Merehabilitasi Soeharto dari Citra Presiden Korup
Nama Presiden Soeharto dipulihkan setelah pencabutan TAP MPR XI/1998. Upaya memuluskan jalan menuju gelar pahlawan nasional?
SETELAH mantan Presiden Sukarno (Presiden RI ke-1) dan Abdurrahman Wahid (Presiden RI ke-4), MPR akhirnya memulihkan nama Soeharto (Presiden RI ke-2). Pekan lalu, MPR –atas permintaan Fraksi Golkar– resmi mencabut Ketetapan (TAP) MPR No. 11 Tahun 1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN). Dalam TAP tersebut, nama Soeharto disebut secara eksplisit di pasal 4, yang bunyinya demikian:
“Upaya pemberantasan korupsi, kolusi, dan nepotisme harus dilakukan secara tegas terhadap siapapun juga, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga, dan kroninya maupun pihak swasta/konglomerat termasuk mantan Presiden Soeharto dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak, asasi manusia.”
Pencabutan TAP itu, seperti dijelaskan Ketua MPR Bambang Soesatyo, karena yang bersangkutan sudah meninggal. Soeharto wafat pada 27 Januari 2008. Dalam penyerahan surat penghapusan TAP MPR tersebut, kedua putri Soeharto, yaitu Siti Hardijanti Rukmana (Mbak Tutut) dan Siti Hediyanti atau biasa disapa Mbak Titiek, hadir mewakili keluarga. Sebagai manusia biasa, Mbak Tutut mengakui, bahwa ayahnya tidak luput dari kesalahan. Tutut dan Titiek juga menghaturkan permohonan maaf atas kesalahan Soeharto selama 32 tahun memimpin negara Indonesia.
“Untuk itu, kami, tadi disampaikan juga oleh Mbak Tutut, kami maaf yang sebesar-besarnya. Namun kita juga tidak bisa melupakan apa yang sudah Bapak lakukan selama 32 tahun memimpin bangsa ini,” ungkap Titiek seperti dikutip dari detik.com.
Baca juga: Mengawasi Anak-Anak Cendana
Respon bertentangan dikemukakan pakar hukum tata negara Bivitri Susanti. Menurut Bivitri, MPR sedang membentuk model tak mau melakukan penghukuman secara politik kepada mantan presiden. Untuk kasus Soeharto, Bivitri menambahkan, gugatan hukum terhadap Bapak Pembangunan itu bukan karena dendam, melainkan dalam hukum tata negara dan administrasi, pertangjawaban politik harus tetap ada meskipun yang bersangkutan sudah meninggal.
“Jadi penolakan penghapusan nama Soeharto dalam TAP MPR bukan like and dislike. Tapi lebih kepada hubungan negara dan warga negara karena adanya korban kebijakan,” kata Bivitri dikutip tempo.co.
Setelah lengser dari kursi kepresidenan pada 1998, Presiden Soeharto diusut atas sejumlah indikasi penyalahgunaan kekuasaan. Mulai dari korupsi yang memperkaya diri dan kroni-kroninya hingga pelanggaran HAM. Presiden Habibie yang menggantikan Soeharto semula berkomitmen untuk menyelesaikan secara hukum pelanggaran yang dilakukan oleh pendahulunya. MPR bahkan berwacana membentuk komisi khusus untuk melakukan pemeriksaan kekayaan mantan Presiden Soeharto dan pejabat tinggi lainnya yang terindikasi korupsi.
“Khusus mengenai pengusutan terhadap mantan Presiden Soeharto, pihak eksekutif akan melaksanakan berdasarkan hukum yang berlaku dengan tetap memperhatikan prinsip praduga tak bersalah,” kata Ketua DPR/MPR Harmoko yang pernah menjabat Menteri Penerangan tiga periode dalam Majalah Parlementaria, No, 26, 1999.
Baca juga: Soeharto Capek Jadi Presiden
Namun, menurut pakar komunikasi politik Tjipta Lesmana, Habibie pun bersikap setengah hati pada komitmennya. Awalnya Habibie memerintahkan Jaksa Agung Soedjono C. Atmonegoro segera melakukan penyelidikan dan penyidikan. Tapi, di kemudian hari Habibie malah memecat Soedjono tanpa alasan dan menunjuk Mayor Jenderal TNI Andi Muhammad Ghalib, kepala Badan Pembinaan Hukum ABRI, menjadi Jaksa Agung yang baru. Meski dalam penyelidikan berstatus tersangka, Habibie sepertinya enggan membawa Soeharto ke pengadilan.
“Habibie, dengan demikian, menghadapi situasi dilematis dalam masalah Soeharto. Di satu sisi tekanan dan desakan dari berbagai elemen masyarakat untuk mengadili Soeharto begitu kuat; di sisi lain, Habibie tidak bisa mengkhianati bekas gurunya itu,” ungkap Tjipta Lesmana dalam Dari Soekarno sampai SBY: Intrik dan Lobi Politik Penguasa Istana
Teten Masduki (kini Menteri Koperasi dan UKM), yang dulu berkecimpung di lembaga pengawas korupsi Indonesia Corruption Watch (ICW), mengklaim pihaknya mencatat lima bentuk modus korupsi rezim Soeharto. Salah satunya dengan menyedot dana dari BUMN melalui Yayasan yang dibentuk oleh keluarga Soeharto. Mereka membentuk perusahaan, atau menunjuk perusahaan dari kroninya. Kemudian perusahaan itu memperoleh monopoli dari BUMN tersebut dalam bentuk produksi, distribusi, perdagangan, dan pembangunan proyek-proyek dengan harga istimewa atau mark up.
“Bentuk lainnya, BUMN diperintahkan agar sebagian keuntungannya dikucurkan kepada yayasan-yayasan keluarga Soeharto atau Yayasan milik BUMN tersebut,” terang Teten dalam Majalah Parlementaria, No. 24, 1998.
Baca juga: Soeharto Berkuasa seperti Raja Jawa
Di parlemen, gagasan untuk memeriksa Soeharto di muka hukum mendapat sambutan positif. Eki Sjahrudin, politisi Golkar yang duduk di Fraksi Karya Pembangunan, termasuk salah satu yang getol mendukung hal tersebut. Menurutnya, Soeharto harus diminta pertanggungjawabannya selama menjabat presiden. Bila perlu, lanjut Eki, dibentuk TAP MPR untuk menarik dana warga negara Indonesia yang disimpan di luar negeri khusus untuk kasus Soeharto.
“Harus kita yakinkan bahwa kasus korupsi berjalan top-down, dari presiden kemudian menteri, gubernur, bupati, pimpinan BUMN. Ini berjalan leluasa selama 32 tahun. Ini bukanlah ulah satu dua orang, tapi kebijaksanaan sistem yang kepalanya adalah presiden,” kata Eki Sjahrudin dalam warta Parlementaria, No. 28, 1998.
Sementara itu, jurnalis cum sosiolog George Junus Aditjondro dalam Korupsi Kepresidenan, mencatat, Soeharto pada 8 Agustus 2000 secara resmi didakwa oleh Jaksa Agung karena menggelapkan total uang sebesar US$572 juta dari tujuh yayasan yang diketuainya semasih menjabat sebagai presiden. Penggelapan itu terindikasi kuat melanggar suatu pasal dari Undang-Undang Antikorupsi tahun 1971. Lima Yayasan terbesar, yaitu Dakab, Dharmais, Supersemar, Tritura, dan Amalbhakti Muslim Pancasila, diketuai oleh Soeharto. Pengelolanya adalah para keluarga, mantan jenderal, birokrat dan relasi binis.
Meskipun secara tidak langsung yayasan-yayasan tersebut dibiayai oleh publik, uang yang terkumpul dan digunakan oleh yayasan tidak diawasi oleh negara. Semua kegiatan keuangan yayasan-yayasan itu dikontrol oleh lingkar-dalam Soeharto dan luput dari supervisi publik. Sebagian besar dana yayasan digunakan untuk membeli saham mayoritas dalam perusahaan-perusahaan yang dimiliki oleh Soeharto dan kawan-kawannya, sekutu politik dan relasi bisnisnya. Bila terbukti bersalah, sebut Aditjondro, “Dapat menyebabkan Soeharto dipenjara seumur hidup.”
Lepas dari pemerintahan Habibie, upaya untuk mendudukkan Soeharto di kursi pengadilan selalu terbentur pada kondisi kesehatannya yang memburuk. Sementara, berkas perkaranya sendiri sudah final untuk kemudian dihadapkan ke persidangan. Namun, tim dokter yang memeriksa Soeharto menyatakan kondisinya tidak dapat disembuhkan. Di masa senjanya, Soeharto memang mengalami berbagai penyakit dan kemunduran fisik. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 8 Maret 2002 menegaskan kasus hukum Soeharto tidak dapat diproses karena alasan kesehatan yang bersangkutan.
“Kasus penyalahgunaan dana sejumlah yayasan yang melibatkan mantan Presiden Soeharto hingga kini tak bisa dilanjutkan. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menyatakan tidak dapat memenuhi permintaan Kepala Kejari Jaksel untuk membuka kembali persidangan atas nama terdakwa HM Soeharto,” demikian diberitakan Waspada, 28 April 2002.
Baca juga: Soeharto Bukan Pahlawan
Dengan dihapusnya TAP MPR XI/1998 tentang Soeharto, maka kasus hukum yang melibatkan presiden RI ke-2 itu sudah diputihkan. Termasuk pula untuk menghadirkannya dalam pengadilan in absentia, tidak berlaku lagi. Dengan demikian, jalan untuk memuluskan gelar pahlawan nasional --pengajuan yang telah berlangsung lama-- bagi Soeharto tampaknya semakin lebar dan tinggal menunggu waktu.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar