Masuk Daftar
My Getplus

Pemberantasan Korupsi Setengah Hati Rezim Orde Baru

Korupsi merajalela pada awal Orde Baru. Melibatkan orang-orang dekat dengan penguasa.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 11 Des 2018
Karikatur kritik untuk Tim Pemberantasan Korupsi (TPK) dalam Harian Indonesia Raya 3 Maret 1969.

Presiden Soeharto pernah mengumbar janji di sekitar pemberantasan korupsi. Dia berjanji pemerintahannya tidak akan mewariskan korupsi ke generasi muda. Kalau ternyata pemerintahannya bertindak salah dalam pemberantasan korupsi, dia bersedia menanggung derita. “Biarlah rakyat menggantung saya,” kata Presiden Soeharto pada 14 Agustus 1970.

“Pernyataan itu dikemukakan oleh presiden ketika menerima delegasi bersama Steering Committee panel diskusi DM-UI (Dewan Mahasiswa), KAK (Komite Anti Korupsi), BB (Bandung Bergerak), dan FAK (Front Anti Korupsi) dari Yogyakarta,” catat mingguan Mahasiswa Indonesia, 16 Agustus 1970.

Baca juga: Bisnis senjata keluarga Cendana

Advertising
Advertising

KAK, BB, dan FAK merupakan gerakan mahasiswa dan pemuda anti-korupsi, sedangkan DM-UI organisasi intra kampus. Mereka mempunyai keprihatinan sama terhadap kasus-kasus korupsi di Indonesia. Mereka bilang korupsi semakin merajalela sehingga pemerintah harus lebih serius menanganinya.

Suara pemberantasan korupsi telah muncul sejak Soeharto mulai berhasil mengendalikan keadaan pada 1967. Gerakan mahasiswa dan pemuda anti-Sukarno memprakarsai desakan pemberantasan korupsi. Kemudian suara ini diikuti oleh pers. Mereka menaruh harapan Indonesia bersih dari korupsi pada pemerintahan baru racikan Soeharto.

Kerja TPK

Soeharto menangkap suara para mahasiswa, pemuda, dan pers. Dalam pidato di hadapan anggota DPR pada 16 Agustus 1967, Soeharto mengatakan pemerintahan Sukarno telah gagal memberantas korupsi. Dia berupaya menarik batas pemisah antara pemerintahan kemarin dengan pemerintahan hari ini dari komitmen pemberantasan korupsi.

Enam bulan setelah pidato di hadapan anggota DPR, Soeharto menerbitkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 228 Tahun 1967 tentang pembentukan Tim Pemberantasan Korupsi (TPK). Tim ini memiliki dua fungsi : pencegahan dan penindakan korupsi di lingkungan sipil dan militer.

Jaksa Agung Sugih Arto mengetuai TPK. Dia membawahkan sejumlah struktur pendukung. Antara lain sekretaris, anggota, dan satuan tugas (satgas). Kompas, 18 Desember 1967, menyebut, di dalam struktur itu bercokol wakil-wakil golongan masyarakat. Antara lain militer dari empat matra, pers, ahli ekonomi dan keuangan, dan organisasi massa.

TPK menghadapi delapan kasus korupsi besar dan ratusan kasus korupsi kecil selama dua tahun awal masa kerjanya. Misalnya korupsi dalam Bulog, Pertamina, PN Telekomunikasi, Jajasan Pers dan Grafika, Coopa dan Ciba, CV Haruman, CV Waringin, dan Biro Bangunan Indonesia. Rentang kasus-kasus korupsi besar itu mulai puluhan hingga ratusan juta rupiah.

Baca juga: Mereka yang dihabisi karena memberantas korupsi

TPK gagal menuntaskan delapan kasus korupsi besar. Kasus-kasus ini berkaitan dengan pejabat negara. Sejumlah pihak melihat TPK hanya bertaring ketika menghadapi kasus korupsi kecil selama dua tahun masa kerjanya. Tapi TPK ompong jika berhadapan dengan kasus korupsi pejabat tinggi dan dekat dengan penguasa.

“TPK dibentuk untuk mengumpulkan data-data yang terkait dengan korupsi, jadi bila TPK ingin berhasil, harus berani. Jika tidak, maka nasibnya akan sama dengan tim-tim anti korupsi terdahulu seperti Operasi Budhi pada masa Orde Lama,” kata seorang anggota MPRS dalam Indonesia Raya, 29 November 1968.

Kritik senada juga datang dari Hoegeng Iman Santoso, Panglima Angkatan Kepolisian—sekarang jabatan ini disebut Kapolri. Dia mengatakan orang-orang di TPK harusnya memiliki keberanian kuat, idealisme, dan ketegasan. Kenyataannya, TPK tidak memiliki semua kapasitas itu. Demikian pesan Hoegeng dalam Indonesia Raya, 24 Februari 1969.

Baca juga: Jatuh bangun lembaga pemberantasan korupsi

Sementara itu, Mochtar Lubis, pemimpin redaksi Indonesia Raya, mengemukakan kekhawatirannya terhadap mewabahnya perilaku korup di Indonesia. Kehadiran TPK belum cukup kuat untuk memberantas wabah tersebut.

Dalam Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya Seri 2, Mochtar menyatakan bahwa koruptor sama sekali tidak ada takut-takutnya dan puas-puasnya. “Perbuatan korupsi tidak lagi dilakukan oleh perseorangan untuk dirinya sendiri, akan tetapi kini dilakukan beramai-ramai oleh kelompok-kelompok yang cukup besar, yang dapat saling menutupi perbuatan korupsi mereka untuk jangka waktu yang lama,” tulis Mochtar.      

Sugih Arto meladeni kritik terhadap kinerja TPK. Dia merasa TPK telah bekerja keras. Dalam Indonesia Raya, 5 Maret 1969, Sugih Arto memaparkan bahwa TPK berhasil menyelesaikan 172 kasus korupsi di pusat dan daerah hingga akhir 1969.

Pembelaan TPK

Sugih Arto mengakui ada kekurangan dalam TPK. Dia bilang kerja TPK terhambat oleh Undang-Undang Korupsi. Menurutnya, kerja TPK beralas pada undang-undang korupsi yang ketinggalan zaman. Yang dia maksud adalah Perpu No 24/1960 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi.    

Sugih Arto menyoroti terbatasnya waktu penyelidikan dan penuntutan terhadap tersangka korupsi. Pasal 3 ayat 1 dan 2 Perpu No. 24/1960 menyebut batas maksimal penahanan tersangka korupsi hanya enam bulan. Jika melebihi enam bulan, kasus tersebut gugur. Padahal penanganan kasus korupsi tidak bisa secepat itu.

Ketika orang menyorot kinerja TPK, Soeharto membentuk sebuah task force UI pada 1968. Tim ini terdiri dari pengajar dan mahasiswa Universitas Indonesia.  

Task force ini bertugas melaksanakan penelitian ke berbagai aparatur pemerintah, dan selesai bertugas ia memberikan rekomendasi kepada pemerintah dalam mengamankan dana dan daya negara,” tulis Sjahrir dalam “Pengamanan Dana dan Daya Negara Soal Pemberantasan atau Pencegahan Korupsi” termuat dalam Prisma, No 3, 1986.

Baca juga: Teror terhadap pemburu koruptor

Pembentukan task force UI lebih mengarah ke pencegahan korupsi. Task force menerbitkan sejumlah rekomendasi dan laporan tentang pengamanan dana dan daya negara dari tindak korup petugas atau pejabat berwenang.

Tetapi rekomendasi dan laporan itu hanya masuk dalam laci kantor pemerintah. Tidak ada tindakan nyata dari pemerintah terhadap rekomendasi dan laporan task force UI.

Task Force telah mengalami kegagalan, seperti juga Tim Pemberantasan Korupsi yang dibentuk Jaksa Agung (di antaranya beberapa cendekiawan dan wartawan sebagai anggotanya) telah mengalami kegagalan sama sekali, karena kedua tim tersebut tidak mempunyai kekuasaan nyata yang dibutuhkan, yang melulu terletak di tangan Jenderal Soeharto,” catat Sjahrir dalam Ekonomi Politik Kebutuhan Pokok.

Menutupi Laporan Komisi Empat

Melihat pemerintah tidak serius memberantas korupsi, sekelompok mahasiswa di Jakarta mulai bergerak ke jalan pada Januari 1970. Momen gerak mereka bertepatan dengan kenaikan harga bensin. Mereka menolak kenaikan harga bensin dan mewanti-wanti pemerintah lebih berani menindak pelaku korupsi.

Kelompok mahasiswa ini menamakan dirinya Mahasiswa Menggugat (MM). Mereka menempel poster di jalan raya, mobil, dan bus.

“Ternyata dampak gerakan ini kuat sekali. Kegiatannya di-cover oleh hampir semua surat kabar Ibukota… Presiden Soeharto menanggapi langsung tuntutan mahasiswa untuk memberantas korupsi dengan membentuk Komisi Empat,” tulis Sjahrir. MM kemudian membekukan sendiri aktivitasnya begitu Komisi Empat terbentuk.

Baca juga: Gaya kabur koruptor dalam sejarah

Komisi Empat berdiri di atas landasan Keppres Nomor 12 Tahun 1970. Keppres tersebut memuat dua pertimbangan pembentukan Komisi Empat. “Bahwa agar segala usaha pemberantasan korupsi dapat berjalan lebih efektif dan efisien…” dan “…Perlu untuk membentuk sebuah Komisi yang dianggap memadai.”

Komisi Empat hanya mempunyai empat orang anggota, sesuai namanya. Mereka adalah Wilopo S.H, I.J. Kasimo, Prof. Ir. Johannes, dan Anwar Tjokroaminoto. Dua orang lagi membantu Komisi Empat sebagai penasihat dan sekretaris, yaitu Mohammad Hatta dan Mayjen TNI Sutopo Juwono.

Tugas Komisi Empat ada dua. Pertama, mengkaji kebijaksanaan pemberantasan korupsi. Kedua, memberikan  rekomendasi kepada pemerintah tentang kebijaksanaan pemberantasan korupsi.

Harapan masyarakat sempat hidup lagi bersama Komisi Empat. Mereka yakin dengan integritas orang-orang di Komisi Empat. Setelah enam bulan bekerja, Komisi Empat mengungkap laporan kerjanya kepada presiden. Tetapi presiden tak langsung mengumumkan laporan itu ke masyarakat. Presiden berjanji akan mengumumkannya pada 16 Agustus 1970.

Baca juga: Dugaan korupsi menteri Sumitro Djojohadikusumo

Keputusan presiden mengecewakan banyak orang. “Kita merasa sayang Presiden Soeharto mengundurkan pengumuman isi laporan Komisi Empat begini lama,” tulis Mochtar.

Tak mau menunggu lama, harian Sinar Harapan edisi 18—24 Juli 1970 menyiarkan bocoran laporan Komisi Empat kepada masyarakat. Laporan itu menyebut korupsi telah menggerogoti Pertamina, Bulog, dan Perhutani. Komisi Empat menyarankan pemerintah menindak orang-orang korup di perusahaan negara.

Masa kerja Komisi Empat berakhir setelah menyerahkan laporan kerjanya kepada presiden pada pertengahan Juli 1970. Sedangkan presiden tak pernah menepati janjinya mengumumkan laporan Komisi Empat. Masyarakat kembali mempertanyakan keseriusan pemerintah memberantas korupsi.

Sebagian mereka mulai lebih keras menekan pemerintah. Mereka mendirikan gerakan anti-korupsi seperti Komite Anti Korupsi di Jakarta, Bandung Bergerak di Bandung, dan Front Anti Korupsi di Yogyakarta. Kelak aksi mereka mendapat perlawanan balik dari Pemerintah.

TAG

Korupsi Soeharto

ARTIKEL TERKAIT

Supersemar Supersamar Sudharmono Bukan PKI Dianggap PKI, Marsudi Dibui Dulu Rice Estate Kini Food Estate Dari Petrus ke Kedung Ombo Soeharto Nomor Tiga, Mendagri Murka pada Lembaga Survei Soeharto Nomor Tiga, Lembaga Survei Ditutup Soeharto, Yasser Arafat, dan Dukungan untuk Palestina Njoo Han Siang, Pengusaha yang Tak Disukai Soeharto Anak Presiden Main Band