Perampokan Javasche Bank dan Kisah Resort Gentisville
Bagaimana sebuah rencana bisnis ambisius dari dua bersaudara justru harus menggiring mereka ke balik terali penjara
“..Sjahdan pada soeatoe hari
Kira lohor, liwat tengari
C.M Gentis sigra berlari
Baroe Ketaoean dia Pentjoeri..”
Itulah petikan dari Sjair Java Bank Dirampok yang ditulis oleh Ferdinand Wiggers sekira 1902-1903. Syair tersebut diterbitkan oleh Khong Tjeng Bie & co pada 1922. Selain Wiggers, syair setema pun ditulis dalam aksara Jawi oleh Ahmad Beramka pada 1909. Judulnya: Sair Tuan Gentis di Betawi. Nyatakah kisah itu?
Syahdan, pada sekira akhir November 1902, masyarakat dihebohkan dengan sebuah perampokan yang gagal di Batavia. Tak tanggung-tanggung, para perampok perlente itu membobol Javasche Bank (bank sentral kala itu). Dengan memakai rambut dan jenggot palsu, mereka menjalankan aksinya tepat di tengah siang hari bolong.
Tak aneh jika media-media di Hindia Belanda meliput peristiwa itu dan menuliskannya dari berbagai sudut cerita: mulai dari rencana perampokan hingga penangkapan dan proses pengadilannya. Soerabaijasch handelsblad terbitan 24 November 1902 misalnya membuat judul “De diefstal bij de Javasche Bank” atau “Perampokan di Bank Java".
Baca juga: Bandit-Bandit Kakap di Batavia
Dikisahkan, bak dalam film-film koboy, sang rampok yang bergaya seperti orang Inggris itu, memulai aksinya dengan turun dari delman dan berhenti depan Javasche Bank (selanjutnya disebut JB) yang terletak di kawasan Pintu Besar, Batavia. Petugas JB yang semula menyambut ramah tidak menyangka jika kemudian “sang tamu perlente” itu mencabut sepucuk pistol dan menodongnya. Setelah semua terkuasai, tanpa ragu sang rampok menggasak sebuah tromol berisi uang. Seorang petugas bernama Reijnst bersama seorang opas berusaha mengejar sang rampok. Sayang, sebuah tembakan dari sang rampok nyaris mengenai tubuh opas hingga menghentikan langkah mereka.
Dari runutan syair Wiggers yang dikutip dalam bukunya Njai Isah dan Cerita Lainnya, peristiwa pelarian sang perampok tidak jauh berbeda dengan yang dilansir oleh media saat itu seperti Bataaviasch Niuewsblaad terbitan 24 November 1902. Sang rampok kemudian membajak sebuah delman berpenumpang dan membawanya kabur. Terjadi sedikit ketegangan karena sais dan penumpangnya panik. Seorang perempuan Tionghoa yang berada dekat delman pun menjadi korban tembakan sang rampok. Delman terus dilarikan ke Jembatan Merah, dimana rekan sang rampok bergabung. Selanjutnya mereka melaju melalui Menteng. Di Kramat, mereka kemudian mengganti delmannya dengan kereta yang ditarik dua kuda lantas kabur ke arah Bogor.
Polisi terus melakukan pengejaran dengan dibantu masyarakat. Di kawasan Ciluar, kereta sempat beristirahat namun lari kembali karena ketahuan oleh kontrolir polisi bernama Johan. Kejar-kejaran pun terjadi hingga dini hari. Jam 6 pagi, di Kedunghalang, kuda-kuda yang menarik kereta sang rampok kelelahan. Dalam situasi seperti itu, salah seorang rampok berhasil meloncat kabur, sedangkan yang satunya tertangkap lalu diinterogasi. Uniknya dalam syair Wiggers disebutkan bahwa sang interogator adalah Adolf Wilhelm Verbond Hinne, schout (kepala polisi) wilayah Tenabang sekaligus penembak mati si Pitoeng, jagoan legendaris Betawi yang dikejar-kejar polisi Hindia Belanda.
Baca juga: Mencari Sejarah Si Pitung
Namun dari interogasi itu diketahuilah bahwa rampok yang tertangkap bernama Herman Gentis. Dari sakunya disita uang sejumlah 4.000 gulden sedangkan di dalam kereta ditemukan uang 8.750 gulden. Sementara rampok yang kabur ditengarai adalah adik kandungnya yang bernama Cornelis Mauris Gentis, Dialah yang menodongkan senjata pada petugas JB.
Nahas buat dia, saat kabur ke sebuah perkebunan kopi, penjaga kebun berhasil mencegatnya. Dia kemudian melarikan diri ke arah Bogor namun di gardu penjagaan lagi-lagi dia dicegat sehingga dia mengeluarkan tembakan. Akhirnya Camat Sukasari turun tangan dan ikut mengepung Cornelis sampai tertangkap. Karena terus melawan akhirnya salah seorang penduduk memukul kepalanya dengan tongkat sehingga dia terluka parah.
Dari secarik surat yang Herman tulis kepada penyidik, akhirnya diketahui bahwa perampokan tersebut memang sudah direncanakan. Dan yang paling mengejutkan, kedua rampok itu ternyata bukan orang sembarangan. Mereka adalah pemilik Gentis, sebuah perusahaan terkemuka saat itu, yang belum lama tiba di Hindia Belanda.
Awalnnya, Cornelis bekerja di tempat Herman yang terletak di Menteng. Dia kemudian bekerja di empat perusahaan selama dua tahun sebelum kemudian menetap di Pelabuhanratu, Sukabumi selatan. Sang kakak juga mempunyai bisnis penggilingan padi di Cisaat, Sukabumi. Karena terbiasa saling membantu satu sama lain, mereka banyak mendirikan perusahaan. Salah satunya dalah Firma Gentis en Co, sebuah perusahaan yang menerima deposito nasabah untuk investasi dengan iming-iming bunga yang besar. Salah satu proyek besar perusahaan itu adalah pembangunan sebuah kota resort internasional di Pelabuhanratu Sukabumi pada 1900. Resort itu diberi nama Gentisville.
Sebelum insiden JB, sang adik baru saja dirawat di Rumah Sakit Cikini dan masih dalam masa pemulihan. Herman kemudian memberitahu Cornelis bahwa perusahaannya sudah bangkrut dan mengajak melakukan aksi gila: merampok bank. Beberapa hari sebelumnya Herman membeli dua pucuk pistol dan menyerahkan salah satu senjata itu kepada Cornelis. Dia juga membeli jenggot palsu dan rambut tiruan untuk menyamarkan penampilan mereka saat melakukan aksi.
Banyak orang bertanya-tanya, apa yang menyebabkan kebangkrutan perusahaan mereka hingga keduanya jadi memiliki ide gila: melakukan perampokan terbesar dan paling berani pada zamannya. Dari hasil interogasi intens, terungkaplah bahwa motif mereka dipengaruhi kegagalannya dalam proyek besar di Pelabuhanratu. Proyek tersebut didanai para investor yang salah satunya adalah R.A Eekhout seorang tokoh perkeretaapi-an yang mantan perwira Angkatan Laut sekaligus Direktur Wijnkoopsbaai Exploratie Maatschappij di Pelabuhanratu Sukabumi.
Baca juga: Hikayat Pelabuhan di Selatan Jawa
Pelabuhanratu merupakan tempat yang menarik sejak dulu, para peneliti banyak yang datang ke tempat tersebut. Sebut saja salah satunya adalah peneliti terkemuka F.W. Junghuhn. Dia pernah datang ke Pelabuhanratu dan meneliti selama 6 hari pada Juli 1837. Pemerintah Hindia Belanda juga membuka pelabuhan internasional sehingga kapal-kapal besar berdatangan. Bahkan pada 1 Januari 1862, Palabuhanratu ditetapkan sebagai kota pantai melalui Staatsblaad no 33 tahun 1862. Penutupan Pelabuhanratu untuk kapal-kapal dagang internasional sejak 1 Oktober 1875, tak menyurutkan pesona tempat tersebut. Orang-orang tetap berdatangan baik untuk istirahat, berekreasi maupun melakukan penelitian.
Mengetahui potensi wisata tempat itu, Herman dan Cornelis berencana membuat sebuah kota resort internasional bernama Gentisville. Dengan kepiawaiannya berbicara dan penampilannya yang menarik, mereka berhasil menggaet banyak investor untuk mendanai proyek besar tersebut. Eekhout yang menjadi pegawai pemerintah ikut memuluskan ijin-ijin proyek pembangunan kota resort Gentisville.
Seperti apa rupa kota resort Gentisville ini? Dari brosur terbitan De Bussy Amsterdam, disebutkan bahwa Gentisville adalah kota resort dengan pemandangan alam yang sangat indah. Resort tersebut dijelaskan sebagai resort pemandian air laut dan sungai di Wijnkoopsbaai (Gentisville, zee- en rivierbadplaats aan de Wijnkocpsbaai, Overzicht van eene reclame-brochure, 1902). Brosur tersebut ditulis dengan Bahasa yang cukup bombastis:
“Di dunia ini anda bisa menemukan segala sesuatu, kecuali untuk beberapa tempat indah dan membahagiakan di mana Gentisville berada, dengan pantai berpasir dan berbatu, iklim laut dan pegunungan yang nyaman, anda bisa pergi jauh ke sungai atau ke pantai Mediterania, padahal yang anda cari hanya beberapa jam dari ibu kota Hindia”.
Gentisville dianggap sebagai proyek raksasa yang ambisius, bahkan konon keluarga Gentis merencanakan akan membangun kota serupa bernama Gentisland di Cape Town, Afrika Selatan dan Greenland. Dalam rencana awalnya, Gentisville akan terintegrasi dengan wisata laut serta pemandian air panas di Cisolok. Tak tanggung-tanggung beberapa hotel akan dibangun di Cisolok termasuk salah satunya Hotel Brunnen milik Eekhout. Sekitar tiga puluh rumah mewah ala Eropa akan dibangun lengkap dengan pasokan listrik, air, penerangan jalan serta pabrik es.
Baca juga: Bandit-Bandit Kakap Batavia dan Sekitarnya
Dalam laporan News of the Day edisi Mei 1902 antara lain disebutkan: bangunan-bangunan di Gentisville akan memiliki ruang depan, ruang percakapan, ruang bermain bilyar dan lain lain. Selain akan diadakan gedung pertemuan juga akan dibuat sebuah bangunan lantai kayu dengan 16 kamar tamu berukuran 5x6 meter. Lantai kamar akan ditutupi dengan linoleum, lantai salon dengan karpet, dinding diplester akan ditutupi dengan kulit imitasi di atas bingkai kayu serta ornamen lainnya.
Brosur-brosur yang disebar memang cukup membius para investor, salah satunya ditulis: “Nikmati sesekali, bahkan jika hidup anda belum jadi jutawan, anda bisa menikmatinya Bersama kami bak seorang jutawan”. Kalimat lain disebutkan bahwa Gentisville ini adalah surganya anak-anak dengan beragam keunggulan. Hanya butuh dua jam untuk menikmati pemandangan laut yang indah dari hotel di Gentisville. Untuk keperluan transportasi tersebut, mobil khusus yang disebut Omnil mobil disediakan di Cibadak dan Kota Sukabumi.
Dalam majalah bulanan Tijdschrift voor Nijverheid en Landbouw in Nederlandsch-Indië (edisi I-1900) disebutkan bahwa Eekhout sebagai rekanan akan mengimpor puluhan mobil ke Gentisville serta mendatangkan rijkshaw (semacam becak yang ditarik manusia) sebagai media transportasi dalam kota. Dalam nada optimis, Eekhout bahkan pernah bilang:
"Dan aku tidak akan terkejut jika tahun depan banyak perempuan muda dan tua mengenakan kimono ala Madame Chrysantheme (tokoh novel yang ditulis Pierre Loti pada 1887) menaiki rijkshaw. Ini akan mengubah suasana Pantai Gentisville yang segar seperti buket bunga berwarna-warni".
Bahkan untuk menunjang kebutuhan resort, selain transportasi darat, kapal juga direncanakan akan tersedia untuk membawa wisatawan ke banyak destinasi hingga Ciletuh dan Cikepuh. Tanpa rasa curiga pada mitra bisnisnya, Eekhout terus mengkampanyekan Gentisville untuk menarik investor tambahan. Dibuatlah spanduk besar bertuliskan Vivat Gentisville: “Front to the Ocean”.
Upaya Eekhout berhasil menarik minat kepala pelayaran Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM). Pada September 1902, dia membawa kapalnya berlabuh Gentisville. Bahkan Wakil Presiden Dewan Hindia, Mr. Th. H. Meester, Direkteur Pendidikan, Agama dan Industri, Mr. J.H. Abendanon, Staf Umum KNIL Letnan Kolonel J.A.P. Grevers ; Staf Angkatan Laut W. C.J. Smit; Kepala agen KPM, Mr. E.G. Taijlor juga pernah datang. Tak lupa mereka pun membawa serta istri-istrinya.
Baca juga: Awal Mula Pariwisata di Indonesia
Kapal KPM pun akhirnya menurunkan rijkshaw di Gentisville atas permintaan Eekhout. Rumah-rumah mulai dibangun seolah proyek berjalan lancar, namun sayangnya proyek mengalami masalah besar. Bulan Agustus 1902 Gentisland terbakar hebat tanpa sebab yang diketahui. Semua bangunan terbakar dan hanya menyisakan puing. Dua bangunan tersisa hanya pesanggrahan di Tenjoresmi (sekarang menjadi Istana Presiden Tenjoresmi) dan sebuah hotel disebelahnya yang belum selesai.
Insiden kebakaran itu mengawali kehancuran proyek raksasa Gentisville. Itu juga yang ditengarai menjadi musabab Herman dan Cornelis untuk melakukan perampokan berencana. Tak hanya itu, dalam laporan keuangan Firma Gentis & Co, terendus bahwa Herman dan Cornelis melakukan kesalahan manajemen dengan banyak menghabiskan uangnya untuk berfoya-foya dan bermain perempuan.
Menurut skenario dua bersaudara itu, andaikan operasi perampokan berjalan mulus, di Cibadak mereka sudah ditunggu oleh sebuah mobil yang akan membawa mereka ke Pelabuhanratu. Dari tempat impian mereka itu, Herman dan Cornelis akan melarikan diri dengan kapal uap ke luar negeri. Namun apa daya, perampokan tersebut gagal total seiring hancurnya mimpi mereka membangun Kota Resort Gentisville. Alih-alih menjadi kaya raya, yang ada mereka harus mendekam dalam penjara selama 15 dan 10 tahun, sesuai keputusan Raad van Justitie di Batavia.
Penulis adalah kontributor Historia di Sukabumi dan Ketua Yayasan Dapuran Kipahare, Sukabumi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar