Kelola Sampah untuk Cegah Musnah
Kebiasaan buang sampah sembarangan di Jakarta mengakar dari masa Batavia. Kegagalan mengelola sampah terjadi pada 1960-an.
PRESIDEN Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 35 tahun 2018 tentang percepatan Pembangunan Instalasi Pengolahan Sampah menjadi Energi Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan pada 12 April 2018. Perpres ini meminta keterlibatan sejumlah kota agar mengelola sampah menjadi lebih bernilai guna. Sebelum Perpres ini, bagaimanakah kota besar di Indonesia, semisal Jakarta, mengelola sampah?
Soemarno, gubernur Jakarta 1960-1964 dan 1965-1966, mengingat hari-hari awalnya menjabat gubernur. Hujan turun lebat di Jakarta. Berhari-hari lamanya. Hingga menyebabkan banjir di tujuh kelurahan, melanda kampung-kampung kumuh dan permukiman elite anggota parlemen. Puluhan ribu orang butuh bantuan. Petugas Palang Merah Indonesia turun ke lapangan.
Orang-orang bertanya mengapa bisa banjir separah ini. Soemarno menjawab, “Karena kita sembarangan saja membuang sampah sehingga membuat saluran mampet.” Demikian cerita Soemarno dalam otobiografinya, Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya.
Perilaku jadah membuang sampah sembarangan warga Jakarta bukanlah kebiasaan pendek. Ia telah bermula sejak masa Batavia. Kali dan kanal Batavia pernah menjadi pembuangan guci-guci berisi kotoran manusia pada abad ke-17.
Celakanya pada musim kemarau aliran kali dan kanal mampat. Bau busuk kotoran manusia pun merasuk ke hidung warganya. Karuan Pemerintah Tinggi Batavia melarang perilaku buang guci berisi kotoran ke kali dan kanal sebelum pukul sembilan malam. Kebijakan ini berubah pada abad ke-19. Para petugas kebersihan mengambil guci-guci itu dari rumah penduduk.
Kebersihan kali dan kanal di Batavia lestari. Setidaknya sampai dekade 1950-an, ketika nama kota ini telah berubah jadi Jakarta dan berpopulasi lebih dari satu juta penduduk.
Kenaikan jumlah penduduk berarti kenaikan pula tingkat konsumsi. Dan kenaikan tingkat konsumsi menyebabkan kenaikan produksi sampah.
Walikota-walikota Jakarta sepanjang dekade ini mengerahkan truk-truk untuk mengangkut sampah dari permukiman warga. Tapi tak semua sampah bisa terangkut ke truk. Ada beberapa penyebabnya. Pertama, jumlah truk kurang berimbang dengan produksi sampah harian warga Jakarta. Kedua, keberagaman jenis permukiman warga. Ada permukiman yang punya jalan lebar untuk masuk truk, ada pula yang hanya gang sempit.
Truk mampu merangsek ke permukiman dengan jalan lebar. Truk mengangkut sampah lalu membawanya ke lahan khusus pembuangan sampah di pinggiran kota. Di sini sampah organik membusuk dan dibiarkan begitu saja tanpa diolah. Sedangkan sampah non-organik menjadi buruan tukang keruntung atau pemulung.
Berhadapan dengan permukiman padat dengan gang sempit, truk sampah sulit masuk. Sampah tak terangkut dan membukit sedikit-sedikit di tengah permukiman padat.
Gerobak-gerobak sampah ada di beberapa permukiman padat bergang sempit untuk menjangkau sampah. Tapi jumlah gerobak sampah kalah banyak dari sampah itu sendiri. Petugas kebersihan kewalahan mengangkut sampah-sampah yang membukit itu.
Ketika sampah telah membukit di tengah permukiman padat, bahkan di jalan-jalan ibukota, warga mengarahkan pembuangan sampah ke tempat lain. Tempat itu adalah got-got dan kali-kali di Jakarta. Maka got dan kali menjelma tempat sampah berjalan.
Alwi Shahab dalam Robin Hood Betawi, menulis perubahan kali-kali di Jakarta. Dari tempat mandi dan cuci pakaian sebelum 1950-an, berganti jadi tempat sampah raksasa selepas 1950-an. “Bukan saja ikan tidak dijumpai lagi, bahkan kecebong pun ogah tinggal di Ciliwung,” tulis Alwi, menyebut satu contoh kali rusak akibat perilaku buang sampah sembarangan.
Soemarno menyadari perubahan got-got dan kali-kali di Jakarta pada masanya menjabat. Untuk mengurangi kali dan got penuh sampah, dia meminta warga agar mengurangi produksi sampah dari daun dan kertas. “Sebab itu menimbulkan sampah, dan pembuangan sampah pun memerlukan biaya yang tidak sedikit,” tulis Soemarno. Dia mengingatkan pula bahwa saat musim penghujan, truk-truk akan kesulitan mencapai tempat pembuangan.
Soemarno yakin soal sampah tak bisa kelar hanya dari usaha pemerintah, melainkan juga harus ada kesadaran dari warga untuk mengelola sampah. Maka dia mengerahkan para ketua rukun tetangga dan kampung untuk mengajak warga kerja bakti membersihkan got yang penuh sampah.
“Got-got yang telah dibersihkan jangan disumbat lagi dengan sampah, agar bahaya banjir sedikit mungkin. Banjir dan sampah yang bertumpuk-tumpuk tidak menguntungkan pada perasaan tenang dan aman,” kata Soemarno dalam Djaja, 8 Februari 1964.
Warga menyambut seruan Soemarno. Mereka membersihkan got-got. Bahkan juga jalan-jalan di depan rumah, toko, kantor, dan di dalam pasar. Petugas kebersihan kerja lebih pagi dari biasanya, mengeruk kali-kali dan menyapu jalanan untuk membantu warga membersihkan ibukota dari sampah. Hasilnya lumayan: ibukota terlihat kinclong selama beberapa lama.
Soemarno mengklaim warga dan pemerintah daerah telah berhasil menertibkan sampah keseharian. Tapi di sisi lain, dia juga mengaku belum sepenuhnya kelar mengelola sampah.
Soemarno pernah menyepakati kerja sama dengan pemerintah pusat untuk membangun pabrik kompos. Tapi kerja sama ini putus lantaran pemerintah pusat tak lanjut kucurkan dana pembangunan. Ini berdampak pada pengelolaan sampah di Jakarta.
“Dalam soal pembuangannya dialami kesukaran-kesukaran. Antara lain dapat disebut kegagalan untuk menyelesaikan pabrik kompos yang telah dibeli dari London, yang maksudnya akan mengolah sampah yang terkumpul menjadi pupuk,” tulis Soemarno dalam Karya Jaya: Kenang-Kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945-1966. Padahal menurut Soemarno, pabrik kompos mempunyai manfaat ekonomi jangka panjang.
Soemarno menyatakan sampah adalah soal yang pelik. “Yang banyak seginya dan tidak mudah dipecahkan.” Ia menyangkut kesungguhan pemerintah pusat mengelola sampah, keteladanan pemerintah daerah memberi contoh hidup bersih, dan kesadaran warga kota dalam membuang sampah.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar