Mengurai Sejarah Lembaga Bea dan Cukai
Pada awal kemerdekaan, urusan bea dan cukai masih meneruskan sistem Belanda. Dibenahi dari waktu ke waktu.
BULAN-BULAN terakhir tahun 1945, Jakarta menjadi tidak aman karena rongrongan tentara Belanda. Ketika pasukan Belanda akhirnya menguasai Jakarta, Presiden Sukarno mengumumkan pemindahan kedudukan pemerintahan ke daerah yang bebas dari gangguan Belanda. Yogyakarta dipilih menjadi ibu kota baru tak lama setelah tahun baru 1946.
Karena tak semua kementerian bisa tertampung di Yogyakarta, Kementerian Keuangan pindah ke Magelang. Bahkan beberapa unit harus berada di tempat lain seperti Pejabatan Pegadaian dan Pejabatan Resi Candu dan Garam yang dipindah ke Surakarta serta Pejabatan Pajak yang pindah ke Prembun (Kebumen).
Pejabatan Pajak mulanya menangani Urusan Bea Cukai beserta Urusan Pajak Bumi. Pejabatan Pajak kemudian dipecah menjadi tiga, yakni Pejabatan Pajak, Pejabatan Pajak Bumi, serta Pejabatan Bea dan Cukai.
Kala itu, Menteri Muda Keuangan Sjafruddin Prawiranegara kesulitan mencari kepala Pejabatan Bea dan Cukai. Sebab, pada masa pendudukan Jepang status pegawai-pegawai bea dan cukai disatukan dengan Pejabatan Pelabuhan. Sebagian mengurusi kepelabuhan dan kepabeanan, sebagian menangani urusan cukai. Sjafruddin menghendaki agar Pejabatan Bea dan Cukai dapat utuh tak terpisah. Orang yang akan memimpin Pejabatan baru ini juga harus punya pengalaman. Nah, Sjafruddin melihat R.A. Kartadjoemena yang masih berusia 31 tahun sebagai sosok yang tepat.
Baca juga: Menghapus Lembaga Keuangan Warisan Kolonial
Menurut Orang Indonesia jang Terkemoeka di Djawa, yang terbit tahun 1944, Mr. Raden Abdoerachim Kartadjoemena lahir di Ciamis pada 16 Juni 1915. Dia lulusan sekolah hukum tahun 1940. Dia pernah bekerja sebagai pegawai kantor Stadsgemeente (Kotapraja) Jakarta, aspiran wakil Inspektur Keuangan Magelang, kepala Kantor Penetapan Pajak Semarang, serta soeperintenden Kantor Lelang Negeri Semarang dan Pati-Syuu.
Kartadjoemena kemudian kembali ke Magelang dan diangkat sebagai wakil kepala Pejabatan Pajak yang dikepalai oleh Soetikno Slamet. Kartadjoemena lalu menjadi kepala Pejabatan Pajak ketika Soetikno Slamet diangkat menjadi kepala Pejabatan Urusan Uang, Kredit dan Bank yang baru dibentuk.
Kartadjoemena akhirnya ditunjuk sebagai kepala Pejabatan Bea dan Cukai. Dia diangkat pada 1 Oktober 1946. Tanggal ini kemudian diperingati sebagai hari kelahiran Bea dan Cukai Republik Indonesia.
Eksistensi Masa Lalu
Pungutan bea dan cukai, atau biasa disebut bea cukai saja, telah dikenal sejak zaman kerajaan-kerajaan Nusantara. Kata “bea” sendiri berasal dari bahasa Sanskerta, sedangkan “cukai” berasal dari bahasa India. Kelembagaannya masih bersifat “lokal” sesuai wilayah kerajaan. Di pelabuhan-pelabuhan di Sumatra dan Jawa, misalnya, biasanya terdapat syahbandar yang menangani bea cukai dan dikepalai seorang pejabat tumenggung.
Ketika Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) mulai memonopoli perdagangan di Nusantara, dikenal “tarif tol” sebagai pungutan untuk aktivitas ekspor-impor. Sedangkan pada masa pendudukan Inggris, pungutan atas keluar masuk barang disebut “sewa boom”.
Pada masa kolonial, pemerintah memiliki lembaga yang bertugas memungut bea untuk barang-barang yang keluar-masuk Hindia Belanda. Namanya Dienst der In-en Uitvoerrechten en Accijnzen (I.U. & A) atau terjemahan bebasnya berarti Jawatan Bea Cukai. Peraturan yang melandasinya antara lain Gouvernements Besluit (Keputusan Pemerintah) No. 33 tanggal 22 Desember 1928 tentang Organisasi Dinas Bea dan Cukai. Organisasi ini kemudian diubah melalui keputusan pemerintah tanggal 1 Juni 1934.
Peraturan perundang-undangan mengenai kepabeanan yang pernah dikeluarkan adalah Indische Tarief Wet (Undang-undang Tarif Indonesia) Staatsblad tahun 1873 Nomor 35, Rechten Ordonnantie (Ordonansi Bea) Staatsblad tahun 1882 Nomor 240, dan Tarief Ordonnantie (Ordonansi Tarif) Staatsblad tahun 1910 Nomor 628.
Sedangkan pungutan cukai mulai dilakukan pada 1886 terhadap minyak tanah berdasarkan Ordonansi 27 Desember 1886, Staatsblad tahun 1886 Nomor 249. Selanjutnya pungutan cukai lainnya diberlakukan terhadap komoditas lain seperti alkohol sulingan (1898), bir (1931), tembakau (1932), dan gula (1933).
Pungutan atas bea sempat berhenti pada masa pendudukan Jepang. Pemerintah mengeluarkan Oendang-Oendang No. 13 pada 29 April 1942. Pasal 2 Nomor 2, seperti diterbitkan Kan Po (Berita Pemerintah) berbunyi: “untuk sementara waktu bea (in en uitvoerrechten) tidak usah diurus.” Namun, cukai tetap diberlakukan untuk tembakau dan minuman keras.
Pascakemerdekaan, ketika Kementerian Keuangan dibentuk pada 19 Agustus 1945, suasana Republik masih genting. Indonesia baru dua hari menyatakan kemerdekaan dan kementerian belum memungkinkan untuk menyusun struktur organisasi beserta cara kerjanya, termasuk bagian Bea dan Cukai.
Pejabatan Bea dan Cukai baru dibentuk pada 1 Oktober 1946 dengan kepala pertama R.A. Kartadjoemena. Sementara peraturan perundang-undangan warisan Belanda tetap diberlakukan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan Undang-undang Dasar 1945, dengan tetap melakukan perubahan dan penambahan sesuai tuntutan zaman.
Baca juga: Kementerian Keuangan di Masa Perang
Di Magelang, Pejabatan Bea dan Cukai berkantor pusat di sebuah gedung sekolah suster. Kartadjoemena sempat mendapat rumah di Magelang, namun ketika di Yogyakarta, dia harus menumpang kepada Kepala Inspeksi Pajak Soerjono Sastrohadikusumo. Sempat pula dia menghuni garasi di Jalan Bromantakan, Solo. Belakangan dia mendapat rumah di Baciro, Yogyakarta, atas kebijakan Sekretaris Kabinet Maria Ullfah.
Saat itu susunan organisasi Pejabatan Bea dan Cukai masih meneruskan gaya I.U. & A. Hal pertama yang dilakukan adalah mengaktifkan kantor-kantor daerah dan cabang yang tersebar di Yogyakarta, Surakarta, Cirebon, Pekalongan, Blitar, Magelang, Kebumen, Kudus, Madiun, Bojonegoro, Tuban, dan Kediri. Daerahnya masih terbatas karena sebagian wilayah diduduki Belanda.
“Tahun 1945-1949 merupakan episode perjuangan tersendiri bagi Bea dan Cukai, lebih-lebih yang ada di wilayah Indonesia yang tidak diduduki Belanda. Tugas Pejabatan Bea dan Cukai pada waktu itu sebagian besar meliputi urusan di bidang cukai saja,” tulis buku Pertumbuhan dan Perkembangan Bea dan Cukai dari Masa ke Masa.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 1948, istilah Pejabatan Bea Cukai berubah menjadi Jawatan Bea dan Cukai, yang bertahan sampai tahun 1965.
Pindah ke Jakarta
Pascapengakuan kedaulatan dan berdiri Republik Indonesia Serikat (RIS), bersama pemerintah pusat, Jawatan Bea dan Cukai turut pindah ke Jakarta. Kantor-kantor Bea dan Cukai di Tanjung Priok, Surabaya, Semarang, Medan, Palembang, Banjarmasin, Makassar, Manado, dan Balikpapan mulai aktif dan berkembang pesat. Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Serikat Nomor 62 Tahun 1950, Kartadjoemena ditunjuk sebagai direktur jenderal Iuran Negara merangkap sebagai kepala Jawatan Bea dan Cukai.
Pada 29 Agustus 1950, jabatan itu diserahkan kepada G.J.E. Tapiheroe. Sejak September 1950, Tapiheroe didampingi oleh A.M. Slawat sebagai kepala muda Jawatan Bea dan Cukai.
Struktur organisasi Jawatan Bea dan Cukai yang menggunakan gaya I.U. & A. masih berlaku hingga 1960 dengan beberapa pengembangan. Unit-unit kerja seperti Biro dan Bagian/Seksi/Umum dibentuk dan tugas, fungsi serta wewenang pejabatnya diperluas.
Baca juga: Mengurai Sejarah APBN Indonesia
Pada 30 Maret 1965, Padang Soedirjo ditunjuk sebagai direktur jenderal Bea dan Cukai. Ini menandai penyempurnaan Jawatan Bea dan Cukai menjadi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Namun, tanpa alasan yang jelas, pada 1966 status Direktorat Jenderal Bea dan Cukai diturunkan dan berada di bawah Direktorat Jenderal Pajak.
“Namun setelah timbul reaksi pimpinan Bea dan Cukai beserta staf langsung menghadap Menteri Keuangan, maka statusnya segera ditetapkan kembali menjadi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,” jelas buku Pertumbuhan dan Perkembangan Bea dan Cukai dari Masa ke Masa.
Pada 1967, melalui Keputusan Menteri Keuangan No. Kep. 207/Men.Keu/67 dibentuk Percetakan Pita Cukai Bhineka Tjarakan. Percetakan ini bertugas menyediakan pita-pita cukai khususnya untuk hasil tembakau serta memproduksi barang cetakan lainnya selama tidak menghambat tugas pokoknya.
Perwakilan Luar Negeri
Sejak 1950-an, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai telah menempatkan perwakilannya di luar negeri. Di Singapura, pejabat-pejabat Bea dan Cukai diperbantukan di Kedutaan Besar RI. Tugasnya memantau perdagangan/barter, lalu lintas devisa, penandasan consular invoice (faktur yang dikeluarkan oleh kedutaan atau konsulat), dan menyampaikan informasi terkait ekspor dan impor.
Menurut buku Pertumbuhan dan Perkembangan Bea dan Cukai dari Masa ke Masa, pada 1962, ketika Indonesia mulai mengkampanyekan konfrontasi dengan negara-negara bentukan Inggris, perwakilan Bea dan Cukai di Singapura pindah ke Konsulat Jenderal RI di Hongkong.
Selain urusan kepabeanan dan cukai, Atase Bea dan Cukai Hongkong bertugas menghimpun informasi soal perpajakan, pasar modal, moneter, perbankan dan berhubungan dengan instansi intel dan narkotika.
Baca juga: Mimpi Buyar Ekonomi Terpimpin Sukarno
Pasca jatuhnya kekuasaan Sukarno dan dihentikannya konfrontasi, pada 1967, pemerintah kembali menempatkan pejabat Bea dan Cukai di Singapura. Tugasnya masih sama, ditambah dengan pembinaan hubungan dengan pejabat keuangan serta bea dan cukai Singapura.
Sejak 1968, pemerintah RI juga menempatkan pejabat Departemen Keuangan/Bea Cukai di Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa di Jenewa, Swiss. Tugasnya mengikuti perkembangan tarif dan perdagangan internasional.
Pemerintah RI juga membuka perwakilan Bea dan Cukai di Kuala Lumpur pada tahun yang sama. Selain itu, petugas Bea dan Cukai ditempatkan di Penang, Melaka, Port Swettenham (sekarang Port Klang), Tawao (Sabah), dan Batu Pahat (Johor). Penugasan di Malaysia ini sejak 1982 secara bertahap dicabut karena tidak lagi efisien dan masalah manipulasi yang sebelumnya terjadi telah teratasi.
Sempat Dibekukan
Pada 6 Juni 1968, Menteri Keuangan dijabat oleh Ali Wardana. Kala itu, terjadi banyak penyelewengan dan korupsi di Bea dan Cukai. Menurut jurnalis Mochtar Lubis, praktik-praktik penyelundupan dan penyelewengan di Bea dan Cukai terjadi karena terjalin kongkalikong antara Bea Cukai dan importir penyelundup.
“Dan kerja Bea Cukai hanya mengadakan ‘denda damai’ belaka yang memuaskan semua pihak yang bersangkutan. Menteri Keuangan patut memeriksa praktik-praktik ‘denda damai’ ini, yang kelihatan telah menjadi satu pola kerja yang teratur,” tulis Mochtar di harian Indonesia Raya, 22 Juli 1969, termuat dalam Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya.
Menurut Mochtar, pimpinan lama harus diganti dengan orang baru yang tak terlibat dalam jaring-jaring vested interest yang telah berakar lama antara Bea Cukai dan importir-penyelundup. Selain itu, perubahan bukan hanya dari sisi kelembagaan, tetapi juga personalia pelaksananya. Namun, nyatanya keadaan demikian bertahan cukup lama.
Ketika Ali Wardana mengunjungi kantor Bea Cukai di Tanjung Priok pada Mei 1971, dia melihat para petugas tengah bersantai. Dia juga mendapati kabar adanya penyelundupan ratusan ribu baterai merek terkenal.
“Padahal, ia baru memberikan tunjangan khusus sebesar sembilan kali gaji. Kenaikan tersebut bukan sembarang hadiah, melainkan disertai tuntutan kenaikan pelayanan dan peniadaan penyelewengan,” tulis Saeful Anwar dan Anugrah E.Y. (ed.) dalam Organisasi Kementerian Keuangan dari Masa ke Masa.
Ali Wardana akhirnya melakukan mutasi pejabat eselon II antar unit eselon I. Pada 1978, direktur Bea dan Cukai digantikan pejabat dari unit eselon beberapa kali. Namun, ternyata cara ini tak memperbaiki kinerja Bea dan Cukai. Penyelewengan dan penyelundupan terus terjadi.
Ali Wardana kemudian diangkat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Pengawasan Pembangunan pada 1983. Sementara Menteri Keuangan dijabat Radius Prawiro.
Perubahan juga terjadi di Bea dan Cukai. Pada 29 Agustus 1983, Radius Prawiro melantik Bambang Soejarto, seorang perwira tinggi Departemen Hankam, sebagai direktur jenderal Bea dan Cukai; menggantikan Wahono yang terpilih sebagai gubernur Jawa Timur. Dalam pidato pelantikan, Radius Prawiro menekankan bahwa para penyelundup “akan kita perangi sampai ke akar-akarnya.”
Apa mau dikata, penyelewengan dan penyelundupan Bea dan Cukai belum lenyap. Keluhan juga datang dari pengusaha, termasuk pengusaha Jepang, mengenai aparat Bea dan Cukai yang ribet, berbelit-belit, dan pada akhirnya melakukan pungutan liar.
Maka, setelah berdiskusi dengan para menterinya dan mendapat penilaian dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang Untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi.
Baca juga: Deregulasi, Cara Orde Baru Mengerek Pertumbuhan Ekonomi
Berpegang pada Instruksi Presiden, diambil keputusan untuk mempercayakan sebagian wewenang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kepada PT Surveyor Indonesia yang bekerja sama dengan sebuah perusahaan swasta asal Swiss bernama Societe Generale de Surveillance (SGS).
Kewenangan itu kemudian dikembalikan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setelah Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan diberlakukan secara efektif pada 1 April 1997, yang kemudian direvisi dengan Undang-undang Nomor 17 tahun 2006 tentang perubahan Undang-Undang Kepabeanan.
Dengan UU tersebut, produk hukum kolonial tidak berlaku lagi. Begitu pula dengan pemberlakuan Undang-Undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai, yang kemudian diubah dengan Undang-Undang Nomor 39 tahun 2007, untuk menggantikan kelima ordonansi cukai lama.
Undang-Undang Nomor 10 tahun 1995 juga memberikan kewenangan lebih besar kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sesuai dengan lingkup tugas dan fungsi yang diembannya.
Era Baru
Sejak Reformasi, Kementerian Keuangan terus melakukan perbaikan termasuk di sektor Bea dan Cukai. Pada 2000, di bawah Menteri Keuangan Prijadi Praptosuhardjo dilakukan penataan organisasi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk mengoptimalkan perumusan dan pelaksanaan kebijakan dan standarisasi teknis.
Perbaikan terus dilakukan dalam beberapa kepemimpinan. Direktorat Informasi Kepabeanan dan Cukai kemudian dibentuk. Sementara Pusat Pengolahan Data dan Informasi Bea dan Cukai (PPDIBC) dihapus dan dilakukan perubahan nomenklatur Direktorat Perencanaan Penerimaan menjadi Direktorat Penerimaan dan Peraturan Kepabeanan dan Cukai.
Untuk memperkuat fungsi pengawasan kepabeanan dan cukai serta mengoptimalkan pencegahan dan pemberantasan penyelundupan, pada UPT Pangkalan Sarana Perhubungan Bea dan Cukai dilakukan perubahan nomenklatur menjadi Pangkalan Sarana Operasi Bea dan Cukai (PSOBC).
Dibentuk pula tenaga pengkaji di lingkungan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai pada 2006 serta beberapa kali penataan instansi vertikal sejak 2009 hingga 2014. Pada 2018, di bawah Menteri Keuangan Sri Mulyani, dilakukan penataan organisasi Pangkalan Sarana Operasi Bea dan Cukai.
“Selain itu, dilakukan transformasi Balai Pengujian dan Identifikasi Barang menjadi Balai Laboratorium Bea dan Cukai sebagaimana diatur dalam PMK Nomor-84/PMK.01/2018 tentang Organisasi dan Tata Kerja Balai Laboratorium Bea dan Cukai,” tulis Saeful Anwar dan Anugrah E.Y. (ed.).
Dengan perbaikan-perbaikan tersebut, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai memainkan peranan penting dalam melindungi masyarakat dan industri dalam negeri serta mengoptimalkan penerimaan negara untuk pembangunan nasional.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar