Belakangan ini banyak berita menyoroti perilaku aparat bea cukai. Mulai dari gaya hidup oknum petingginya hingga menahan barang dari luar negeri untuk ditebus sejumlah uang. Bagi pejabat nakal, bea cukai adalah ladang yang subur untuk mendulang keuntungan pribadi. Catatan masa lalu membuktikan bahwa bea cukai di Indonesia memang kerap bermasalah.
Pada awal 1970, oknum bea cukai terseret kasus penyelundupan besar-besaran yang melibatkan nama Robby Tjahjadi. Robby telah lama menjadi incaran kepolisian. Sejak 1968, Robby –dibantu kakak sulung dan adik iparnya– menjalankan praktik penyelundupan mobil mewah dari luar negeri ke Indonesia. Mobil-mobil mewah itu meliputi berbagai merek: Mercedes Benz, BMW, Continental, Alfa Romeo, Fiat, Ford, Honda, Holden, termasuk mobil super mewah seperti Rolls Royce dan Jaguar. Kebanyakan berasal dari Hongkong.
“Keras dugaan bahwa Abu Kiswo-lah salah seorang dari yang dikatakan Hakim Siburian (ketika mengakhiri vonis terhadap Robby) sebagai oknum yang banyak memberi bantuan sehingga Robby dapat leluasa melakukan tindak pidana korupsinya,” lansir Tempo, 17 Maret 1973.
Baca juga: Mengurai Sejarah Lembaga Bea dan Cukai
Abu Kiswo adalah kepala Dinas Penyelundupan Bea Cukai Pelabuhan Tanjung Priok. Selain Abu Kiswo, pejabat lain yang turut diusut antara lain Willy Lumagit (kepala Seksi Kendaraan Bermotor) dan Maulana Jadul (pemeriksa pada Dinas Penyelundupan). Mereka merupakan “orang dalam” bea cukai yang memuluskan aksi penyelundupan Robby Tjahjadi.
Menurut prosedur resmi, memasukkan mobil ke dalam negeri bukan perkara mudah. Sejumlah tahapan mesti dilalui. Kelengkapan dan keotentikan dokumen mobil diperiksa terlebih dahulu oleh otoritas pelabuhan. Dokumen berikut mobil tadi kemudian diperiksa di gudang resor bea cukai untuk diteliti oleh kepala Dinas Impor. Setelah dianggap tak bermasalah, dokumen mobil baru disahkan kepala Dinas Pemberantasan Penyelundupan (P2) bea cukai. Sesudah pengesahan barulah mobil bisa dikeluarkan dari pelabuhan.
Namun, prosedur itu tidak berlaku bagi Robby Tjahjadi. Cukup dengan menyogok pejabat bea cukai, mobil selundupan itu bebas melenggang masuk Jakarta. Sepak terjang Robby terus berlanjut hingga Inspektorat Pajak dan Kepolisian. Untuk mempercepat urusan Bea Balik Nama (BBN), MPO, PPN, dan STNK, dia menyuap Direktur Pajak Tak Langsung Hidayat Saleh.
“Saat kasus Robby dikembangkan Bakolak (Badan Koordinasi Pelaksanaan) Anti Penyelundupan, Hidayat yang waktu itu baru saja dilantik menjadi anggota MPR ditangkap polisi dan ditahan,” catat Aris Santoso dkk dalam Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa.
Baca juga: Pejabat Pajak Menyeleweng
Keterlibatan pejabat bea cukai maupun pejabat lain dalam kasus penyelundupan Robby Tjahjadi dibenarkan oleh Kapolri saat itu, Jenderal Hoegeng Iman Santoso. Hoegeng menyebut Robby Tjahjadi memainkan modus operandi atau teknik kejahatan sedemikian canggih, yaitu dengan cara memanfaatkan atau memalsukan paspor diplomatik. Pemegang paspor diplomatik diperkenankan membawa mobil bekas ke Indonesia, serta dikenakan bea impor, dan lain-lain, dalam jumlah lebih kecil daripada mobil impor biasa.
Untuk itu, Robby mengumpulkan atau membeli banyak paspor, kalau perlu memalsukannya. Kerjasama dengan orang bea cukai tertentu memungkinkannya memasukkan mobil-mobil baru. Tim inti penyelundup itu sendiri, menurut Hoegeng hanya tiga orang tapi melibatkan puluhan pejabat tinggi negara.
“Antara lain Abu Kiswo yang Kepala Dinas Penyelundupan Bea Cukai Tanjung Priok, Willy Rumagit yang Kepala Seksi Kendaraan Bermotor BC, Maulana Jadul pemeriksa pada Dinas Penyelundupan, perwira militer, polisi, dan lain-lainnya,” terang Hoegeng dalam otobiografi Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan yang ditulis Abrar Yusra dan Ramadhan K.H.
Baca juga: Hoegeng, Pensiunan Kapolri jadi Seniman
Hoegeng keburu dicopot Presiden Soeharto ketika aktivitas Robby masih dalam pengusutan. Kasusnya kemudian dilimpahkan kepada Bakolak yang dipimpin Kepala Bakin Letjen Sutopo Yuwono, sedangkan Jaksa Agung Muda Ali Said menjadi ketua sub-timnya. Bakolak-lah yang kemudian berhasil membongkar sindikat penyelundupan Robby Tjahjadi.
Pada 21 Oktober 1972, Robby ditangkap saat hendak mengeluarkan Rolls Royce dari Pelabuhan Tanjung Priok. Dia dibekuk bersama kedua adik iparnya, Heru dan Roy Chandra. Pejabat bea cukai yang berkomplot dalam penyelundupan ini juga turut diadili.
Hoegeng mengutip kesaksian pejabat bea cukai yang kemudian menjadi tersangka bahwa setiap tahunnya tak kurang dari 1500 mobil mewah selundupan diloloskan pihak bea cukai di Tanjung Priok. Mobil mewah yang diselundupkan lewat Pelabuhan Tanjung Priok ditaksir berjumlah 3000 unit, dengan imbalan Rp 50.000 per mobil bagi petugas bea cukai terkait. Penyelundupan ini mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 716.243.400. Angka ini terbilang fantastis mengingat tahun itu, ketika uang lama Rp1.000, baru saja dikurs menjadi Rp1.
Baca juga: Mengawasi Anak-Anak Cendana
Robby Tjahjadi dituntut hukuman penjara 10 tahun. Namun, hakim menjatuhkan vonis lebih ringan, yakni 7,5 tahun. Belum sampai separuh jalan masa hukumannya, dia sudah bebas. Robby disebut-sebut punya jaringan dengan Keluarga Cendana, alias keluarga Presiden Soeharto. Setelah keluar dari penjara, dia berkecimpung di usaha tekstil dengan mendirikan Kanindotex. Kendati demikian, namanya identik dengan kasus penyelundupan yang berkolaborasi dengan pejabat bea cukai.