Merentang Sejarah Uang
Uang telah digunakan di Nusantara sejak zaman kuno. Butuh waktu lama untuk menyatukan mata uang.
Masihkah Anda membawa uang di dompet? Dalam beberapa tahun terakhir, pertumbuhan uang kartal (kertas dan logam) mengalami penurunan. Perkembangan teknologi mendorong masyarakat untuk memilih uang elektronik. Evolusi uang tengah berlangsung.
Jauh sebelum mengenal uang, manusia melakukan barter atau pertukaran barang atau jasa untuk barang dan jasa yang diinginkan. Praktik barter telah dimulai sejak puluhan ribu tahun lalu. Namun, tak mudah untuk meraih kesepakatan mengenai nilai pertukarannya. Timbullah kebutuhan akan adanya suatu alat penukar.
Selama berabad-abad berbagai benda dipakai sebagai alat pertukaran atau alat pembayaran seperti kulit kerang, batu permata, gading, telur, garam, beras, binatang ternak, atau benda-benda lainnya. Dalam perkembangan selanjutnya masyarakat menggunakan benda-benda seperti logam dan kertas sebagai uang.
"Uang telah digunakan sejak berabad-abad yang lalu dan merupakan salah satu penemuan manusia yang paling menakjubkan," tulis Solikin dan Suseno dalam Uang: Pengertian, Penciptaan, dan Peranannya dalam Perekonomian.
Pada awalnya uang berfungsi sebagai alat penukar atau pembayaran. Seiring perkembangan peradaban manusia, uang juga berfungsi sebagai alat penyimpan nilai, satuan hitung, dan ukuran pembayaran yang tertunda.
Tampilan uang pun terus mengalami evolusi. Dari awalnya berbentuk barter, kemudian ke kulit kerang, koin, kertas, plastik, dan kini dalam bentuk elektronik. Lalu bagaimana nasib uang kartal? Akankah uang punah dan hanya menjadi pelengkap museum?
Sebelum hal itu terjadi, tak ada salahnya kita mengenal sejarah uang di Indonesia.
Bukti Tertua
Museum Nasional memiliki koleksi dua uang logam (no. inv. 2087 dan no. inv. 2119) dari zaman Hindu-Buddha di Jawa yang terbuat dari perak. Bentuknya cembung, sisi depan bergambar pot bunga, dua tangkai bunga, dan garis-garis lekuk sekitarnya seperti ruang-asap. Sedangkan pada sisi belakang terdapat bunga lotus mekar terletak di dalam garis berbentuk persegi empat.
"Menurut Candra Sengkala Memet, bahwa gambar-gambar tersebut mempunyai arti sebagai berikut: pot bunga berarti 9, bunga berarti enam dan ruang asap berarti 5. Dari angka-angka itu, diperkirakan mata uang ini digunakan sebagai alat tukar sekitar tahun 569 [Saka] atau tahun 647 AD (Masehi)," demikian disebut dalam Katalog Pameran Peringatan Ulang Tahun Ke-200 Museum Pusat.
Baca juga: Mata Uang Zaman Kuno
Uang logam perak itu menjadi bukti tertua penggunaan uang di Jawa. Selain mata uang perak, menurut arkeolog Supratikno Rahardjo dalam Peradaban Jawa, ditemukan juga mata uang emas. Paling awal berbentuk batangan, jumlahnya sedikit, dan ukurannya tidak tentu baik bentuk maupun berat. Ini mengindikasikan mata uang itu tak digunakan secara umum sebagai alat tukar.
Sebagian besar mata uang emas yang ditemukan di Jawa Tengah berasal dari abad ke-9 dan ke-10 dan termasuk tipe piloncito (ukurannya kecil, gepeng seperti dadu dengan sudut-sudut membulat).
"Mengingat mata uang Jawa pada masa awal menggunakan logam-logam mulia (emas dan perak) yang jumlahnya tentu terbatas," tulis Supratikno, "maka sebagian transaksi mungkin tidak menggunakan mata uang, melainkan dengan cara barter."
Uang Kepeng
Sejarawan Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680 jilid 2 mengungkapkan bahwa di Jawa, prasasti tak lagi menyebut mata uang Jawa (perak dan emas, red.) setelah sekira tahun 1300, kecuali hanya menyebut picis, mata uang tembaga dari Tiongkok. Bentuknya kecil bulat mempunyai lubang persegi di tengah agar dapat diikat sebanyak seribu.
Menurut sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa Silang Budaya, kelebihan uang kepeng itu tidak langsung tampak. Banyak orang mula-mula menggunakannya untuk memperoleh komoditas yang digemari, yaitu tembaga. Artinya, uang itu dibarter dengan komoditas seperti rempah-rempah.
"Kepeng Cina itu mulai tersebar bersamaan dengan majunya perniagaan [Dinasti] Sung dan secara khusus membanjiri Jawa yang peran perantaranya dalam jaringan niaga sedang menguat," tulis Lombard.
Baca juga: Mata Uang Tiongkok Era Majapahit
Tingginya permintaan uang kepeng di Jawa memicu penyelundupan dari Tiongkok dan pembuatan tiruannya dari logam campuran (perak, timah, timbal, dan tembaga). Di Jawa, uang tiruan ini disebut gobog dengan lubang persegi di tengah-tengah dan garis tengah yang lebih besar.
Reid menyebut tujuan pembuatan uang kepeng tiruan di Jawa dan di tempat lain untuk menjaga persediaan karena hubungan langsung dengan Tiongkok menurun sekitar tahun 1500. "Bagaimanapun mata uang tembaga Cina dan mata uang timah tiruannya telah menjadi dasar penggunaan mata uang di Asia Tenggara pada tahun 1500," tulis Reid.
Uang Kerajaan dan Eropa
Selain mata uang dari Tiongkok, kerajaan-kerajaan Islam juga mengeluarkan mata uang. Hermanu dalam Seri Lawasan: Uang Kuno, mendatanya. Misalnya, Kesultanan Pasai dan Aceh (dirham dan mass dari emas dan keuh atau kasha dari timah), Banten (kasha dari tembaga), dan Cirebon (picis dari timah).
Kedatangan bangsa Eropa membawa mata uang baru. Pada abad ke-16, Portugis mengedarkan mata uang yang terbuat dari perak, yaitu piastre Spanyol yang disebut juga mat, pasmat, real, atau dollar.
Setelah Portugis, Kongsi Dagang Hindia Timur (VOC) menancapkan kaki di Nusantara. Pada masa jayanya, beredar bermacam-macam mata uang seperti rijksdaalder, dukat, stuiver, gulden, dan doit. Bahan yang digunakan adalah emas, perak, tembaga, nikel, dan timah. Bentuknya bundar pipih dengan ukuran diameter yang tidak sama. Mata uang tersebut dibuat di Negeri Belanda.
"Kemungkinan kata 'duit' yang kita kenal sekarang ini berasal dari kata doit yang kemudian dalam bahasa Arabnya berbunyi doewit," tulis Djani A. Karim dalam Mata Uang dalam Sejarah.
Baca juga: Uang Kuno bukan Sembarang Uang
Beredar pula mata uang dari emas dan perak dirham Jawi atau dukat Jawa yang dibuat di Batavia (Jakarta) dengan ditandai tulisan Arab. Bentuk dan ukurannya sama dengan mata uang lain yang dibuat dari tembaga dan timah. Uang tersebut, menurut Lombard, dibuat setelah tercapai kesepakatan antara Gubernur Jenderal VOC Gustaaf Baron van Imhoff dan Sunan Mataram Pakubuwana II.
Menjelang bubar, catat Hermanu, VOC membuat uang darurat dari potongan-potongan batang tembaga berbentuk segi empat yang dicetak di Batavia. Uang ini disebut bonk.
Setelah VOC bubar, Hindia Belanda berada di bawah pemerintahan Republik Bataaf (1799-1806). Mata uang yang dikeluarkan bertuliskan Indiӕ Batavorum dengan satuan nilai gulden dan stuiver.
Baca juga: Sepuluh Fakta VOC yang Belum Diketahui
Ketika Belanda diduduki Prancis, Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808-1811) mengedarkan mata uang berinisial LN singkatan dari Louis Napoleon, adik Napoleon Bonaparte, yang menjadi raja Belanda. Bentuk uang itu bundar pipih dan terbuat dari tembaga.
Inggris mengambil alih Hindia Belanda dengan Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur Jenderal (1811-1816). Raffles membuat mata uang rupee yang bentuknya bundar pipih dan terbuat dari emas, perak, tembaga, dan timah. Kedua sisinya tertera tulisan Jawa dan Arab. Mata uang ini dicetak di Batavia. Diperkirakan kata "rupiah", mata uang Republik Indonesia, berasal dari rupee yang ditulis dalam bahasa Arab dengan ucapan roepiyah. Selain rupee, beredar pula uang bertuliskan EIC (East India Company atau Kongsi Dagang India Timur).
Penyatuan Mata Uang
Setelah Inggris hengkang, Belanda kembali menguasai Hindia Belanda. Pemerintah membentuk De Javasche Bank (DJB) pada 1828 untuk mengatur pembuatan dan peredaran uang. Bank ini mencetak uang kertas dan uang logam.
Menurut Lombard, sejak pertengahan abad ke-18 berbagai usaha dilakukan untuk menyehatkan moneter dan menyatukan mata uang. Tapi baru satu abad kemudian penyederhanaan itu terlaksana. Pada 1854 diputuskan semua mata uang yang digunakan di Hindia Belanda diganti dengan mata uang yang beredar di Belanda.
"Gulden, simbol kekuasaan ekonomi Eropa yang terus meningkat, sedikit demi sedikit menjadi uang yang harus digunakan di seluruh Nusantara," tulis Lombard. "Baru setelah tahun 1930 kesatuan mata uang menjadi kenyataan."
Kesatuan mata uang pupus masa pendudukan Jepang. Pada awalnya Jepang tak mencetak uang sendiri. Mata uang lama dari pemerintahan sebelumnya masih berlaku, yakni gulden ("rupiah Belanda") dan "gulden Jepang" yang telah dipersiapkan Jepang untuk daerah-daerah pendudukan. Hingga akhirnya Jepang menerbitkan mata uang baru.
Baca juga: ORI, Uang Perjuangan dan Persatuan
Setelah Indonesia merdeka, tak adanya kesatuan mata uang masih berlangsung. Uang Jepang masih dianggap sebagai uang sah pada awal kemerdekaan Indonesia bersama uang DJB keluaran 1925-1941, dan uang pemerintah Hindia Belanda terbitan 1940-1941.
Pemerintah Indonesia menerbitkan Oeang Republik Indonesia (ORI) tapi juga harus berhadapan dengan "uang NICA" (Netherlands-Indies Civil Administration). Bahkan karena terhambatnya peredaran ORI, pemerintah memberi izin pemerintah daerah untuk menerbitkan mata uang sendiri yang dikenal dengan nama Oeang Republik Indonesia Daerah (ORIDA).
Penyeragaman mata uang baru terjadi setelah pengakuan kedaulatan melalui Konferensi Meja Bundar tahun 1949. Menyusul terbentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS), terbit uang RIS atau disebut juga "uang federal".
Pada 17 Agustus 1950, pemerintah Republik Indonesia menyatakan RIS bubar. Bentuk pemerintahan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penggunaan mata uang RIS menyusul kemudian.
Mata uang rupiah dalam bentuk uang kartal masih digunakan hingga saat ini.
Masyarakat Tanpa Uang
Era digital mendorong penggunaan uang elektronik. Pemerintah juga tak berpangku tangan. Bahkan, mendorong sistem keuangan digital lebih berkembang di Indonesia. Namun, bukan berarti uang kartal tidak dibutuhkan.
Menurut Hatib Kadir, dosen antropologi Universitas Brawijaya, dalam kolomnya bertajuk "Punah dan Kotornya Uang 'Cash'" di detik.com, dari beragam fungsi uang, revolusi terbesar terjadi pada metode uang sebagai alat pembayaran karena caranya terus mengalami perubahan.
"Sebagai alat bayar, uang pada saat ini beralih fungsi sebagai informasi. Ketika menerima gaji misalnya, kita tidak melihat uang kita karena langsung ditransfer di bank," tulisnya.
Hatib Kadir menambahkan, perubahan penggunaan uang bertujuan memudahkan fungsi uang yang bahkan ada sejak zaman Mesopotamia. Teknologi semacam ponsel membantu untuk memudahkan hal tersebut.
Baca juga: (R)evolusi ATM
"Penggunaan uang elektronik bukan seperti penemuan pesawat terbang yang canggih, namun sebenarnya ada hal yang tetap dalam uang. Ia merupakan konvensi, kesepakatan dan seperangkat relasi dalam organisasi yang kompleks di masyarakat. Nilai dan fungsinya tetap sama," tulisnya.
Kendati demikian, uang kartal masih dibutuhkan. Indonesia akan tetap mencetak dan mengawasi uang kartal. Proporsinya memang berkurang tapi bentuk penggunaan uangnya saja yang bergeser.
Namun, uang kartal juga bukan tanpa kelemahan. Biaya pengadaan dan pengelolaannya terbilang mahal. Belum lagi memperhitungkan inefisiensi dalam waktu pembayaran dan risiko keamanan seperti pencurian, perampokan dan pemalsuan uang. Karena itu pula Bank Indonesia terus mendorong masyarakat untuk memakai alat pembayaran nontunai demi terbentuknya cashless society atau masyarakat nontunai.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar