Perjalanan Hidup Mar'ie Muhammad, Menteri Keuangan Berjuluk "Mr. Clean"
Lakon Mar'ie Muhammad sebagai pejabat dan penyelenggara negara di era Orde Baru rasanya patut ditiru oleh pejabat masa kini. Hidup sederhana dan menjauhi korupsi.
SRI Mulyani Indrawati memikul tugas berat ketika ditunjuk sebagai menteri keuangan untuk kali pertama pada 2005. Waktu itu jumlah pegawai Kementerian Keuangan terbilang gemuk, sekira 40.000 orang. Reputasi kementerian pengatur keuangan negara itu juga sedang tak bagus-bagus amat karena rentan kasus korupsi. Belum lagi tata kelolanya masih abu-abu. Dalam keadan demikian, Sri Mulyani mesti mereformasi birokrasi Kementerian Keuangan supaya bersih sesuai tuntutan reformasi. Untuk itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membekali Sri Mulyani penasihat berpengalaman seperti Mar'ie Muhammad.
Mar'ie Muhammad bukan sosok yang asing bagi Sri Mulyani. Sewaktu Sri Mulyani masih mahasiswi di Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada dekade 1980-an, Mar'ie Muhammad telah terkenal dengan reputasi sebagai “Mr.Clean”. Nama Mar'ie Muhammad mulai disorot publik ketika menjabat dirjen pajak di Departemen Keuangan periode 1988-1993. Mar'ie ditunjuk jadi menteri keuangan pada Kabinet Pembangunan VI (1993-1998). Jadi Mar'ie Muhammad merupakan pendahulu Sri Mulyani sebagai menteri keuangan.
“Pak Mar'ie seorang sahabat yang baik, seorang senior yang sangat membimbing. Dan Pak Mar'ie Muhammad selalu memperkuat upaya-upaya untuk kita tidak pernah putus asa dalam menjalankan serta menghadapi berbagai hal. Itu adalah sebuah hadiah yang luar biasa dan buat saya merupakan privilese. Merupakan juga suatu kehormatan untuk bisa mengenal secara pribadi bahkan bekerja bersama mendapatkan berbagai support dan wisdom dari Beliau,” kenang Sri Mulyani penuh haru sambil menitikkan air mata dalam peluncuran biografi Mr. Clean Mar'ie Muhammad: Sang Pejuang Antikorupsi dan Aktivis Kemanusiaan di Galeri Indonesia Kaya, Grand Indonesia, Jakarta Pusat, 6 Februari 2025.
Baca juga: Garis Hidup A.A. Maramis
Biografi Mr. Clean Mar'ie Muhammad: Sang Pejuang Antikorupsi dan Aktivis Kemanusiaan ditulis oleh jurnalis senior Qaris Tadjudin. Buku ini mengulas perjalanan Mar'ie Muhammad, tokoh antikorupsi Indonesia, yang dikenal luas atas integritasnya tanpa kompromi dalam mewujudkan tata kelola keuangan negara yang bersih dan transparan. Berkat dedikasinya, Mar'ie dijuluki “Mr. Clean”, sebuah gelar yang tetap melekat hingga akhir hayatnya, bahkan hingga kini.
Julukan “Mr. Clean” bukan sekadar riasan di media belaka. Sebagai pejabat tinggi negara, Mar'ie mempraktikkan hidup sederhana, jauh dari kesan glamour seperti para pejabat negara sekarang. Pada 1992, Mar'ie pernah ditolak masuk ke Istana Negara oleh Paspampres karena mengendarai mobil Toyota Kijang kotak keluaran 1980-an. Padahal, hari itu Mar'ie jadi tamu undangan Istana sebagai penerima Bintang Mahaputra.
Lain itu, Mar'ie acap kali menolak tambahan pendapatan di luar pendapatannya yang resmi. Gratifikasi dalam bentuk apapun dia tolak. Barang sebatang pulpen suvenir dari seminar pun tak pernah dibawanya pulang. “Bukan hak saya,” dan “Negara lebih membutuhkan daripada saya,” adalah kalimat yang sering keluar dari lisan seorang Mar'ie Muhammad.
Baca juga: Gebrakan Anti Korupsi Ala Jenderal Jusuf
Gelar “Mr. Clean” melekat pada Mar'ie karena perjuangannya memberantas korupsi di lingkungan Kementerian Keuangan. Di samping itu, Mar'ie juga berupaya meningkatkan efisiensi dan berusaha membersihkan institusinya dari pegawai yang korup. Dalam kebiasaannya sebagai menteri, sudah jadi kelaziman yang anomali bagi Mar'ie untuk menolak dana taktis dan anggaran perjalanan dinas yang dinilai terlalu besar.
Menurut Sri Mulyani, Mar'ie menjabat sebagai pejabat institusi publik di suatu masa yang sering orang bilang “zaman jahiliyah”. Masa di mana pelayanan publik dipersepsikan oleh masyarakat lekat dengan inefisiensi, tidak ramah, koruptif, dipenuhi praktik kronisme, dan berbagai hal-hal negatif lainnya. Alih-alih terseret arus korupsi, Mar'ie dikenal sebagai pribadi yang memiliki integritas tinggi dan tanpa kompromi menerapkan tata kelola institusi publik.
Sementara itu, mantan Menteri ESDM Sudirman Said (2014—2016), yang pernah bersama Mar'ie Muhammad tergabung dalam Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), menuturkan betapa berat pergumulan seniornya itu selaku pejabat tinggi negara. Mar'ie berkutat dalam lingkungan kementerian yang begitu sarat korupsi, kendati masa itu belum ada apa-apanya dibandingkan korupsi masa sekarang. Tapi, Mar'ie tetap bisa hidup lurus dengan menjaga betul antara ranah privat dengan domain publik.
“Saya menghayati betul betapa sulitnya hidup menjadi putra-putri Pak Mar'ie. Karena kan mereka ini bergaul dengan anak menteri yang lain, anak pejabat yang lain, tapi diminta atau dipaksa untuk hidup dengan lurus, padahal punya privilese,” ujar Sudirman Said.
Baca juga: Mengawasi Anak-Anak Cendana
Di tengah keluarganya, Mar'ie menegaskan kepada istri dan anak-anak agar tidak menerima gratifikasi dalam bentuk apapun. Biarpun itu sah dan tidak melanggar hukum, kerap kali pemberian hadiah kepada keluarga Mar'ie dikembalikan lagi kepada pemiliknya. Itu semua dilakukannya demi menjaga integritas sebagai pejabat negara.
Tidak hanya julukan “Mr. Clean”, pada 1995, Mar'ie menerima penghargaan dari Asianmoney, majalah ekonomi terkemuka di Asia, sebagai menteri keuangan terbaik. Penghargaan itu diraih Mar'ie karena kepiawaiannya mengurusi Departemen Keuangan, terutama dalam mengatasi kasus kredit macet skandal Bapindo. Kebijakan Mar'ie memang menonjol dalam upayanya mengatasi kredit macet dengan empat jurus penyehatan bank.
Setelah pensiun dari jabatan kenegaraan, Mar'ie terlibat dalam pembentukan lembaga independen yang sehaluan dengan misi reformasi. Beberapa di antaranya Masyarakat Transparansi Indonesia dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang masih dikenal sampai hari ini. Selain itu, dedikasinya di bidang kemanusiaan juga terlihat dari perannya sebagai Ketua Palang Merah Indonesia (PMI) Pusat. Selama satu dekade (1999—2009), jabatan ketua PMI diemban Mar'ie Muhammad
Ketika menjadi ketua PMI, Mar'ie sering turun langsung ke lapangan melihat kondisi bencana hingga turut menyalurkan bantuan. Jurnalis influencer Najwa Shihab masih ingat waktu bencana tsunami 2004 melanda Aceh, Mar'ie dari PMI adalah kelompok garda terdepan yang langung menjejakkan kaki ke Aceh. Mar'ie, kenang Najwa, sudah tiba di Aceh pada Minggu siang Desember 2004, tatkala gempa tsunami mengguncang pada paginya. Perjalanan dilakukan secara darat dari Medan lantaran bandar udara di Aceh mengalami kerusakan akibat gempa. Sementara itu, Najwa baru berangkat pada hari kedua, bersama rombongan wartawan yang meliput mendampingi Wakil Presiden Jusuf Kalla dan sejumlah menteri.
“Kita sampai di Aceh dan yang menyambut kita Pak Mar'ie Muhammad,” kenang Najwa. “Saya ingat sekali Pak Mar'ie pakai kaos oblong putih lusuh dan topi hitam.”
Dalam situasi yang genting itu, Najwa menyaksikan bagaimana Mar'ie mengomandoi proses penanggulangan bencana serta mengambil kebijakan dengan bersegera. Seperti misalnya, keputusan untuk menguburkan secara massal korban-korban bencana alam yang sempat didahului proses penentangan oleh masyarakat setempat.
“Itulah cara kerja Mar'ie Muhammad. Setiap kali ada bencana skala besar, dia selalu di lapangan paling depan, tidak pernah berada di belakang layar. Selalu mengambil tindakan paling tepat, paling cepat. Dan karena itulah PMI di bawah Pak Mar'ie Muhammad waktu itu berubah total. Dari yang tadinya utang dan uangnya tidak ada, susah luar biasa dan kemudian menjadi lembaga yang bisa dipercaya sampai sekarang. Sekali lagi itu adalah buah dari kerja-kerja Mar'ie Muhammad,” beber Najwa.
Baca juga: Apa yang Salah dengan Lambang Palang Merah?
Mar'ie Muhammad wafat pada 11 Desember 2016 dalam usia 77 tahun. Teladan dan nilai yang diwariskannya masih aktual untuk keadaan sekarang. Ketika bobroknya mentalitas pejabat dan penyelenggara negara banyak dipertontokan hari ini, hidup sederhana dan menjauhi korupsi ala Mar'ie Muhammad sepertinya patut ditiru.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar