MPR baru saja merehabilitasi nama tiga mantan presiden Indonesia, yakni Sukarno (presiden RI ke-1), Soeharto (presiden RI ke-2), dan Abdurrahman Wahid alias Gus Dur (presiden RI ke-4). Sukarno dan Gus Dur dipulihkan namanya menyangkut pertanggungjawaban yang ditolak MPR menjelang lengser. Sementara itu, Soeharto dipulihkan namanya karena lekat dengan stigma korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) selama rezimnya berkuasa. MPR resmi mencabut TAP MPR menyangkut hal tersebut dari masing-masing presiden terkait.
“Saya menganggap (pencabutan TAP) itu suatu pemutusan historisitas,” kata sejarawan Genoveva Ambar Wulan Tulistyowati kepada Historia.id.
Menurut Ambar, lahirnya TAP MPR tidak dengan tiba-tiba, bukan tanpa penjelasan, dan didahului oleh suatu permasalahan genting. Ketetapan MPR tidak mungkin diputuskan tanpa dilatarbelakangi peristiwa bersejarah yang krusial. Selain krusial, putusan itu telah melalui sidang umum atau sidang istimewa yang diketahui oleh publik secara luas.
Ambar mencontohkan, transisi dari Orde Baru ke era Reformasi memuncak pada TAP MPR XI/1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotime (KKN). TAP itu juga mengamanatkan tindakan tegas pemberantasan KKN dari pejabat negara termasuk Presiden Soeharto beserta kroni-kroninya. Dengan adanya pencabutan TAP MPR XI/1998, MPR hendak memutus historisitas peristiwa peralihan dari Orde Baru ke Reformasi. Padahal, sambung Ambar, suatu peristiwa krusial yang luar biasa akan menjadi pelajaran dalam kehidupan bernegara, andai sejarah yang eksis tidak diganggu gugat. Begitu pula dengan persoalan transisi dari Orde Baru ke Reformasi, harus menjadi pelajaran bagi generasi penerus.
Baca juga: Merehabilitasi Soeharto dari Citra Presiden Korup
“Kalau historisitas ini diputus, bagaimana generasi ke depan melihat suatu permasalahan sejarah yang sebenarnya terjadi? Menjadi suatu permasalahan baru ketika generasi nanti ingin melihat peristiwa itu secara lebih utuh karena ada pemenggalan sejarah,” terang Ambar.
Pencabutan TAP MPR mengenai ketiga mantan presiden RI tersebut, menurut Ambar, juga terbilang mendadak. Putusan pencabutan dilakukan MPR tanpa apa adanya uji publik, seminar akademis, ataupun simposium yang melibatkan berbagai pihak. Tak pelak, asumsi publik pun menguat bahwa kebijakan ini mengandung muatan politis.
“Secara kasat mata pencabutan TAP MPR ini menimbulkan asumsi bahwa ini suatu keputusan politik yang sifatnya hendak menyenangkan terhadap beberapa pihak. Jadi ini keputusan yang kurang tepat menurut saya karena tidak mendasarkan kepada kajian. Semua keputusan internal MPR,” demikian Ambar Wulan menjelaskan.
Baca juga: Hamzah Haz, Wakil Presiden Pilihan MPR
Senada dengan Ambar, pengamat politik Insan Praditya Anugrah menilai pencabutan TAP MPR yang baru saja terjadi tak lebih dari gimik belaka. Menurutnya pencabutan TAP MPR 33/1967 tentang Presiden Sukarno dan TAP MPR II/2001 tentang Presiden Abdurrahman Wahid sudah dinyatakan selesai melalui Ketetapan MPR 2003. Jadi, pencabutan TAP MPR tentang Sukarno dan Abdurrahman Wahid hanyalah sasaran antara menuju ke tujuan sebenarnya.
“Saya melihat ini arahnya lebih ke gimmick sebelum ke tujuan sebenarnya yakni pencabutan TAP MPR XI/1998 mengenai Korupsi, Kolusi dan Nepotisme karena Prabowo Subianto, mantan menantu Soeharto, akan jadi presiden. Hal ini juga untuk menjaga hubungan baik dengan Titiek Soeharto, mantan istri Prabowo yang merupakan anggota Keluarga Cendana yang memiliki andil dalam sejumlah kegiatan kampanye Prabowo-Gibran,” terang Insan yang pengajar ilmu politik dan pemerintahahan di Universitas Terbuka ini.
Dalam analisis politiknya, Insan menyebut pencabutan TAP MPR 1998 tentang KKN Soeharto juga penting untuk legitimasi kekuasaan Prabowo yang jadi presiden terpilih sebagai mantan menantu. Sementara itu, bagi Megawati dan PDIP, langkah MPR yang dikuasai koalisi penguasa ini untuk mempertegas pencabutan TAP MPR 1967, dapat menjadi awal untuk melancarkan komunikasi politik antara Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus sebagai koalisi penguasa dengan PDIP sebagai pemenang Pemilu Legislatif 2024. Proses pencabutan TAP MPR itu sendiri sayangnya tidak melibatkan partisipasi masyarakat. Kesan elitis begitu kentara seolah ini jadi momentum rekonsiliasi antar-elite.
Baca juga: Mereka yang Menanti Rehabilitasi
Insan juga menambahkan historiografi Indonesia modern menyangkut para presiden yang terkait dalam pencabutan TAP MPR perlu dikaji ulang. Kajian termaksud misalnya pada Peristiwa 1965 menuju peralihan ke Orde Baru. Terutama soal keterlibatan CIA dan siapa petinggi militer lokal yang menjadi kolaborator dalam operasi G30S 1965.
“Di mana posisi Sukarno dan PKI dalam konflik tersebut? Apakah Sukarno benar dekat dengan PKI atau hanya menjadikan PKI alat penyeimbang kekuatan militer semata tanpa tahu akan ada G30S. Mengenai dinamika politik Gus Dur dan DPR ketika itu juga harus dilihat secara proporsional,” ungkap Insan.