Novi “Sukatani” Dipecat Seperti Para Pejuang Kemerdekaan
Novi “Sukatani” layak disejajarkan dengan Sanusi Pane dan para guru yang memperjuangkan keadilan sosial di era kolonial.
BANYAK yang menduga bahwa dua personel band punk “new wave” asal Purbalingga, Sukatani, telah diintimidasi ketika tiba-tiba muncul video keduanya tanpa mengenakan topeng andalan meminta maaf kepada Kepolisian dan menarik lagu mereka yang berjudul “Bayar Bayar Bayar” dari berbagai platform digital. Lagu “Bayar Bayar Bayar” memang dianggap sebagai kritik terhadap Kepolisian Indonesia yang korup dalam pelayanannya kepada masyarakat.
Kendati telah ditarik, popularitas “Bayar Bayar Bayar” justru meroket. Lagu tersebut malah lebih banyak dinyanyikan di jalanan oleh anak muda yang mayoritas tidak lagi percaya pada kinerja Kepolisian Indonesia.
Tak hanya diduga telah diintimidasi, vokalis Sukatani Twister Angel alias Novi Chitra Indriyati, yang di dalam kehidupan sehari-harinya adalah guru SD swasta, beberapa hari sebelumnya juga dipecat dari sekolah tempatnya mengajar. Pihak sekolah beralasan Novi membuka aurat, tindakan yang melanggar standar etika sekolah tersebut.
Lepas dari benar-tidaknya perkara buka aurat yang hingga kini masih bisa diperdebatkan publik itu, di kalangan anak muda kritis Novi dianggap sebagai simbol perjuangan. Ia dianggap mewakili keinginan banyak pemuda yang ingin –namun tak punya keberanian–mendobrak tananan nilai sosial yang mereka anggap penuh hipokrisi.
“Keberanian itu butuh dilatih, bukan datang secara tiba-tiba seperti wahyu Tuhan, “ kata Wiji Thukul, sastrawan-aktivis yang getol melawan kesewenangan Orde Baru, seperti terkutip sebagai motto skripsinya di Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan, Jurusan Pendidikan Guru Madrasah iItidaiyah, Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Purwokerto yang berjudul “Pengembangan Bakat Seni Musik Siswa Melalui Kegiatan Ekstrakurikuler Seni Musik di MI Negeri Purwokerto”.
Kutipan itu bersama lagu-lagu tentang keadilan sosial karya Sukatani menjadi bukti perjuangan Novi. Dia menyadari tiada perjuangan yang tanpa risiko. Dipecat dari tempat bekerja yang dialaminya itu adalah salah satu risikonya.
Novi jelas bukan yang pertama mengalami risiko akibat perjuangannya. Sejarah bangsa Indonesia konstruksinya dibangun dari banyak pengalaman yang serupa dengan pengalaman Novi. Pemecatan merupakan risiko paling umum para pejuang di era pergerakan nasional.
Pada 1919, seorang karyawan di Lindeteves dipecat karena membela kepentingan sesama teman buruhnya. Orang yang diberitakan koran Sinar Hindia tanggal 9 Desember 1919 itu namanya Thomas Najoan.
Namun pemecatan itu tak membuat Thomas Najoan kapok. Setelahnya, dia malah menjadi penggerak perlawanan para buruh di Semarang dan Yogyakarta terhadap pemerintah kolonial.
Thomas Najoan bukan satu-satunya orang pergerakan nasional yang dipecat dari tempatnya bekerja karena memperjuangkan keadilan sosial.
Ketika ada perjuangan agar gereja Kristen di Minahasa dan sekitarnya tak menyatu dengan pemerintah kolonial, ada seorang guru yang dipecat karena mendukung agar agama Kristen terpisah dari pemerintah kolonial. Dia adalah R. Mangindaan, guru lulusan Kweekschool (sekolah guru) Ambon. Menurut Bambang Suwondo dkk. dalam Sejarah Kebangkitan Nasional Daerah Sulawesi Utara, selain R. Mangindaan, Pendeta L Mangindaan dan Joel Walintukan juga dipecat dari profesi guru di sekolah milik gereja.
Nama guru-guru Minahasa itu memang kurang dikenal. Namun ada guru lain yang lebih dikenal namanya dan nasibnya mirip Novi “Sukatani”. Sanusi Pane (1905-1968) salah satusnya. Sastrawan angkatan Pujangga Baru yang berjasa dalam perkembangan sastra dan bahasa Indonesia ini pernah dipecat dari profesinya sebagai guru.
“Tahun 1934 dipecat sebagai guru karena keanggotaannya dalam PNI,” tulis HB Jassin menggambarkan nasib Sanusi dalam Pujangga Baru: Prosa dan Puisi.
PNI yang dimaksud tentu partai kader yang dipimpin Drs Mohammad Hatta dan Sutan Sjahrir, Pendidikan Nasional Indonesia (PNI Baroe). Partai Nasional Indonesia (PNI) yang dipimpin Ir. Sukarno ketika itu sudah tiga tahun dibubarkan. Baik PNI Sukarno maupun PNI Baroe sama-sama kritis terhadap pemerintah kolonial, sehingga diberangus.
Di Surakarta, dulu pada 1920-an juga ada guru melibatkan diri dalam pergerakan nasional, yang oleh pemerintah kolonial dianggap serupa dengan tindakan subversif. Guru di sekolah Islam terkenal Madrasah Mambaoel Oeloem itu bergabung dengan kelompok Sarekat Rakyat (SR) di Surakarta. Ketika itu SR juga menuntut agar polisi tidak ikut campur dalam perkara keagamaan. Dalam sebuah demonstrasi, 10.000 orang bergerak menyuarakan hal itu.
Akibatnya, pemerintah kolonial marah. Meski menangkap banyak orang, hanya sedikit yang kemudian bisa dihukum lantaran aparat kolonial tak bisa sembarangan menghukum orang.
“Penangkapan berlanjut sampai awal Maret 1926. Polisi berhasil menangkap 30 propagandis Moe'allimin. Terhadap tokoh Moe'allimin lain, karena tuduhan tidak memiliki bukti kuat, maka hanya dipecat dari posisinya sebagai guru di Madrasah Mambaoel Oeloem, yaitu Kiai Mawardi dan Kiai Mashoed,” kata Syamsul Bakri dalam Gerakan Komunisme Islam Surakarta, 1914-1942.
"L'Histoire se repete" kata pepatah Prancis, yang artinya "Sejarah itu berulang". Apa yang dialami para guru yang ikut menggerakkan perjuangan kemerdekaan di masa kolonial dulu, kini terulang lagi dengan dipecatnya Novi "Sukatani" dari pekerjaannya sebagai guru.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar