. Dosennya, Prof. Dr. Djoko Soetono merekomendasikannya bekerja di Permina, perusahaan minyak negera yang kemudian menjadi Pertamina.
Permina menempatkan Tirto di tambang minyak Pangkalan Brandan, sebuah kawasan pedalaman yang masih berhutan sekitar 90 km dari Medan, Sumatra Utara. Setelah lima tahun bekerja di sana, dia diangkat menjadi kepala divisi hukum dan penjualan luar negeri. Posisi ini membuatnya kerap berhadapan dengan klien dari luar negeri.
Menurut Henaldy, pada 1971, Tirto akan mengadakan perundingan dengan wakil perusahaan Amerika Serikat di Jakarta. Pertemuan penting itu nyaris gagal karena istri ketua delegasi, Mrs. Raymond Todd, tiba-tiba mengalami sakit perut. Dari hasil pemeriksaan, dia mengalami gangguan pencernaan cukup serius akibat minum air kurang bersih.
“Berawal dari peristiwa itu,” tulis Henaldy, “terbersit ide cemerlang dalam benak Tirto Utomo. Sebagai seorang visioner, naluri dan intuisi bisnisnya bergerak dengan cepat, ia melihat adanya peluang bisnis yang begitu hebat di masa depan, namun belum ada yang menggarapnya: menciptakan produk air minum dalam kemasan siap minum yang bersih dan sehat.”
Menurut M. Ma’ruf dalam 50 Great Bussines Ideas form Indonesia, Tirto mengumpulkan saudara-saudaranya untuk mempelajari bagaimana cara memproses air minum dalam kemasan yang waktu itu belum ada di Indonesia. Mulanya, Tirto tidak mengerti sama sekali akan proses pemurnian air. Dia kemudian mengutus adiknya, Slamet Utomo, untuk magang di Polaris, perusahaan air minum dalam kemasan yang sudah beroperasi 16 tahun di Thailand.
“Tidak mengherankan bila pada mulanya semua hal mengenai Aqua menjiplak Polaris. Mulai dari bentuk botol kaca ukuran 500 mililiter sampai merek mesin pengolahan air dan mesin pencuci botol serta pengisi air,” tulis Ma’ruf.
Pada 23 Februari 1973, Tirto mendirikan perusahaan PT. Aqua Golden Mississippi.
Menurut Ma’ruf, Tirto sempat ragu memberi nama perusahaannya yang terdengar asing. Namun, nama itu jelas lebih cocok dengan promosi kualitas air yang dijualnya sebagai pure artesia water.
Baca juga: Sejarah Air Minum Kemasan di Indonesia
Henaldy menambahkan, pilihan nama itu juga tepat untuk meyakinkan pasar yang awalnya menyasar kalangan ekspatriat. Selain itu, kata “Mississippi” dalam bahasa asli Indian memiliki arti father of water.
Untuk nama produk, Ma’ruf menyebut bahwa awalnya dipakai Puritas, dari kata purity, dengan alasan bakal menunjukkan secara langsung makna kemurnian. Namun, konsultan asal Indonesia yang bermukim di Singapura, Eulindra Lim, berpikir lain.
“Menurut dia, nama Aqua mengandung asosiasi yang lebih tinggi terhadap imej air dalam kemasan botol. Lagi pula lidah konsumen tidak mudah keseleo mengucapkannya. Tirto setuju memakai nama temuan konsultannya itu,” tulis Ma’ruf.
“Aqua itu kan kata Latin yang artinya air,” kata Tirto menjelaskan. “Nama marga (she) ikke (saya) kan Kwa. Kalau ditambah A di depannya, jadilah A Kwa atau Aqua.”
Baca juga: Segarnya Sejarah Es di Indonesia
Menariknya, menurut Henaldy, ketika Tirto menjadi wartawan di majalah Pantjawarta, perubahan dari Sin Po, setiap tulisannya selalu dibubuhi nama samaran “A Kwa”.
Ketika orang-orang Tionghoa mengganti nama dengan nama Indonesia pada 1960-an, dia memilih nama Tirto Utomo yang artinya Tirto (air) dan Utomo (utama).
Tirto Utomo meninggal dunia pada 16 Maret 1994.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar