Mata Uang Tiongkok Era Majapahit
Mata uang picis atau mata uang Tiongkok dipakai secara resmi pada masa Majapahit.
PADA masa Majapahit ada kecendrungan baru terkait uang. Masyarakatnya menjadi punya kebiasaan menabung menggunakan celengan dalam berbagai bentuk dan ukuran. Kebiasaan ini banyak dijumpai, khususnya di pusat kota.
Uang yang mereka tabung biasanya mata uang logam dari Tiongkok yang sudah lama mempengaruhi sistem moneter di wilayah Nusantara. Hal ini berkaitan erat dengan hubungan dagang antardua wilayah itu.
Mata uang baru ini terutama terbuat dari tembaga dan digunakan terbatas pada akhir abad 10 M. Mata uang tembaga Tiongkok diimpor secara besar-besaran ke Jawa seiring meningkatnya perdagangan dengan Tiongkok pada abad 11 M dan awal abad 14 M. Mata uang ini kemudian dikenal dengan sebutan picis.
Arkeolog Puslit Arkenas, Titi Surti Nastiti dalam Pasar di Jawa Masa Mataram Kuno Abad VIII-XI Masehi menulis, picis punya nilai rendah seperti kepeng pada masa kemudian. Dalam data prasasti, uang picis jumlahnya bisa mencapai ribuan. Berbeda dengan uang emas dan perak paling banyak hanya mencapai puluhan.
Berita Ying-yai Sheng-lan menyebut mata uang Tiongkok yang digunakan di Majapahit berasal dari beberapa dinasti. Ekskavasi Trowulan pada 1976 hingga 1988 menemukan mata uang tembaga Tiongkok dari Dinasti Tang dan terbanyak dari Dinasti Sung.
Meski begitu, pada awalnya picis kemungkinan belum diperlakukan sebagai mata uang. Berita Tiongkok yang ditulis Chau Ju-Kua pada awal abad 13 M menyebutkan mata uang tembaga Tiongkok ditukar dengan sejumlah besar komoditas rempah-rempah.
“Ini menunjukkan mata uang tembaga pada saat itu adalah komoditas yang dapat diperoleh melalui barter,” tulis arkeolog Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa.
Pada abad 14, mata uang picis berkembang semakin luas. Bersamaan dengan masa keemasan Majapahit, mata uang Tiongkok digunakan secara resmi dalam pemerintahan. Padahal, ketika itu pedagang Jawa menggantikan dominasi pedagang Tiongkok dalam perdagangan Asia Tenggara. Hubungan dagang dengan Tiongkok pun mulai menyusut sepanjang abad 14. Namun, kondisi ini tak banyak berpengaruh pada penggunaan mata uang Tiongkok.
Di saat yang sama uang tiruannya dan mata uang lokal jenis baru mulai dikenal. Sebutannya gobog digunakan sebagai mata uang resmi untuk keperluan-keperluan pajak.
Gobog berbentuk bulat dengan lubang di tengah. Hiasan di salah satu sisinya berupa motif-motif pohon dan burung, rumah terbuka, air, dan tempayan air, ular, orang dalam bentuk wayang, gajah, ayam, kuda, orang di atas perahu, keris, dan bendera.
“Fungsi sesungguhnya dari mata uang ini tidak diketahui, tetapi mata uang yang serupa ditemukan di Patani dipakai sebagai semacam jimat atau benda keramat,” tulis Supratikno.
Pada abad 15, mata uang Tiongkok masih beredar terutama untuk transaksi dengan nilai rendah. “Penggunaan mata uang Tiongkok ini sepertinya menggantikan sistem moneter asli yang sebelumnya berlaku,” tulis Supratikno.
Tandanya, penggunaan mata uang emas dan perak dalam satuan masa mulai menghilang. Bahkan, penggunaan mata uang Tiongkok semakin masuk ke Jawa seiring pulihnya hubungan dagang keduanya sesudah 1400 hingga 1520 M.
Mata Uang Perunggu
Di Jawa juga banyak ditemukan mata uang perunggu. Sebagian besar mata uang Tiongkok dan sebagian lainnya mata uang Jepang.
Museum Ronggowarsito menyimpan mata uang logam jenis ini dari berbagai wilayah. Di antaranya yang sudah dikaji berasal dari Pati dan Kudus. Temuan di Pati berasal dari periode Tang masa pemerintahan Kaiyuan (713 M) hingga Ming masa pemerintahan Yongla (1404-1424). Di antara kedua periode itu dijumpai mata uang dari periode Sung Utara (960-1126 M), Daghi (Jepang 1126-1131), Sung Selatan (1127-1260), dan Yuan (1261-1267).
Berdasarkan frekuensinya, jumlah terbanyak (305 keping) berasal dari periode Sung Utara (960-1126). Disusul mata uang dari Ming (142 keping), Tang (49 keping), Song Selatan (11), dan paling sedikit dari masa kekaisaran Jepang, yakni Daghi (1 keping).
Temuan di Kudus berasal dari periode Tang masa kekaisaran Kaiyuan (713) hingga Sung Selatan masa Kekaisaran Qingyuan (1195-1200). Jumlah terbanyak berasal dari masa Sung Utara (27 keping), disusul masa Tang (19 keping), dan Sung Selatan (3 keping).
Meski begitu, temuan di daerah Pati dan Kudus diperoleh bukan dari penggalian arkeologis. Karenanya tidak diketahui konteks lingkungannya. Keduanya ditemukan dalam sebuah tempayan Tiongkok dari Dinasti Tang. Bisa jadi ini mengindikasikan fungsi mata uang itu lebih sebagai benda pusaka untuk keperluan upacara.
Dilihat dari distribusinya, mata uang perunggu Tiongkok ditemukan baik di pedalaman maupun pesisir. Sebagian besar dijumpai di Jawa Timur.
Mata uang besi juga kemungkinan pernah digunakan pada masa Jawa Kuno. Prasasti Polengan dari 876 M menyebutkan istilah wsi ikat yang dibagikan kepada laki-laki dan perempuan. Pada masa Balitung, wsi ikat digunakan untuk sawur-sawur.
“Stutterheim menafsirkan kata itu sama dengan mata uang kepeng tiap ikat terdiri dari 50 mata uang beso yang dalam Bahasa Jawa baru disebut dengan istilah skeet,” tulis Supratikno.
Dari temuan itu, diperkirakan kehadiran mata uang Tiongkok di Jawa mencakup periode kekaisaran yang beruntun. Hal ini juga petunjuk adanya kesinambungan hubungan Jawa-Tiongkok sejak abad 8-15 M.
“Mata uang dari Dinasti Sung adalah yang paling banyak dijumpai. Hubungan dagang dengan Cina paling menonjol terjadi pada periode ini,” tulis Supratikno.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar