Kementerian Keuangan di Masa Perang
Bayangkan betapa susahnya mengelola sebuah kementerian di tengah situasi perang. Dengan dana dan sumber daya manusia yang terbatas.
KEMENTERIAN Keuangan mempunyai organisasi berskala besar dan heterogen. Ia merupakan satu-satunya kementerian yang bersifat holding company type department. Namun, ketika kelahirannya di awal kemerdekaan Indonesia tahun 1945, struktur organisasi Kementerian Keuangan tentulah masih kecil.
Menteri keuangan pertama dijabat Samsi Sastrawidagda, seorang doktor lulusan Sekolah Tinggi Dagang di Rotterdam, Belanda. Penunjukan Samsi bukan semata-mata karena kedekatannya dengan para perwira militer Jepang tapi juga faktor pengalaman. Selain duduk dalam organisasi-organisasi penting bentukan Jepang, dia pernah jadi anggota Panitia Persiapan untuk Membentuk Susunan Perekonomian Baru (Keizai Sintaisei Zunbi Iinkai) dan penasihat Zaimubu (Departemen Keuangan).
Baca juga: Menghapus Lembaga Keuangan Warisan Kolonial
Para pegawai yang semula bekerja pada instansi-instansi pemerintah Jepang dengan sendirinya menjadi pegawai departemen-departemen pemerintah Republik Indonesia. Dengan demikian para pegawai Zaimubu juga langsung menjadi pegawai Departemen Keuangan. Mereka bernaung di bawah sebuah unit yang dibentuk pada 2 September 1945 untuk menjalankan fungsi kesekretariatan –saat ini diperingati sebagai hari jadi Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan.
“Dalam revolusi fisik tahun 1945-1950, Kementerian Keuangan belum mempunyai organisasi yang sempurna serta belum mempunyai banyak tenaga ahli keuangan yang berpendidikan tinggi serta pengalaman yang luas, sehingga sukarlah mengadakan suatu perincian pekerjaan yang lengkap,” tulis Ikhtisar Khasanah Arsip Arsip Nasional Republik Indonesia.
Susahnya Jadi Menteri
Menjadi menteri di sebuah negara yang baru merdeka tentu bukanlah perkara mudah. Menurut Moehkardi dalam biografi R. Mohamad dalam Revolusi 1945 Surabaya, sebagai menteri keuangan pertama, Samsi berusaha mencari dana untuk membiayai perjuangan dan jalannya pemerintahan.
Saat itu terbersit kabar bahwa Bank Escompto di Surabaya menyimpan uang peninggalan pemerintahan Hindia Belanda yang disita tentara Jepang. Samsi berhasil membujuk pejabat Jepang untuk menyerahkan uang tersebut.
Suatu rekayasa “kekerasan” kemudian disepakati. Badan Keamanan Rakyat (BKR), yang kemudian menjadi TNI, mengambil dana tersebut dengan operasi “penggedoran” yang dirahasiakan. Berpeti-peti uang gulden dalam waktu singkat dipindahkan dari Bank Escompto ke markas BKR. Uang itu kemudian disumbangkan kepada pemerintah pusat dan dipakai untuk dana perjuangan.
Samsi juga sangat berperan dalam proses penyerahan persenjataan dan perlengkapan Angkatan Laut Jepang kepada Indonesia.
Baca juga: Merentang Sejarah Uang
Kala itu Samsi tetap tinggal di Surabaya. Dia tidak pernah memimpin secara langsung Departemen Keuangan. Karena itu pula, tulis Ayatrohaedi dkk. dalam Kumpulan Buklet Hari Bersejarah II, Samsi belum dapat menyusun organisasi Departemen Keuangan. Masa jabatannya juga singkat; hanya dua minggu.
Samsi mengundurkan diri dengan alasan kesehatan pada 26 September 1945 dan digantikan oleh Mr. A.A. Maramis, ahli hukum lulusan Leiden yang sebelumnya menjabat menteri negara.
Maramis juga sadar betapa berat tanggung jawab ini. “Sedikit sekali orang yang membayangkan bagaimana sukarnya menjadi menteri keuangan di suatu negara baru yang ekonominya porak peranda akibat peperangan,” tulis Fendy E.W. Parengkuan dalam biografi A.A. Maramis, SH.
Ikut Hijrah
Maramis berperan dalam pembentukan sebuah panitia pencetakan Oeang Republik Indonesia (ORI). Selain itu, dia menyusun struktur organisasi Kementerian Keuangan. Pada tahap awal dia melakukan penghapusan sistem kepengurusan keuangan pemerintahan pendudukan Jepang yang dikenal dengan Nanpo Gun Gunsei Kaikai Kitei.
“Bila sistem kepengurusan keuangan model Jepang dihapus sama sekali, tidak demikian halnya dengan struktur organisasi keuangan yang baru dibentuk,” tulis Ayatrohaedi dkk.
Maramis mengadopsi bentuk struktur organisasi Zaimubu. Susunannya terdiri atas lima pejabatan (sekarang jabatan eselon I). Setiap pejabatan membawahi tiga urusan. Pejabatan-pejabatan tersebut yakni Pejabatan Umum, Pejabatan Keuangan, Pejabatan Pajak, Pejabatan Resi Candu dan Garam, serta Pejabatan Pegadaian.
“Dalam perkembangan selanjutnya organisasi Kementerian Keuangan ini berubah-ubah, baik struktur maupun fungsional, sejalan dengan perkembangan negara yang baru merdeka,” tulis Ikhtisar Khasanah Arsip Arsip Nasional Republik Indonesia.
Baca juga: Garis Hidup A.A. Maramis
Pada 3 November 1945, terbit Maklumat Wakil Presiden No. X dan Maklumat Pemerintah mengenai pergantian sistem pemerintahan dari Presidensial menjadi Parlementer. Hal ini menyebabkan para menteri tak bertanggung jawab lagi kepada presiden melainkan kepada Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) –cikal-bakal badan legislatif di Indonesia.
Dengan perubahan sistem tersebut, Kabinet Sjahrir I dibentuk. Untuk jabatan menteri keuangan ditunjuk Soenarjo Kolopaking, seorang ahli hukum didikan Leiden. Soenarjo pernah bekerja di Algemene Volkscredietbank Jakarta, manajer perusahaan-perusahaan Mangkunegaran, hingga kepala Jawatan Ekonomi Rakyat. Karena ingin fokus di bidang pendidikan, Soenarjo mengundurkan diri.
Sjahrir menawarkan jabatan tersebut kepada Sjafruddin Prawiranegara, yang pernah bekerja di Kantor Inspeksi Pajak Kediri dan pegawai Zaimubu. Sjafruddin juga menolak. Jabatan itu akhirnya diserahkan kepada Soerachman Tjokroadisoerjo.
Kendati seorang insinyur kimia, Soerachman punya pengalaman panjang di bidang ekonomi dan keuangan. Dia pernah bekerja di Departemen Perekonomian pada masa kolonial dan Departemen Perekonomian atau Kemakmuran masa pendudukan Jepang. Kemudian pada masa Kabinet Presidensial, dia menduduki posisi Menteri Kemakmuran.
Baca juga: ORI, Lahirnya Uang Putih
Salah satu program Kabinet Sjahrir I adalah melanjutkan pencetakan ORI yang dirintis Maramis. Namun proses itu terpaksa dihentikan. Tentara Belanda (NICA) dengan membonceng tentara Sekutu mendarat di Jakarta. Karena situasi Jakarta semakin genting, pemerintahan hijrah ke Yogyakarta. Kementerian Keuangan juga ikut pindah.
Soerachman masih dipercaya sebagai menteri keuangan pada masa Kabinet Sjahrir II dengan didampingi Sjafruddin Prawiranegara sebagai menteri muda keuangan. Soerachman memimpin Departemen Keuangan di Yogyakarta. Sjafruddin Prawiranegara tetap tinggal di Jakarta, walaupun akhirnya pindah juga ke Yogyakarta. Sementara unit-unit Departemen Keuangan tidak semua ditempatkan di Magelang. Urusan Bea dan Cukai dan Pejabatan Pajak dipindahkan ke Prembun (Kebumen). Pejabatan Pegadaian serta Pejabatan Resi dan Candu dan Garam dipindahkan ke Solo atau Surakarta.
Sebagai langkah utama mengatasi kesulitan ekonomi, menteri keuangan menjalankan program pinjaman nasional. Hal ini mendapat persetujuan dari BP-KNIP. Pada Juli 1946, program pinjaman nasional digulirkan dan diharapkan mampu menyedot dana masyarakat. Untuk mendukung program tersebut, pemerintah membentuk Bank Tabungan Pos, Program ini mendapat dukungan dan kepercayaan dari masyarakat. Terbukti, pada tahun pertama, terkumpul uang sejumlah Rp500 juta.
Karena pekerjaan kian bertambah, Sjafruddin Prawiranegara merombak struktur organisasi Kementerian Keuangan menjadi delapan pejabatan. Tiga pejabatan baru. Yakni Pejabatan Bea dan Cukai serta Pejabatan Pajak Bumi, sebelumnya berada dalam naungan Pejabatan Pajak. Kemudian ada Pejabatan Uang, Bank, dan Kredit yang sebelumnya berada di bawah Pejabatan Keuangan.
Posisi menteri keuangan berubah pada masa Kabinet Sjahrir III. Sjafruddin Prawiranegara diangkat menjadi menteri keuangan dengan Lukman Hakim, yang pernah bekerja di Kantor Penetapan Pajak Semarang dan Kantor Besar Pajak Jakarta, sebagai wakilnya. Pada periode inilah ORI dicetak dan mulai diberlakukan sebagai alat tukar yang sah.
Menuju Masa Peralihan
Pergantian kabinet kembali merombak anggota kabinet. Maramis kembali dipercaya menjabat menteri keuangan pada masa Kabinet Amir Sjarifuddin I. Posisi ini terus diembannya di masa Kabinet Amir Sjarifuddin II dan Kabinet Hatta I.
Pada masa Kabinet Amir I dan II, didampingi Ong Eng Die sebagai Menteri Muda Keuangan, Maramis bertugas mencari dana untuk membiayai angkatan perang, menghadapi agresi militer, dan berbagai perundingan. Maramis juga mengambil kebijakan dengan memberikan kewenangan kepada daerah untuk menerbitkan mata uang sendiri yang dikenal dengan nama ORIDA. Sementara pada masa Kabinet Hatta I, dia melaksanakan perdagangan candu dan emas ke luar negeri. Tujuannya, membentuk dana devisa dari luar negeri untuk membiayai pegawai pemerintah RI (perwakilan-perwakilan) Indonesia di luar negeri.
Baca juga: A.A. Maramis, Pejabat Republik Urusan Candu
Maramis juga membenahi organisasi Kementerian Keuangan. Menurut Saeful Anwar dan Anugrah E.Y. (ed.) dalam Organisasi Kementerian Keuangan dari Masa ke Masa, selain mandat untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI), Presiden Sukarno memberi mandat kepada Maramis untuk mengubah struktur organisasi Kementerian Keuangan yang sesuai dengan kebutuhan saat itu.
Keluarlah Peraturan Pemerintah No. 51 Tahun 1948 yang mengatur susunan Kementerian Keuangan dan mengubah nomenklatur pejabatan menjadi jawatan. Struktur organisasi Kementerian Keuangan pun menjadi delapan jawatan, yaitu Kantor Pusat Kementerian Keuangan, Thesauri Negara, Jawatan Pajak, Jawatan Bea Cukai, Jawatan Pajak dan Bumi, Jawatan Resi dan Candu, dan Jawatan Pegadaian.
Baca juga: Mengurai Sejarah APBN Indonesia
Kantor Pusat Kementerian Keuangan, yang sekarang kita kenal dengan nama Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan, semula adalah Pejabatan Umum. Sementara Thesauri Negara merupakan gabungan dari Pejabatan Keuangan dan Pejabatan Urusan Utang, Kredit, dan Bank. Tugasnya melaksanakan fungsi anggaran dan perbendaharaan. Jawatan ini meliputi inspeksi anggaran, bagian anggaran negara, bagian statistik keuangan, bagian moneter, jawatan akuntansi negara, jawatan perbendaharaan dan kas negeri, biro pengawasan kas, biro normalisasi, dan jawatan perjalanan.
PDRI yang berpusat di Bukittinggi, Sumatra Barat, juga membentuk kabinet sementara atau biasa disebut Kabinet Darurat. Menteri keuangannya dijabat Lukman Hakim, merangkap Menteri Kehakiman ad interim.
Lukman kemudian menjabat menteri keuangan pada masa Kabinet Hatta II. Posisi ini tetap diembannya pada masa Kabinet Susanto, yang merupakan kabinet peralihan sewaktu membentuk Republik Indonesia Serikat (RIS).
Baca juga: Tiga Menteri Keuangan Terbaik Indonesia di Dunia
Setelah terbentuknya RIS, terdapat dua menteri keuangan. Menteri keuangan di dalam Kabinet RIS dijabat Sjafruddin Prawiranegara. Sedangkan menteri keuangan dalam Kabinet Halim, kabinet pemerintah Republik Indonesia yang merupakan bagian dari RIS, diduduki oleh Lukman Hakim.
“Saya akan coba menyelesaikan anggaran dari negara dan sedapat-dapatnya supaya defisit jangan terlalu besar. Akan mengawasi terhadap pemakaian uang sehingga betul digunakan untuk keperluan yang ditentukan. Menambah penghasilan negara dengan memperbaiki alat-alat pemerintahan yang memungut pajak, dan lain-lain usaha yang menghasilkan. Menghemat pengeluaran negara,” ujar Lukman Hakim, dikutip Kabinet Republik Indonesia terbitan Departemen Penerangan tahun 1950.
Setelah RIS dibubarkan dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia, pembenahan struktur organisasi Kementerian Keuangan bisa dilakukan dengan lebih tenang. Kendati demikian, tugas Kementerian Keuangan bukannya menjadi ringan tapi bertambah berat. Selain membangun negara yang hancur akibat perang, gejolak politik dan pemberontakan-pemberontakan di daerah berimbas pada keuangan negara.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar