Perang Uang Palsu Masa Revolusi
Pemalsuan uang biasanya bermotif ekonomi. Tapi pada masa revolusi, pemalsuan uang bertujuan politis.
Uang palsu kerap kali beredar dalam transaksi tunai di masyarakat. Peredarannya meningkat menjelang perayaan hari keagamaan, tahun baru, dan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Motif pelaku membuat uang palsu biasanya keuntungan ekonomi. Uang palsu sangat merugikan pedagang dan pembeli. Sementara bagi negara, uang palsu bisa memicu inflasi.
Peredaran uang palsu pernah marak pada masa Indonesia mempertahankan kemerdekaan antara 1945–1950. Selama masa ini, peredaran uang palsu lebih bertujuan politis ketimbang keuntungan ekonomi.
Ada tiga uang beredar pada masa mempertahankan kemerdekaan. Dua jenis uang Jepang dan uang De Javasche Bank. Peredaran tiga uang ini merugikan Indonesia karena mengerek angka inflasi. Keadaan bertambah berat bagi Indonesia dengan peredaran uang NICA atau “uang merah”.
Sejak September 1945, Belanda berupaya kembali menduduki Indonesia dengan membonceng Sekutu melalui NICA. Pertempuran fisik antara pejuang Republik dan tentara NICA tak terhindarkan.
Baca juga: ORI, Uang Perjuangan dan Persatuan
Michell Suharli, numismatis atau orang yang mempelajari alat pembayaran kuno, mengatakan perang juga terjadi di bidang moneter. Ini terjadi ketika pemerintah Indonesia mengeluarkan Oeang Republik Indonesia (ORI) atau “uang putih” pada 30 Oktober 1946. Tapi NICA membendung peredaran ORI sehingga daerah pro-Republik mencetak uangnya sendiri yang disebut Oeang Republika Indonesia Daerah (ORIDA).
Tanding sengit kelompok Republik dan NICA pun berlanjut ke bidang moneter. “ORIDA menyertai perjuangan itu sebagai alat tukar rakyat yang menolak menggunakan uang terbitan penjajah,” kata Michell kepada Historia.id.
Saling Memalsukan
Masing-masing pihak berupaya melemahkan nilai mata uang lawan dengan pemalsuan. Kebanyakan menimpa uang kertas. “Bukan hanya uang ORI, melainkan uang Jepang dan uang NICA sama-sama dipalsukan... Antara (kantor berita Indonesia, red.) melaporkan bahwa serdadu Australia menolak pembayaran dengan menggunakan uang NICA karena khawatir akan uang palsu,” catat Sri Margana dkk. dalam Keindonesiaan dalam Uang: Sejarah Uang Kertas Indonesia, 1945–1953.
Tentara NICA sampai mengeluarkan spanduk peringatan untuk warga. “Awas Oeang palsu NICA” begitu bunyi salah satu spanduk. Tapi spanduk ini dianggap sepi saja oleh warga. Mengingat mereka pun enggan bertransaksi dengan uang NICA.
Baca juga: Mata Uang Zaman Kuno
Sementara itu, peredaran uang palsu ORI terjadi di beberapa daerah seperti Banten, Jakarta, Banjarnegara, Wonosobo, Klampok, Purwokerto, Banyumas, Yogyakarta, dan sejumlah wilayah di Jawa Timur. Pemalsuan uang melanggar KUHP pasal 244, 245, dan 249. Biasanya maklumat ini tertera pada bagian belakang sejumlah ORI dan ORIDA.
Beberapa kasus pemalsuan ORI berasal dari ketidaktahuan para pemegang uang. Sebagian besar mereka para pedagang. Di Menes, Banten, sebagaimana tercatat dalam Kronik Revolusi Jilid III karya Pramoedya Ananta Toer, termaktub keterangan polisi mengamankan ORI pecahan Rp10 dengan nomor seri i.f 667741.
“Uang tersebut adalah palsu dan didapat dari orang yang berdagang beras di Carita, Labuan, ” tulis Pramoedya. Polisi tak menangkap siapapun atas kejadian itu. Tapi mereka mengatakan akan mengusut tuntas kejadian itu.
Baca juga: Mata Uang Tiongkok Era Majapahit
Ciri fisik, nomor seri, dan komposisi huruf uang palsu jauh berbeda dari uang asli dalam beberapa kasus. Sehingga uang palsu mudah dikenali oleh petugas. “Kertas uang palsu ini berminyak. Pada halaman belakang dalam tulisan ‘Undang2 Presiden’ tertulis kata ‘sebagal’ bukan ‘sebagai’,” tambah Pramoedya. Ukuran hurufnya pun lebih kurus daripada uang asli.
Tapi masih banyak warga tak mampu mengenali ciri uang palsu. “Uang palsu tersebut sukar dibedakan dari yang asli oleh karena ORI yang teknis masih sederhana, mudah sekali ditiru,” terang Oey Beng To dalam Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I 1945–1958.
Beredar di Pedagang
Hal serupa terjadi di Banjarnegara dan Wonosobo pada 1948. Sejumlah pedagang tembakau kedapatan memegang uang palsu. Tapi polisi tak menangkap mereka satu pun. Polisi hanya menyita sebanyak 185 lembar ORI pecahan seratus rupiah bergambar Sukarno dengan pakaian sipil.
“Orang pedagang tembakau mungkin tidak mempunyai sengaja jahat dan onbewust (tanpa sadar, red.) menerima uang-uang palsu itu, karenanya, bilamana diadakan penangkapan terhadap mereka, akan dapat menggelisahkan penduduk,” ungkap Arsip Djawatan Kepolisian Negara, 25 Maret 1948.
Baca juga: A.A. Maramis, Pejabat Republik Urusan Candu
Djawatan Kepolisian kemudian menyurati Kementerian Keuangan untuk meminta pendapat. Menteri Keuangan A.A. Maramis membalas surat tersebut. “Bahwa pembikinan uang palsu dilakukan oleh pihaknya Belanda atau kaki-tangannya, untuk mengacaukan keuangan Republik di daerah pendudukan dan daerah Republik,” kata Maramis dalam suratnya.
A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 4, juga memberikan keterangan mirip Maramis. Menurutnya, Belanda berada di balik peredaran ORI palsu. “Pencetakan ORI palsu timbul di daerah-daerah pendudukan Belanda dan Singapura. Inilah suatu cara untuk mengacaukan keuangan Republik,” ungkap Nasution. Dia menyebut uang palsu turut andil dalam menurunkan nilai tukar ORI terhadap uang NICA.
Mudah Dikenali
Tak hanya ORI, ORIDA pun tak luput dari pemalsuan. Terkait ini, Suwito Harsono, pakar numismatis sekaligus Ketua Umum Masyarakat Numismatis, mengatakan sejumlah kelemahan ORIDA. “Tiap daerah desain sendiri. Bahkan tidak tahu bahwa daerah lainnya ada cetak uang juga. Semua komunikasi terputus saat itu,” kata Suwito.
Ini menyebabkan orang lebih mudah memalsukan ORIDA ketimbang ORI yang berlaku nasional. Dalam bukunya yang ditulis bersama Michell Suharli, ORIDA: Oeang Republik Indonesia Daerah 1947–1949, Suwito mencontohkan sejumlah ORIDA palsu. Antara lain di Pematang Siantar, Kutaraja (Aceh), dan Kotabumi (Lampung).
Baca juga: Uang Kuno bukan Sembarang Uang
Menurut Suwito pemalsuan ORIDA mudah teridentifikasi. Dia mencontohkan dalam kasus pemalsuan ORIDA Pematang Siantar pecahan Rp100 berwarna violet. “Cetakan uang palsu ini sangat kasar dengan kertas yang lebih tipis,” tulis Suwito dan Michell.
Begitu pun dengan ORIDA di Kutaraja dan Kotabumi. Pemalsuan ORIDA Kutaraja pecahan Rp250 tergolong buruk dan sederhana. Sementara pada ORIDA Kotabumi terlihat dari tanda baca dan capnya.
Meski marak pemalsuan, belum tersua informasi tentang upaya membongkar jejaring pemalsuan ini. Arsip-arsip lebih banyak berbicara tentang temuan kasus ketimbang tindak lanjut terhadap kasus tersebut.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar