ORI, Uang Perjuangan dan Persatuan
Cerita tentang Oeang Repoeblik Indonesia (ORI). Tak hanya sebagai alat tukar. Tapi juga untuk mempersatukan bangsa.
Bank Indonesia mengeluarkan uang baru edisi khusus pecahan Rp75.000 tepat pada perayaan 75 tahun usia Republik Indonesia, 17 Agustus 2020. Desain uang ini elegan dan sarat makna. Bagian muka bergambar wajah Sukarno dan Hatta. Bagian belakang berisi gambar wajah orang Indonesia dari beragam suku dan daerah.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan, uang tak sebatas alat pembayaran. “Tetapi lambang kedaulatan, sistem kemandirian bangsa Indonesia,” kata Perry secara virtual. Ucapan Perry mengingatkan peran Oeang Republik Indonesia (ORI), uang kertas pertama keluaran pemerintah Indonesia. Uang itu mulai beredar pada 30 Oktober 1946.
“Dalam sejarah kemerdekaan Indonesia, ORI tercatat sebagai alat yang mempersatukan tekad seluruh bangsa Indonesia untuk bersama-sama pemerintah Republik Indonesia berjuang menegakkan kemerdekaan,” ungkap Oey Beng To, mantan Gubernur Bank Indonesia, dalam Sejarah Kebijakan Moneter Indonesia Jilid I (1945–1958).
Usul dari Pemuda Bandung
Cerita ORI bermula dari banyaknya mata uang di Indonesia saat awal kemerdekaan. Ada empat jenis mata uang ketika itu. Tiga jenis berasal dari Jepang. Keluaran tiga otoritas berbeda dengan sebutan berbeda pula.
Uang keluaran pemerintah pusat Jepang disebut Gulden Jepang. Uang dari pemerintah pendudukan Jepang bernama Gunpyo. Uang cetakan Nanpo Kaihatsu Ginko atau bank sirkulasi dikenal sebagai uang invasi. Satuan untuk dua mata uang terakhir adalah rupiah.
Baca juga: Mata Uang Zaman Kuno
Satu jenis mata uang lainnya peninggalan pemerintah Hindia Belanda keluaran De Javaasche Bank atau Bank Sentral Hindia Belanda. Satuannya gulden.
Peredaran empat jenis mata uang itu merugikan Indonesia. “Menyebabkan situasi moneter menjadi sangat ruwet dan membingungkan,” catat Oey Beng To. Menyikapi situasi ini, muncul usulan dari Sjafruddin Prawiranegara, anggota Badan Pengurus Komite Nasional Indonesia Pusat (BP-KNIP, badan legislatif sementara RI, red.).
Baca juga: Uang Aceh Tak Pernah Lemah
Dalam sebuah pertemuan dengan Hatta pada Oktober 1945, Sjafruddin membawa usulan dari pemuda Bandung yang dia lupa namanya. “Supaya mengeluarkan uang Republik Indonesia sendiri sebagai pengganti uang Jepang yang masih berlaku pada waktu itu,” kata Sjafruddin dalam Bung Hatta Mengabdi Pada Tjita-Tjita Perjuangan Bangsa.
Hatta semula ragu memenuhi usulan Sjafruddin. Tapi Sjafruddin terus meyakinkan bahwa Indonesia perlu mengeluarkan uang baru sebagai salah satu atribut negara merdeka dan berdaulat. Keraguan Hatta sirna. “Pada akhirnya beliau dapat diyakinkan,” lanjut Sjafruddin. Pemerintah berkeputusan bulat mencetak uang sendiri.
Menyelundupkan Bahan dan Alat Cetak
A.A. Maramis, Menteri Keuangan, menindaklanjuti keputusan itu. Dia bergerak cepat. Sebab tentara Sekutu telah datang ke Indonesia pada akhir September 1945. Segala kemungkinan bisa terjadi. Tentara Sekutu bisa saja mengambil alih keadaan. Maka dia menginstruksikan tim Sarikat Buruh Percetakan G. Kolff Jakarta bergerak ke Jakarta, Malang, Solo, dan Yogyakarta untuk mencari percetakan.
Di Jakarta ada percetakan G. Kolff dan De Unie. Di Malang berdiri perusahaan Nederlands Indische Metaalwaren en Emballage Fabrieken (NIMEF). Tapi keduanya kesulitan memperoleh alat-alat untuk mencetak seperti kertas, tinta, pelat seng, mesin aduk, dan bahan kimia lainnya.
Kekhawatiran terhadap kedatangan Sekutu menjadi kenyataan. Sekutu membawa pula orang-orang NICA (Pemerintahan Sipil Hindia Belanda). Keributan antara pejuang Republik dengan Sekutu tak terhindarkan di beberapa daerah. Jalur distribusi barang pun terganggu. Termasuk suplai bahan-bahan untuk mencetak uang.
Baca juga: Mata Uang dari Cangkang Kerang
Untungnya Indonesia memiliki buruh berkesadaran. Mereka berhasil menyelundupkan alat-alat pencetak uang. “Berkat bantuan sukarela dari para karyawan beberapa perusahaan asing di Jakarta yang belum dikuasai oleh tentara Sekutu, bahan dan alat itu diperoleh,” catat Oey Beng To.
Maramis kemudian membentuk Panitia Penyelenggara Pencetakan Uang Kertas Republik Indonesia pada 7 November 1945. Ketuanya T.R.B. Sabarudin, saat itu menjabat pula Direktur Bank Rakyat Indonesia. Anggotanya terdiri atas pegawai Departemen Keuangan, Bank Rakyat Indonesia, dan Serikat Buruh Percetakan G. Kolff.
Kerja Panitia cukup baik. Mereka telah mencetak ratusan rim lembaran 100 rupiah. Tapi uang itu belum sempat diberi nomor seri. Situasi Jakarta keburu kacau. Pemerintahan pun harus pindah ke Yogyakarta pada 14 Januari 1946. Pekerjaan mencetak uang berhenti sementara.
Baca juga: Mata Uang Tiongkok Era Majapahit
Kerja pencetakan uang diambil alih oleh percetakan NIMEF di Malang, Solo, dan Yogyakarta. Selama masa ini, tentara Sekutu dan NICA mengawasi distribusi alat dan bahan untuk mencetak uang. Mereka bahkan menyerang Republik dengan mengeluarkan uang NICA pada 6 Maret 1946. Kursnya 3 persen dari uang Jepang. Orang menyebutnya uang merah karena warna dominannya.
Tindakan itu bikin marah pemerintah Indonesia. Selain membuat inflasi, peredaran uang NICA juga melanggar kedaulatan.
“Perdana Menteri Sutan Sjahrir menyebutnya sebagai pelanggaran hak kedaulatan RI dan mengingkari perjanjian untuk tidak mengeluarkan mata uang baru selama situasi belum stabil,” tulis tim Departemen Keuangan Republik Indonesia (Depkeu RI) dalam Rupiah di Tengah Rentang Sejarah.
Baca juga: Uang Kuno bukan Sembarang Uang
Daerah pemberlakuan uang NICA antara lain Jakarta, Bogor, Bandung, Surabaya, dan Semarang. Tapi uang NICA tak laku. Petani dan pedagang enggan memakainya. Mereka hanya mau menerima uang Jepang. Sesuai dengan seruan pemerintah Indonesia. Akibatnya peredaran uang NICA terdesak.
“Keterbatasan dan ketidakwibawaan uang NICA itu berakibat merosotnya kurs. Dari 3% menjadi empat bahkan lima persen,” ungkap tim Depkeu RI.
Membiayai Kebutuhan
Ketika uang NICA merosot, pemerintah Indonesia mulai mengedarkan Oeang Repoeblik Indonesia (ORI) secara resmi pada 30 Oktober 1946. Malam sebelum ORI beredar, Hatta berpidato.
“Sejak mulai besok kita akan berbelanja dengan uang kita sendiri, uang yang dikeluarkan oleh Republik kita. Uang Republik keluar dengan membawa perubahan nasib rakyat, istimewa pegawai negeri yang sekian lama menderita karena inflasi uang Jepang.”
Rakyat menyambut baik peredaran ORI. Mereka menyebutnya “uang putih”. Rosihan Anwar mencatat pengalamannya pada awal peredaran ORI di Jakarta. “Seorang tukang becak memilih pembayaran 20 sen uang kita daripada pembayaran dengan uang NICA,” tulis Rosihan dalam Kisah-Kisah Menjelang Clash ke-I.
Baca juga: Sejarah Nilai Tukar Rupiah terhadap Dolar AS
Kurs ORI terhadap uang NICA fluktuatif. Saat awal beredar, 1 ORI berbanding 2 uang NICA. Sangat kuat. Tapi lama-lama merosot hingga 1:5. Bahkan saat Agresi Militer II pada 19–20 Desember 1948, nilai ORI tenggelam. Butuh 500 ORI untuk menebus 1 Florin uang NICA.
Kemerosotan ORI berkaitan dengan kian sempitnya wilayah Republik, tekanan tentara NICA terhadap pemakai ORI, dan inflasi. Khusus penyebab terakhir, tak lepas dari keputusan pemerintah untuk membiayai kebutuhan Republik dengan mencetak ORI lebih banyak.
Keputusan itu terpaksa dilakukan. Sebab pemerintah tak mungkin menarik pajak dan mengandalkan bantuan atau pinjaman luar negeri. Dana pendukung kemerdekaan juga makin menipis. “Maka pengeluaran ORI sebagai cara untuk memecahkan masalah pembiayaan tersebut adalah paling baik,” terang Oey Beng To.
Baca juga: Rupiah Lumpuh, Sukarno Jatuh
Oey Beng To menyebut kebijakan ini mirip dengan kebijakan koloni-koloni Inggris di Amerika Serikat ketika awal kemerdekaannya pada 1776. Mereka mencetak uang sendiri (continental money/greenbacks) untuk melawan Inggris. Tapi Oey Beng To melihat kemerosotan ORI tak separah continental money.
Seturut perubahan penandatangan Konferensi Meja Bundar dan perubahan bentuk negara Indonesia, ORI berhenti beredar pada Maret 1950. Ia diganti uang baru. Tapi peredarannya selama 3 tahun 5 bulan menjadi titik mula kesadaran tentang fungsi uang sebagai alat perjuangan kedaulatan dan pembiayaan negara.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar