Menghapus Warisan Kolonial
Untuk mempertahankan kedaulatan, pemerintah membentuk berbagai lembaga keuangan. Dari kementerian hingga bank sentral.
A.A. MARAMIS punya tantangan besar ketika ditunjuk menjadi menteri keuangan pada 2 September 1945. Mengurus keuangan dan perekonomian negara yang baru lahir. Perlahan tapi pasti Maramis bekerja untuk meletakkan dasar-dasar Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Dari struktur organisasi hingga kebijakan-kebijakan awal keuangan Indonesia.
Karena baru saja merdeka, sistem pemerintahan Jepang masih mempengaruhi berbagai lembaga di Indonesia. Gunseikanbu Zaimubu atau Departemen Keuangan Jepang juga menjadi patokan awal Kemenkeu.
“Struktur organisasi Kementerian Keuangan banyak mengambil alih bentuk Gunseikanbu Zaimubu dengan berbagai perubahan agar sesuai dengan negara merdeka dan berdaulat,” tulis Tim Departemen Keuangan dalam Rupiah di Tengah Rentang Sejarah: 45 Tahun Uang Republik Indonesia, 1946-1991.
Tak lama, sistem dan lembaga keuangan tinggalan Jepang segera dibereskan. Pada 29 September 1945, Maramis mengeluarkan dekrit yang mempreteli hak dan kewenangan pejabat pemerintahan tentara Jepang. Baik urusan menerbitkan dan menandatangani surat-surat perintah membayar uang, pengeluaran negara, hingga segala urusan kas negara. Hak dan kewenangan itu diserahkan kepada Pembantu Bendahara Negara yang ditunjuk dan bertanggungjawab kepada menteri keuangan.
Baca juga: Garis Hidup A.A. Maramis
Maramis juga menyusun organisasi Kemenkeu yang pertama; terdiri dari lima penjabatan (eselon) I: umum, keuangan, pajak, resi candu dan garam, serta pegadaian.
Langkah penting lainnya, demi kesatuan alat pembayaran yang sah, Maramis memerintahkan pencetakan Oeang Republik Indonesia (ORI). Kendati mengalami hambatan, usaha itu berhasil dengan terbitnya emisi pertama uang kertas ORI pada 30 Oktober 1946.
Melalui Keputusan Menteri Keuangan tanggal 29 Oktober 1946, ORI ditetapkan berlaku secara sah mulai 30 Oktober 1946 pukul 00.00. Selanjutnya, 30 Oktober disahkan sebagai Hari Oeang Republik Indonesia.
Mendirikan Bank Sentral
Untuk mendukung kedaulatan Indonesisa di sektor ekonomi, diperlukan bank sirkulasi. Pada 19 September 1945, Sukarno-Hatta menandatangani Surat Kuasa Pemerintah Republik Indonesia bertanggal 16 September 1945 sebagai landasan yuridis bagi persiapan pendirian bank sirkulasi: Bank Negara Indonesia (BNI).
Menurut Sri Margana dkk dalam Keindonesiaan dalam Uang: Sejarah Uang Kertas Indonesia 1945-1953, tak semua pihak yang setuju bahwa pendirian BNI merupakan jalan terbaik untuk mendirikan kebijakan moneter yang kuat. Ir. Soerachman Tjorkoadisoerjo, misalnya, menginginkan agar pemerintah menasionalisasi De Javasche Bank (DJB) saja.
Soerachman kala itu menjabat menteri kemakmuran. Sementara DJB merupakan bank sirkulasi Hindia Belanda sejak 1828 sampai dilikuidasi Nanpo Kaihatsu Ginko, bank sirkulasi era pendudukan Jepang.
Baca juga: Pabrik NIMEF dari Kopi Sampai ORI
Tapi pemerintah sudah mengambil keputusan. Untuk mewujudkan impian itu, pada 9 Oktober 1945 didirikanlah Poesat Bank Indonesia (PBI). Badan ini bertugas mempersiapkan pembentukan BNI dan menjalankan kebijakan keuangan sebagaimana bank sirkulasi bekerja.
Selain itu, PBI berperan memberikan kredit dengan bunga serendah-rendahnya dan menjadi pusat penyimpanan uang masyarakat. PBI juga mengeluarkan obligasi, menerima simpanan giro, deposito dan tabungan, serta memberikan informasi dan penerangan di bidang ekonomi.
“Serta merta masyarakat mulai mempercayakan dan menyimpan uang mereka pada bank tersebut. Dalam waktu singkat terkumpulah sebanyak Rp 31 juta (uang Jepang) yang digunakan sebagai modal bank,” tulis Oey Beng To dalam Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I (1945-1958).
Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 2 tahun 1946 tanggal 5 Juli 1946 berdirilah BNI sebagai bank sirkulasi dan bank sentral. BNI diresmikan pada 17 Agustus 1946 oleh Mohammad Hatta di gedung bekas DJB cabang Yogyakarta. PBI pun dilebur ke dalam BNI.
Dalam masa perang, BNI mengalami banyak kesulitan. Tugasnya sebagai bank sirkulasi, bank sentral, sekaligus bank umum cukup berat. Bank baru ini juga harus mengurusi cabang-cabang PBI di Jakarta, Solo, Malang dan Kediri yang beralih menjadi cabang BNI. Sementara Belanda terus merongrong. Urusan keuangan otomatis kena imbasnya. BNI keteteran. Peredaran ORI terhambat dan BNI tak mampu menjangkau beberapa kawasan Republik.
Sri Margana dkk menyebut agresi militer Belanda I mendorong BNI untuk mendesentralisasi sistem keuangan. Pemimpin daerah diberikan kewenangan untuk mengeluarkan uang yang dikenal dengan Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA).
Lalu, setelah serangan Belanda terhadap Yogyakarta dan penangkapan para pemimpin Republik, kantor besar BNI ditutup. Satu-satunya cabang BNI yang masih berfungsi terdapat di Kutaraja, Aceh. Di sini ORI edisi terbaru yang dikeluarkan pada 17 Agustus 1948 dicetak dan diterbitkan dengan tanda-tangan menteri keuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) yang berpusat di Bukittinggi, Sumatra.
“Uang ORI Baru (ORIBA) tersebut hanya mendapatkan sirkulasi yang terbatas di Aceh dan kawasan- kawasan tertentu Sumatera. Tetapi ORI tetap beredar dalam jumlah yang besar di seantero Indonesia, khususnya di wilayah Republiken yang setelah Agresi Militer Kedua telah berada di tangan Belanda,” tulis Sri Margana dkk.
Peran BNI sebagai bank sirkulasi dan bank sentral berakhir melalui keputusan Konferensi Meja Bundar (KMB) tahun 1949.
Nasionalisasi DJB
KMB menetapkan DJB sebagai bank sirkulasi dan bank sentral. “Alasan utama mengapa Belanda menginginkan agar posisi bank sentral dipertahankan oleh DJB dan bukan oleh BNI adalah karena kesepakatan bahwa hutang Hindia Belanda itu diturunkan kepada RI merdeka lewat RIS,” tulis Sri Margana dkk.
Tak semua pemimpin Republik puas dengan penunjukkan DJB. Sumitro Djojohadikusumo yang jadi anggota penuh delegasi Indonesia di KMB salah satunya. Dia menginginkan agar BNI menjadi bank sentral.
“Seperti Simatupang menginginkan tentara Republik menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia), jadi bukan KNIL (Royal Netherlands Indies Army), begitulah saya menginginkan BNI menjadi bank sentral. Simatupang berhasil, sedangkan saya tidak! Betapapun primitifnya TNI, ia adalah tentara kita! Sama juga dengan BNI. Saya merasa, itu adalah bank kita,” ujar Sumitro dalam Pelaku Berkisah.
Baca juga: Agen CIA Merampok Bank Indonesia
Sri Margana dkk menyebut keputusan KMB itu merupakan bukti dari kegagalan BNI. BNI belum siap untuk menjadi bank sentral. Tenaga terdidik amat terbatas. Kemudian kebijakan desentralisasi keuangan dengan membolehkan percetakan ORIDA menunjukkan bahwa BNI tak pernah memiliki kontrol utuh atas arah moneter Indonesia.
“Dibandingkan dengan DJB yang memiliki kemampuan yang lebih profesional, maka beralasan pula bahwa akhirnya DJB pula yang akan ditunjuk sebagai bank sentral RIS,” tulis Sri Margana dkk.
BNI sendiri kemudian menjadi bank umum melalui UU Darurat No. 2 tahun 1955. Namanya berubah menjadi Bank Negara Indonesia 1946 (BNI ’46) setelah dikeluarkan UU No. 17 tahun 1968. Penambahan 1946 menegaskan eksistensi historis bank perjuangan ini.
Baca juga: Perampokan Javasche Bank dan Kisah Resort Gentisville
Tugas-tugas yang sebelumnya diemban BNI pun dilimpahkan kepada DJB. Namun, saat itu pimpinan-pimpinan DJB masih dipegang oleh orang Belanda. Baru pada 15 Juli 1951 pemerintah mengangkat Sjafruddin Prawiranegara sebagai presiden direktur.
Menurut Sri Margana dkk, kendati mendapat mandat, DJB tak pernah sepenuhnya berhasil sebagai bank sentral. Ini karena beberapa alasan. Pertama, DJB merupakan bank swasta dan hanya sebagian dimiliki oleh negara. Kedua, kaitan DJB dengan Negeri Belanda. Pasar uang DJB berada di Belanda. Sebagian besar dari hasil pembagian untung sampai kelebihan likuiditas tabungan ditransfer ke Belanda.
“Hal di atas mengakibatkan DJB tidak bisa mewujudkan dirinya sebagai lenders of last resort, apalagi banker’s bank,” tulis Sri Margana dkk.
Hal itu pula yang mendorong pemerintah untuk menasionalisasi DJB. Di antara pemimpin Indonesia muncul keinginan untuk mengubah warisan ekonomi kolonial menjadi ekonomi nasional. Salah satu caranya dengan menasionalisasi DJB.
Baca juga: Sejarah Lahirnya Bank Syariah di Indonesia
Menurut Moh. Saubari, Sekretaris Jenderal Departemen Keuangan pada awal 1950-an, niat pemerintah itu diumumkan Menteri Keuangan Jusuf Wibisono pada akhir April 1951. Keputusan pemerintah itu kemudian disampaikan Perdana Menteri Sukiman kepada Parlemen (DPR) dalam bentuk saran resmi. Kemudian Komisi Nasionalisasi Bank Jawa dibentuk pada 3 Juli 1951. Komisi ini diberi wewenang untuk mengambil segala langkah persiapan yang diperlukan ke arah nasionalisasi dan merancang perundang-undangannya.
Atas nasihat Komisi, pemerintah memutuskan melakukan nasionalisasi dengan membeli saham dari para pemegang saham dan sertifikat DJB. “Pembelian saham-saham itu berjalan lancar, dan dalam waktu singkat 97 persen seluruh saham sudah terbeli oleh pemerintah,” ujar Saubari dalam Pelaku Berkisah.
Melalui UU No 11 tahun 1953 atau dikenal dengan Undang-Undang Pokok Bank Indonesia (UUPBI), DJB diganti dengan badan baru, yakni Bank Indonesia (BI), yang bertindak sebagai bank sentral. Sesuai tanggal berlakunya UUPBI, 1 Juli kemudian diperingati sebagai hari lahir BI.
Peralihan dari DJB ke BI tidak berjalan serta-merta. Hal ini terutama karena tenaga ahli dan kader-kader dalam jajaran pegawai BI masih terbatas. Dalam “Kursus-kursus Bank Indonesia di Masa Awal" yang dimuat lama bi.go.id disebutkan, dari segi kepegawaian, misalnya, dari delapan jabatan direktur muda, tak ada satu pun yang dijabat orang Indonesia. Begitu pula dari 32 pejabat di kantor pusat, hanya empat pejabat Indonesia.
Baca juga: Kasus Bank Vanuatu di Indonesia
Melihat keterbatasan itu, Sjafruddin Prawiranegara selaku gubernur BI pertama menyelenggarakan kursus-kursus dan praktik kerja (job training) di kantor pusat BI dan di luar negeri. BI juga menyelenggarakan kursus pengawasan dan pemeriksaan bank lewat program “bank examination course”.
Setelah BI berdiri, terdapat dua macam uang rupiah yang berlaku sebagai alat pembayaran yang sah, yang diterbitkan pemerintah (Kemenkeu) dan BI. Pemerintah menerbitkan uang kertas dan logam pecahan di bawah Rp5, sedangkan BI menerbitkan uang kertas dalam pecahan Rp5 ke atas. Sesuai UU No. 13 tahun 1968, demi keseragam dan efisiensi, BI diberikan hak tunggal untuk mengeluarkan uang kertas dan uang logam.
Saat ini, uang rupiah memuat tanda tangan pemerintah (dalam hal ini menteri keuangan) dan BI berdasarkan UU No. 7 tahun 2011 tentang Mata Uang.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar