Hoegeng, Pensiunan Kapolri jadi Seniman
Hidup sederhana sebagai pelukis dilakoni Hoegeng Iman Santoso setelah menanggalkan jabatan orang nomor satu di kepolisian. Terselip kisah suka dan duka.
Sesosok manusia silver terjaring razia oleh Satpol PP kota Semarang dalam operasi yustisia. Usut punya usut, ternyata yang ditangkap seorang mantan polisi bernama Aipda Agus Dartono. Dalam pengakuannya, Agus mengaku terpaksa menjalani pekerjaan seniman jalanan itu lantaran gaji pensiunannya tidak mencukupi kebutuhan keluarga.
“Saya jalan nggak punya uang, nggak punya duit, kemudian dapat uang (jadi manusia silver) dua puluh ribu, dipegang Satpol PP. Saya bilang bekas anggota polisi, pensiunan polisi,” ujar Agus Dartono sebagaimana dilansir detik.com. Terakhir, Agus berdinas di satuan lalu lintas (satlantas).
Agus Dartono akhirnya dilepas usai dibina Satpol PP. Kasus ini sempat viral di berbagai media daring dan membuat iba sejumlah pihak. Kapolrestabes Semarang kabarnya menawarkan pekerjaan agar Agus tidak lagi mengamen ke jalan.
Menekuni bidang seni setelah purnabakti juga pernah dilakoni oleh Jenderal Hoegeng Iman Santoso. Hoegeng menjabat sebagai Kapolri periode 1968-1971. Setelah pensiun, Hoegeng menekuni kembali hobi lamanya, yakni melukis. Dari pistol dan walkie talkie saat menjadi polisi, kini pegangan Hoegeng berganti kuas dan kanvas.
Baca juga:
“Pada waktu senggang dan kalau sedang mood, saya biasa melukis. Ini kegemaran saya sejak kecil. Kebetulan istri saya juga senang melukis,” tutur Hoegeng dalam “Bertahan di Jalur Jujur” termuat di kumpulan tulisan Memoar Senarai Kiprah Sejarah: Jilid Tiga.
Hoegeng lebih intens mencurahkan waktu untuk melukis setelah tidak lagi membintangi acara musik di TVRI. Pada dekade 1970-an, Hoegeng bersama grup musik Hawaian Seniors tampil berkala di TVRI dalam acara bertajuk “Irama Lautan Teduh”. Dalam acara itu, Hoegeng menyanyikan lagu-lagu Hawaii yang memukau penonton hingga dirinya dijuluki sebagai “The Singing General”. Hoegeng juga kerap tampil berduet bersama sang istri, Merry. Namun, pada 1980, siaran Hawaian Seniors diberhentikan pemerintah karena aktivitas politik Hoegeng dalam kelompok oposisi Petisi 50.
“Gara-gara saya menandatangani Petisi 50 juga maka siaran musik Hawaiian kami lewat radio Elshinta dihentikan,” ungkap Hoegeng dalam otobiografi Hoegeng: Polisi Idaman dan Kenyataan yang disusun Abrar Yusra dan Ramadhan K.H.
Baca juga:
Lima Jenderal yang "Dimatikan" Soeharto
Pemerintah kian menutup kebebasan berekspresi Hoegeng dengan dihentikannya siaran “Little Thing Mean a Lot”. Program yang dipercayakan kepada Hoegeng itu semacam wawancara di corong radio tentang berbagai topik dengan orang-orang atau tokoh-tokoh tertentu. Sejak itulah melukis jadi pilihan utama Hoegeng untuk menambah penghasilan.
“Daripada nganggur, saya coba-coba melukis. Eh, ada juga yang membelinya,” kata Hoegeng kepada Ramadhan K.H. dalam testimoni “Proses Penulisan Buku Pak Hoegeng”, termuat di buku Hoegeng: Oase Menyejukkan di Tengah Perilaku Koruptif Para Pemimpin Bangsa, suntingan Aris Santoso, dkk.
Hoegeng biasanya menjadikan pemandangan, wanita, dan bunga anggrek sebagai objek lukisannya. Namun, Hoegeng juga dapat melukis objek lain sesuai permintaan pemesan lukisannya. Dalam menggarap kanvas, Hoegeng selalu mendahului dengan menggambar sketsa kemudian melukisnya. Satu karya lukisan Hoegeng diselesaikan dalam tempo satu bulan jika sedang mood dan intens.
Baca juga:
Ada saja pengalaman jenaka Hoegeng dalam kegiatan melukis. Sekali waktu, Hoegeng melukis seorang wanita. Seperti biasa, Hoegeng menggambar sketsa wajah lebih dulu. Namun, lukisan pada tubuh wanita itu dibikin Hoegeng dengan blus terbuka sehingga baju dalamnya terlihat. “Waduh, istri saya marah, ha-ha-ha,” kenang Hoegeng.
Kali lain, Hoegeng kedatangan seorang kawannya yang membawa seorang pengusaha ke rumahnya. Si pengusaha ingin Hoegeng membuatkan lukisan pemandangan Danau Kintamani di Bali. Rencananya, sang pengusaha akan menghadiahkan lukisan itu kepada calon menantunya. Setelah foto yang menjadi contoh lukisan diserahkan, Hoegeng pun setuju dan menerima pesanan tersebut.
Setelah bersusah-payah mengerjakan selama satu setengah bulan, lukisan yang dipesankan itupun rampung. Hoegeng masih ingat tanggal dia menyelesaikannya: 17 Agustus. Tidak lupa Hoegeng membubuhkan tandatangannya di pojokan kanvas. Hoegeng tidak memasang harga dan membiarkan si pemesan yang mengira-ngira sendiri. Ternyata, si pemesan sangat menyukai lukisan tersebut tapi dia terkejut begitu mendapati tanda tangan Hoegeng di sudut lukisan.
Baca juga:
Ketika Hoegeng dan Teuku Markam Bersitegang
“Lha, kenapa sih? Inikan yang bikin memang saya,” kata Hoegeng
“Nanti saya dikira ada hubungan dengan Petisi 50,” balas si pengusaha.
“Jadi, Anda mau nama Hoegeng ini diganti nama lain?”
“Iya, Pak.”
“Wah, ya ndak mau saya. Biarlah ndak jadi saja,” tutup Hoegeng.
Baca juga:
Hoegeng menyadari banyak orang menganggapnya nekat karena terus-menerus bergabung dengan kelompok Petisi 50 yang dicap sebagai barusan di luar sistem. “Kami semua tahu tantangan untuk berani berbicara di negeri ini sungguh besar, tapi kami akan jalan terus,” ujarnya tegas.
Rezim Orde Baru yang mencekal Hoegeng pada akhirnya runtuh. Pada 14 Juli 2004, Hoegeng wafat dalam usia 82 tahun. Namanya selalu diidentikkan dengan karakter polisi jujur.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar