Mengenal Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA)
Peredaran Oeang Republik Indonesia dibendung Belanda dengan berbagai cara. Pemerintah daerah berinisiatif mencetak mata uang sendiri.
Setelah resmi beredar pada 30 Oktober 1946, pemerintah Republik Indonesia berupaya mendistribusikan Oeang Republik Indonesia (ORI) secara hati-hati ke berbagai wilayah di Jawa dan Madura. Dari percetakan, petugas memasukkan uang itu ke dalam keranjang-keranjang bekas dan membawanya ke kereta api. Di dalam kereta, pemerintah menempatkan petugas bersenjata lengkap.
Pemerintah Indonesia menerapkan prosedur itu untuk memastikan uang itu bebas dari gangguan tentara NICA. Saat itu, Belanda sedang gigih menguasai kembali Indonesia. Mereka melakukan segala cara untuk memperlemah kedudukan Republik. Strategi mereka menyasar pula segi ekonomi moneter. Antara lain dengan memproduksi mata uang yang dikenal dengan “uang NICA” dan mencegah peredaran ORI
“Ada upaya pihak Belanda-NICA untuk mengacaukan perekonomian dengan cara memalsukan ORI dan memasukkan dan mengedarkan uang NICA (uang merah) ke wilayah RI,” ungkap Mohamad Iskandar dalam “Oeang Republik Dalam Kancah Revolusi” termuat di Jurnal MSI, Vol 6, Tahun 2004.
Baca juga: Merentang Sejarah Uang
Masyarakat ikut mendukung peredaran ORI di daerah tentara NICA bercokol. Misalnya di wilayah Cibinong dan Bogor, Jawa Barat. Di sini mereka bertaruh nyawa demi mengedarkan ORI.
“Perjuangan rakyat terutama tentang memasukkan uang ORI ke daerah yang diduduki oleh Belanda masih juga dilakukan meskipun seribu satu macam gangguan, kadang-kadang dengan siksaan, pembunuhan, dan penghinaan, sebagai tanda kesetiaan kepada Pemerintah Republik,” catat arsip Markas Tentara Brigade Siliwangi, 9 Desember 1946.
Memasuki 1947, situasi di sejumlah perbatasan wilayah Republik dan Belanda memanas. Pertempuran antara pejuang pro-Republik dan tentara seringkali meletus. Distribusi ORI ikut tersendat.
Keadaan makin parah ketika Belanda menggelar Agresi Militer I yang menyebabkan kedudukan Republik di sejumlah wilayah goyah. Belanda berhasil merebut sejumlah wilayah Republik. Hal ini diperkuat oleh Perjanjian Renville pada Januari 1948.
Baca juga: Uang Invasi Jepang
Sjafruddin Prawiranegara, orang yang mengusulkan agar pemerintah RI mengeluarkan ORI, telah menduga bahwa peredaran ORI tak akan berjalan mudah. Dia bilang keluarnya ORI bukanlah akhir perjuangan.
“Keluarnya Uang Republik bukan berarti bahwa kita nanti boleh goyang kaki dan hidup senang-senang saja, bahkan sebaliknya sekaranglah baru tiba saatnya untuk bekerja segiat-giatnya membangun secara teratur dan sistematis,” kata Sjafruddin kepada Ajip Rosidi dalam Sjafruddin Prawiranegara Lebih Takut Kepada Allah Swt.
Inisiatif Daerah
Ketika mengetahui ORI sulit beredar ke wilayah Jawa Barat dan Sumatra, tokoh-tokoh pro-Republik di daerah tersebut mengusulkan agar pemerintah pusat mengizinkan mereka mengeluarkan uang sendiri.
Selama menunggu persetujuan pusat, pemerintah Sumatra mengambil inisiatif mencetak uang sendiri dengan nama Oeang Republik Indonesia Provinsi Sumatra (ORIPS). Emisi pertama tertanggal 11 April 1947, ditandatangani Maklumat Gubernur Sumatra Tengku Mohammad Hasan. Penerbitan uang ini berlandaskan Maklumat Gubernur Sumatra Tengku Mohammad Hasan No. 92/K.O. tertanggal 8 April 1947. ORIPS menjadi Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA) pertama di Indonesia.
Pemerintah pusat mengetahui dan mendukung penuh penerbitan ini. Nilai tukarnya setara dengan 1 ORI di Jawa. Tapi peredarannya terhadang blokade tentara NICA.
Baca juga: Lahirnya Uang Putih
Agresi militer Belanda I yang melanda Pematang Siantar membuat seluruh kegiatan pencetakan ORIPS dipindahkan ke Bukittinggi. Namun dari Bukittinggi inilah pemerintah Republik menerbitkan ORIPS untuk berbagai wilayah lainnya di Sumatra.
“Khusus untuk emisi Bukittinggi, tercatat hingga 1948, ada 13 ORIPS yang diedarkan di Sumatera,” tulis Sri Margana dkk. dalam Keindonesiaan dalam Uang: Sejarah Uang Kertas Indonesia, 1945-1953.
Memasuki Agustus 1947, pemerintah Asahan di Sumatra menerbitkan alat pembayaran berupa bon. “Secara harfiah bon dapat diartikan sebagai bukti tertulis berupa kertas kecil mengenai peminjaman sejumlah uang atau barang,” catat Darsono dkk. dalam Berjuang dengan Uang Mempertahankan dan Memajukan Republik Indonesia: Semangat Juang Otoritas dan Masyarakat Sumatera Utara.
Baca juga: Menahan Laju Uang Merah
Menyikapi penerbitan uang atas inisiatif pemerintah setempat, pemerintah pusat secara resmi mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 19/1947 tanggal 26 Oktober 1947. Isinya membolehkan pemerintah daerah tingkat provinsi, karesidenan, dan kabupaten untuk menerbitkan Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA).
“ORIDA adalah uang kertas atau tanda pembayaran yang sah yang berlaku secara terbatas di daerah tersebut,” tulis Darsono dkk.
Bukan Hanya Uang
Peraturan Pemerintah No. 19/1947 memperjelas kedudukan uang daerah buatan pemerintah setempat. Karena itu, setelah peraturan itu keluar, pemerintah daerah di Jawa dan Sumatra tanpa ragu menerbitkan alat-alat pembayaran sendiri. Bentuknya tak hanya uang. Ada juga bentuk bon, surat tanda penerimaan uang, kupon gerilya, kupon getah, surat mandat, dan tanda pembayaran.
Sebut saja mata uang lokal seperti Uang Republik Sumatera Utara (URISU), Oeang Repoeblik Indonesia Daerah Tapanoeli (ORITA), Uang Republik Daerah Djambi (URIDJA), Uang Republik Indonesia Daerah Aceh (URIDA), Uang Mandat yang dikeluarkan oleh Dewan Pertahanan Daerah Sumatra Selatan, hingga Oeang Kertas Darurat untuk Daerah Banten (OERIDAB).
“ORIDAB merupakan ORIDA pertama yang diterbitkan di Pulau Jawa dengan emisi Serang yang terbit pada Desember 1947,” tulis Sri Margana dkk.
Baca juga: Pabrik NIMEF dari Kopi Sampai ORI
Di Yogyakarta, terbit Surat Tanda Penerimaan Uang untuk Daerah Istimewa Yogyakarta yang ditandatangani oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Hal yang sama diterbitkan di Surakarta dan ditandatangani Kepala Pemerintah Militer Daerah Surakarta.
Selain uang yang dikeluarkan oleh otoritas, beragam kelompok masyarakat menerbitkan alat pembayarannya masing-masing. Seperti dilakukan komunitas pedagang Tionghoa di Kecamatan Limapuluh, Kabupaten Asahan, yang menerbitkan alat pembayaran sendiri atas izin dari pemerintah setempat.
Terkait dengan masa berlaku ORIDA, pemerintah pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 76/1948 pada 13 Desember 1948 yang menyebut masa berlaku ORIDA akan diatur langsung oleh menteri keuangan. Mohamad Iskandar mencatat, ada 21 jenis mata uang dan 27 jenis ORIDA hingga akhir 1949.
Dalam situasi perang, jumlah uang beredar di wilayah Republik Indonesia sulit dihitung dengan tepat. J. Soedradjad Djiwandono dkk. dalam Sejarah Bank Indonesia Periode I: 1945-1959 memperkirakan peningkatan yang cukup signifikan. Peredaran ORI dan ORIDA pada 1946 sebesar Rp323 juta diperkirakan meningkat menjadi Rp6 miliar pada akhir 1949.
Baca juga: Perang Uang Palsu Masa Revolusi
Selain sulitnya peredaran ORI, penerbitan ORIDA memang dilakukan untuk membiayai kegiatan pemerintahan lokal. Namun menurut Sri Margana dkk., seperti yang terjadi pada ORI, kebanyakan dari ORIDA ini mengalami inflasi yang cukup serius dan penurunan nilainya cukup signifikan.
Kendati demikian, penerbitan berbagai jenis mata uang dalam bentuk ORIDA telah membantu Republik tetap bertahan menghadapi serbuan uang NICA di daerah. Selain itu, penerimaan masyarakat terhadap ORIDA membuktikan posisi kuat Republik di berbagai daerah pendudukan Belanda.
Kesepakatan Indonesia dan Belanda melalui Konferensi Meja Bundar (KMB) pada Desember 1949 mengakhiri ORI dan ORIDA. Uang-uang itu harus ditarik setelah Indonesia dan Belanda sepakat mengeluarkan uang baru melalui De Javasche Bank, bank sentral Hindia Belanda.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar