Gebrakan Anti Korupsi Ala Jenderal Jusuf
Ketua BPK yang berani memanggil menteri demi mengusut penyimpangan keuangan negara. Temuan-temuan kebocoran uang negara dilaporkannya langsung kepada presiden.
Jenderal TNI Mohammad Jusuf masuk gelanggang baru usai purna tugas sebagai Panglima ABRI. Presiden Soeharto menunjuk bangsawan Makassar itu untuk memimpin Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menggantikan Jenderal (Purn.) Umar Wirahadikusumah. Umar berhenti sebagai Ketua BPK karena harus mendampingi Soeharto sebagai wakil presiden.
Pada 29 Maret 1983, Jusuf resmi menjadi ketua BPK. Dari Istana setelah serah terima jabatan, Jusuf langsung menuju kantor BPK yang terletak di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Pusat. Hari itu, semua staf BPK telah menanti bos baru mereka dengan harap-harap cemas. Ketika Jusuf memperkenalkan diri, sepatah amanat terlontar.
“Yang memeriksa harus lebih bersih sebelum melakukan pemeriksaan,” kata Jusuf dicatat dalam Apa & Siapa Sejumlah Orang Indonesia: 1983—1984. “Tidak ada bangsa di dunia ini dapat menjadi besar apabila apabila tidak memiliki harga diri dan kehormatan.”
Itulah amanat perdana Jusuf yang disampaikan dihadapan seluruh jajaran BPK. Jusuf berupaya menegakkan wibawa lembaga yang saat itu dipandang sebelah mata.
Memangggil Pejabat Negara
Sebagai ketua BPK, Jusuf tidak begitu sering muncul ke muka publik sebagaimana waktu menjabat panglima ABRI. Penampilan pertama Jusuf di depan umum terjadi ketika Menteri Dalam Negeri Soepardjo Rustam mengundangnya pada 12 Oktober 1983. Menteri Rustam meminta Jusuf memberikan presentasi dalam rapat kerja gubernur se-Indonesia. Dalam pertemuan itu, Jusuf berbicara blak-blakan mengemukakan berbagai penyimpangan yang terjadi di pemerintahan.
Baca juga: Jenderal Jusuf dan Para Wartawan
Temuan penyimpangan itu diteruskan BPK dalam Hasil Pemeriksaan Tahunan (Haptah). Laporan tersebut kemudian diserahkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam bentuk buku tebal. Walau demikian, Jusuf masih geregetan lantaran Haptah hanya dianggap sebagai angin lalu belaka oleh DPR. Di sisi lain, BPK tidak punya kewenangan untuk menindaklanjuti saran-saran yang diberikan oleh Tim Auditor BPK kepada DPR.
Pada akhir 1984, Jusuf berdasarkan kewenangan yang diatur undang-undang memulai gebrakannya. Dia memanggil pejabat tingkat menteri untuk datang ke kantornya. Tindakan Jusuf terbilang berani. Pada masa itu, tidak sembarang orang biasa memanggil menteri selain presiden dan wakil presiden.
Jusuf mula-mula memanggil empat menteri. Kemudian pada 11 Desember 1984, Jusuf memanggil Menteri Pekerjaan Umum Suyono Sosrodarsono, Menteri Kesehatan Suwardjono Suryaningrat, dan Menteri Pertambangan dan Energi Dr. Subroto. Pemanggilan mereka berhubungan dengan hasil auditor BPK menyangkut keuangan negara.
Baca juga: Empat Partai Ini Terjerat Korupsi
“Pokoknya, semua pihak yang kita perlukan untuk dipanggil, ya kita panggil,” ujar Jusuf seperti terkisah dalam biografinya Jenderal M. Jusuf: Panglima Para Prajurit karya Atmadji SumarkidjoSewaktu memanggil Menteri Transmigrasi Martono, Jusuf mengemukakan banyaknya penyelewengan. Diantaranya soal pemberian hak transmigran di daerah baru. Ketika keluar dari kantor BPK, Martono mengatakan bahwa Ketua BPK mengingatkan dirinya agar hak para transmigran “jangan dilipat-lipat”.
Hal yang sama terjadi kepada Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Ketua Bapennas J.B Sumarlin. Dari Jusuf, Sumarlin mendapat informasi mengenai bentuk-bentuk penyelewengan yang ditemukan di kementeriannya. Tidak hanya menteri, Jusuf juga tidak segan memanggil pejabat level di bawah menteri bila diperlukan. Ini terjadi kepada Kepala Badan Urusan Logistik (Bulog) Bustanil Arifin yang tergolong kerabat "keluarga Cendana" dari pihak Ibu Tien Soeharto. Bustanil dipanggil karena adanya temuan auditor BPK bahwa beras yang dibagikan kepada pegawai negeri tidak sesuai dengan mutu yang ditentukan.
Baca juga: Penyamaran dan Integritas J.B. Sumarlin
Hingga akhir tahun 1985, Jusuf telah memanggil dan bertemu dengan hampir semua Menteri Kabinet Pembangunan IV, kecuali Menteri Pertahanan dan Panglima ABRI. Bagi Jusuf setiap warga negara menurut ketentuan undang-undang harus mau memberikan keterangan kepada BPK. “Kalau tidak, orang itu bisa aku ajukan ke pengadilan!” katanya seperti dicatat Atmadji.
Ketua Dua Periode
Sorotan atas Kinerja BPK di bawah kepemimpinan Jusuf terbilang positif. Tajuk rencana Suara Pembaruan, 9 Februari 1987 mengungkapkan temuan-temuan BPK atas penyalahgunaan uang negara. Kerugian negara dari Pemilu 1987 mencapai Rp 1,8 milyar. Piutang Bulog di berbagai perusahaan rekanannya sebesar Rp 300 milyar. Sementara itu, kredit macet di Koperasi Unit Desa (KUD) juga mencapai belasan milyar rupiah.
Meski kebijakannya memanggil menteri agak kontrovesial, Presiden Soeharto tampaknya sepaham dengan Jusuf. Hal ini dibuktikan dengan dipilihnya kembali Jusuf sebagai ketua BPK. Pada 9 Agustus 1983, Soeharto melalui surat keputusannya menetapkan Jusuf menjadi ketua BPK untuk periode kedua. Kebiasaannya memanggil menteri pun tetap diteruskan.
Baca juga: Empat Kasus Korupsi Besar pada Awal Orde Baru
Pada 1990, Jusuf menyerahkan hasil pemeriksaan tahunan BPK kepada DPR. Dalam laporannya, Jusuf menyebut betapa banyaknya pemakaian dana-dana pembangunan yang menyimpang. Misalnya, BPK menemukan penyertaan modal pemerintah dalam BUMN yang tidak jelas statusnya. Jusuf juga melaporkan penemuan penanganan kredit macet yang tidak didasarkan atas ketentuan-ketentuan yang berlaku. Berbagai proyek Pemerintah Daerah yang tidak efektif dan efisien menjamur dimana-mana. Juga ditemukan instansi-instansi yang melakukan pengeluaran tidak pada tempatnya, seperti pembelian barang untuk jangka waktu panjang.
“Sayang laporan BPK itu tidak disiarkan seluruh isinya dari tahun ke tahun untuk diketahui masyarakat. Dan pers Indonesia sendiri kelihatannya cukup lama tidak lagi bersemangat untuk membongkar kasus korupsi, kecuali pernyataan-pernyataan dari sumber resmi,” tulis Mochtar Lubis dalam Korupsi Politik.
Cara kerja Jusuf melaporkan hasil temuan BPK pernah ditanyakan oleh Ben Mboi, gubernur Nusa Tenggara Timur. Menurut Mboi, Jusuf selalu membuat dua laporan temuan BPK. Laporan sesuai dengan realitas temuan diberikan kepada Presiden Soeharto agar dia mengetahui kondisi birokrasi negara yang sebenarnya. Sementara kepada DPR hanya laporan yang memperhatikan dampak-dampak poltik saja.
Baca juga: Pemberantasan Korupsi Setengah Hati Rezim Orde Baru
“Hal-hal yang berdampak politik secara kualitatif saja dan bukan kuantitatif saya kirim ke DPR. Tapi Presiden harus tahu yang kualitatif dan kuantitatif,” kata Jusuf kepada Mboi dalam memoar Ben Mboi: Memoar Seorang Dkoter, Prajurit, Pamong Praja. Dengan demikian, aksi lanjutan pemberantasan korupsi terpulang kembali kepada Soeharto sendiri.
Pada 1993, Jusuf mengakhiri periode keduanya sebagai ketua BPK. Kedudukan itu pula yang menjadi jabatan terakhirnya dalam pemeritahan. Setelah 45 tahun mengabdi negara yang dirintis dari prajurit hingga pejabat sipil, maka purnabaktilah Jenderal (Purn.) M. Jusuf.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar