Penyamaran dan Integritas J.B. Sumarlin
Kisah menteri yang menyamar sebagai pegawai rendahan untuk membongkar korupsi. Berani pada anak presiden dan negara industri.
Johannes Baptista (J.B.) Sumarlin, mantan Menteri Penertiban Aparatur Negara (PAN) dan Menteri Keuangan di Kabinet Pembangunan Orde Baru, wafat pada 6 Februari 2020. Jenazahnya dimakamkan di San Diego Hill, Karawang, Jawa Barat, pada 10 Februari 2020. Sepanjang hayatnya, Sumarlin dikenal sebagai sosok bersih, berintegritas, dan berani.
“Beliau bahkan tidak segan menyamar sebagai pegawai RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) dalam rangka membongkar praktik korupsi yang ada dan untuk mencari tahu sendiri siapa saja pelakunya,” kenang Menteri Keuangan Sri Mulyani kepada wartawan dalam upacara serah terima jenazah J.B. Sumarlin di Kementerian Keuangan, Jakarta, 10 Februari 2020.
Penyamaran berlangsung saat tahun-tahun awal Pak Marlin, panggilan akrab J.B. Sumarlin, menjabat Menteri PAN pada Juli 1974.
Saat itu banyak orang tahu bahwa aparatur negara kaprah sogok-menyogok untuk banyak urusan. Korupsi tercium begitu kuat, tapi wujudnya tak kentara.
“Praktik itu sudah menjadi amat biasa dan meluas sehingga menjadi bagian dari hidup sehari-hari,” terang Satrio Boedihardjo Joedono, salah seorang sahabat Sumarlin, dalam “J.B. Sumarlin dan Pemberantasan Korupsi” termuat di J.B. Sumarlin di Antara Sahabat.
Pak Marlin memperoleh tugas untuk menertibkan segala penyelewengan aparatur negara. Dia memulainya dari RSCM. Sebab dia menerima laporan penyelewengan dana untuk gaji para pegawai RSCM. Atas perkenan Menteri Keuangan Ali Wardhana, dia memulai penyamarannya.
Pak Marlin masuk RSCM dengan bantuan Prof. Dr. Rukmono, direktur RSCM. Orang ini satu-satunya di RSCM yang mengetahui misi Pak Marlin.
Operasi Tangkap Tangan
Selama menyamar, nama Sumarlin lesap, berganti dengan Sidik. Dia bertugas di bagian pendidikan RSCM.
Sehari-hari Sidik menggunakan kopiah. Polahnya selayak pegawai rendahan. Begitu jatmika dan manut-manut saja apa kata atasannya. Dia tak banyak bertanya sana-sini. Dia benar-benar mengikuti arus di lingkungannya. Tak seorang pun curiga. Tak ada pula yang mengenal atau mengetahui kedudukannya sebagai Menteri PAN.
“Ketika itu Sidik benar-benar agak tolol,” kata Harta kepada Kompas, 16 Juli 1974, dalam “Kisah Penyamaran Menteri Sumarlin sebagai Pegawai RSTM”.
Harta adalah atasan Pak Marlin di RSTM (nama lama RSCM). Dia kerap menugaskan Sidik ke bagian keuangan RSCM untuk mengurus berkas-berkas gaji pegawai.
Bagian keuangan RSCM berhubungan langsung dengan Kantor Bendahara Negara (KBN) II di Jalan Juanda, Jakarta. Dari kantor inilah muasal penyelewengan. Pegawai KBN II menyunat gaji para pegawai RSCM.
Pak Marlin menceritakan temuannya kepada Ali Wardhana. Keduanya merencanakan operasi tangkap tangan terhadap pelaku penyelewengan.
Ali Wardhana datang ke KBN II secara tiba-tiba. Pak Marlin masih memerankan tokoh Sidik. Saat itu dia menunggu penyerahan berkas gaji pegawai RSCM dari pegawai KBN II.
Para penyeleweng terperanjat melihat kedatangan Ali Wardhana. Mereka baru saja memanipulasi berkas-berkas gaji pegawai RSCM. Bukti-bukti terhampar jelas.
Sidik melepas kopiahnya. Ali Wardhana memperkenalkannya sebagai Menteri PAN. Penyeleweng terkejut untuk kali kedua. Mereka mustahil lari dari perbuatan lancungnya. Hari itu juga Ali Wardhana memecat mereka, lima orang penyeleweng.
Menolak Anak Presiden
Integritas dan keberanian Pak Marlin juga terungkap dalam kisahnya menolak permintaan Tommy Soeharto. Ini terjadi ketika Pak Marlin menjadi Menteri Keuangan periode 1988—1993.
Tugas sebagai menteri membuat Pak Marlin dekat dengan Presiden Soeharto. Tapi kedekatan itu tak berarti dia mesti selalu menurut kepada lingkaran keluarga Presiden. “Sumarlin tidak bisa didikte untuk memuluskan bisnis keluarga Cendana,” kata Fikri Jufri, mantan wartawan, dalam “Sumarlin, Sidik, Harun al-Rasyid” termuat di J.B. Sumarlin di Antara Sahabat.
Baca juga: Bisnis Senjata Keluarga Cendana
Pernah suatu hari Tommy Soeharto bersama Direktur Jenderal Koperasi mendatangi Pak Marlin. Tujuannya minta pinjaman Rp800 miliar bagi kebutuhan Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Menurut Tommy, dana itu buat stabilisasi harga cengkeh dan kebaikan petani. Tapi Pak Marlin tidak berpikir seperti itu. Dia menolaknya.
Tommy pulang ke rumah dan melapor ke ayahnya. Soeharto memanggil Pak Marlin. Dia menjelaskan BPPC sangat penting untuk kehidupan petani dan stabilisasi harga cengkeh. Tapi Pak Marlin balik menerangkan bahwa pengajuan kredit Tommy terlalu berisiko dan akan mengakibatkan inflasi. Soeharto agak sulit menerima penerangan itu. Tapi akhirnya dia bisa memahaminya.
Tata Ekonomi Internasional Baru
Pak Marlin menerapkan keberaniannya juga kepada pihak luar. Dia bersikap kritis terhadap negara-negara industri. Menurutnya, negara industri sudah terlalu lama dominan dalam mengatur tata ekonomi internasional. Mereka tak mau berbagi peran dengan negara berkembang. Padahal zaman terus berputar dan masalah bertambah. .
Tata ekonomi dunia lama beserta kelembagaannya yang berlandaskan Perjanjian Bretton Woods tidak lagi mampu memecahkan masalah ketimpangan ekonomi dunia pada 1970-an.
Setelah Perang Dunia II, pertumbuhan ekonomi negara-negara berkembang jauh lebih baik daripada periode sebelum Perang Dunia II. Tetapi celah perbedaan pendapatan per kapita antara negara berkembang dengan negara industri justru melebar.
Pendapatan per kapita negara berkembang berada di kisaran US$190 pada 1950, sedangkan di negara industri menyentuh US$400. Memasuki dekade 1970-an, pendapatan per kapita negara berkembang meningkat menjadi US$400. Tapi kenaikan pendapatan per kapita di negara industri lebih pesat lagi. Hingga ke angka US$5.240.
Baca juga: Awal Mula Indonesia Mengutang Pada IMF
Ketimpangan ekonomi makin lebar dan pertumbuhan ekonomi di negara berkembang gagal membawa perbaikan taraf hidup pada penduduknya.
“Pertumbuhan ekonomi tidak selalu disertai dengan adanya perbaikan taraf hidup yang sepadan bagi sebagian besar rakyat, sehingga timbul masalah pemerataan pembangunan ekonomi di negara-negara tersebut,” ungkap J.B. Sumarlin dalam “Pembangunan Negara-Negara Berkembang dalam Interdepedensi Ekonomi Dunia”, pidato pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 27 Februari 1981.
Negara-negara industri abai dengan keadaan ini. Negara-negara industri mau menang sendiri. Mereka membuat aturan main ekonomi dunia seperti perdagangan, keuangan, mekanisme moneter, teknologi, penanaman modal asing, dan perusahaan-perusahaan transnasional (TNC) untuk melanggengkan kepentingan mereka.
Negara berkembang terpaksa menerima aturan buatan negara industri tersebab tak mempunyai daya tawar memadai untuk mengambil peranan dalam pembuatan aturan dan segala hal menyangkut kelembagaan ekonomi dunia.
“Dalam berbagai kasus bahkan terjadi campur tangan urusan politik dalam negeri suatu negara serta pembatasan pelaksanaan bantuan luar negeri dalam hal adanya pertentangan antara perusahaan dengan negara tuan rumah,” kata Sumarlin.
Dari permasalahan mendasar inilah, Pak Marlin mengupayakan perlunya suatu tata ekonomi internasional baru. “Suatu perombakan struktural terhadap sistem ekonomi dunia memang sungguh-sungguh diperkukan. Dengan perundingan dan kerjasama yang didasarkan atas iktikad baik, perubahan struktur sistem ekonomi tersebut akan memberikan keuntungan lebih besar kepada ekonomi dunia secara keseluruhan,” kata Sumarlin.
Baca juga: Riwayat Masuknya Modal Asing Ke Indonesia
Pak Marlin menyarankan agar negara-negara berkembang bersatu. Kebersatuan akan memperkuat daya tawar negara berkembang untuk bernegosiasi dengan negara industri. Dia yakin jalan keluar permasalahan mendasar itu bisa berangkat dari dialog yang setara antara negara berkembang dan negara industri. Dan dialog, bagi Pak Marlin, adalah ikhtiar mencari hal terbaik bagi kepentingan dua pihak.
“Dialog bukan suatu usaha yang bersifat hanya menguntungkan sepihak saja,” kata Pak Marlin.
Untuk memulai dialog yang setara, negara berkembang tak cukup hanya mengandalkan seruan moral dan etik kepada negara industri. Mereka harus memperkuat daya tawarnya sendiri. Dimulai dengan percaya pada dirinya sendiri. Ini persyaratan awal untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan ketergantungan dari negara-negara industri. Semakin mandiri suatu negara, semakin besar peluangnya untuk berada di posisi tawar yang lebih kuat.
Kepercayaan diri sebuah negara diperoleh melalui pemenuhan kebutuhan pokok warga negaranya dengan sumber pembiayaan dari dalam negeri. Pemenuhan itu tidak semata bergantung pada kekuatan luar. Tapi ini bukan berarti sebuah negara harus mencukupi segala kebutuhannya sendiri.
“Akan tetapi memang harus nampak adanya prioritas produksi dalam negeri, adanya diversifikasi dalam pasar impor serta pengadaan persediaan dalam jumlah yang cukup di dalam negeri,” catat Pak Marlin. Dia memandang Indonesia telah melakukannya melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Dan dia merasa terhomat bisa terlibat dalam upaya itu. Upaya untuk menjadikan Indonesia mampu bernegosiasi dengan negara industri dalam menciptakan tata ekonomi internasional baru.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar