Hamzah Haz, Wakil Presiden Pilihan MPR
Hamzah Haz pernah menjadi wartawan, dosen, politisi, menteri, hingga wakil presiden. Satu-satunya wakil presiden yang terpilih lewat sidang istimewa MPR.
WAKIL Presiden RI ke-9, Hamzah Haz, wafat pagi tadi (24/7) di kediamannya di Tegalan, Matraman, Jakarta Timur dalam usia lanjut 84 tahun. Sepanjang hidupnya, Hamzah dikenal sebagai politisi sekaligus ketua umum Partai Persatuan Pembangunan (PPP), kemudian menteri di era kepresidenan Habibie dan Abdurrahman Wahid. Puncak kariernya ketika Hamzah terpilih sebagai wakil presiden mendampingi Presiden Megawati Sukarnoputri (2001-2004).
“Saya diangkat menjadi Wapres di saat bangsa sedang dilanda krisis multidimensi dengan banyak persoalan yang sulit terutama di bidang ekonomi, politik, hukum, keamanan, dan moralitas bangsa,” kata Hamzah dalam pidato pelantikannya dikutip Harian Waspada, 27 Juli 2001.
Lahir di Ketapang, Kalimantan Barat pada15 Februari 1940, Hamzah menghabiskan masa sekolahnya di Pontianak. Setelah menamatkan SMEA di Pontianak, Hamzah bekerja tapi tidak seperti kawan-kawannya kebanyakan yang memilih pekerjaan di bank. Hamzah malah menggeluti pekerjaan sebagai wartawan harian Bebas di Pontianak.
“Saya lebih suka menjadi wartawan. Di sini saya bisa langsung bergaul dengan masyarakat secara luas,” kata Hamzah seperti dihimpun dalam Apa dan Siapa Sejumlah Orang Indonesia 1985—1986.
Setelah setahun jadi wartawan, Hamzah melanjutkan pendidikan ke Akademi Koperasi Negara di Yogyakarta pada 1962. Pulang ke Pontianak dengan gelar sarjana muda, Hamzah lanjut lagi kuliah di Fakultas Ekonomi Universitas Tanjung Pura. Di masa ini, Hamzah mulai bersentuhan dengan politik. Sempat menjadi asisten dosen kemudian dosen, Hamzah juga aktif sebagai ketua Presidium KAMI konsulat Pontinak. Dia kemudian mewakili Angkatan 66 di DPRD Kalimantan Barat dan terpilih sebagai ketuanya pada 1968.
Dari DPRD Kalimantan Barat, Hamzah hijrah ke Jakarta. Dia menjadi anggota DPR mewakili Nahdlatul Ulama pada 1971. Setelah terjadi fusi partai, NU tergabung dalam Partai Persatuan Pembangunan yang menaungi partai-partai berideologi Islam. Kiprah Hamzah kemudian lebih banyak sebagai anggota DPR RI dari partai berlambang Ka’bah tersebut.
Ketika berkantor di Senayan, Hamzah adalah wakil rakyat yang sangat fasih bicara masalah moneter. Karena kompeten dalam soal-soal ekonomi, Hamzah didapuk menjadi wakil ketua Komisi APBN di DPR pada 1985. Hamzah bahkan menulis buku tentang pemikiran ekonomi berjudul Kebijakan Fiskal dan Moneter (1993).
Baca juga: DPA Bukan Dewan Pensiunan Agung
Semasa menjadi anggota DPR, Hamzah punya ciri khas unik: kumisnya tipis dan kerap mengenakan seragam berwarna coklat muda. Karier politik Hamzah juga cukup panjang di PPP. Selama beberapa periode, Hamzah terlibat sebagai pengurus inti PPP hingga pada dekade 1990-an dipercaya menjadi salah seorang ketua DPP PPP.
Ketika judi legal berkedok Sumbangan Dermawan Sosial Berhadiah (SDSB) menjadi isu nasional, PPP menjadi fraksi yang bersuara lantang menolaknya di DPR. Judi tentu dilarang dalam agama, hukum, maupun norma sosial. Langkah itu terbilang berani lantaran SDSB disponsori pemerintah dan didukung Presiden Soeharto. Hamzah yang waktu itu menjadi ketua fraksinya bahkan membolehkan anggotanya mogok sidang bila SDSB tidak dicabut.
“Tindakan itu boleh saja dilakukan secara pribadi. Namun, itu bukan sikap fraksi,” ujar Hamzah Haz diwartakan Harian Ekonomi Neraca, 23 November 1993.
Baca juga: Judi Resmi di Indonesia
Selain soal ekonomi, Hamzah terbilang kristis menyoal isu-isu lain yang memperlihatkan keberpihakannya pada masyarakat. Mulai dari kasus ekspor fiktif yang melahirkan penjahat kerah putih, praktik dokter aborsi, hingga penggusuran tanah yang banyak menelan korban harta rakyat kecil. Persoalan dari tingkat akar rumput dibawanya ke dalam agenda DPR.
“Harus dihindari cara main paksa dan main gusur. Sebaliknya petugas harus menjadi pengayom pelindung rakyat karena tugas aparat adalah melindungi, jadi bukannya memelaratkan dan menelantarkan mereka,” kata Hamzah dalam suatu jumpa pers diberitakan Berita Yudha, 19 Oktober 1994.
Di luar kesehariannya sebagai seorang legislator dari partai Islam terbesar, Hamzah pun membina keluarga yang juga besar. Dari dua istrinya, Hamzah dikaruniai 12 anak. Hamzah merupakan penganut poligami dengan dua istri: Asmaniah dan Titin Kartini.
Baca juga: Ketika Poligami Jadi Soal Negara
Pada 1998, muktamar PPP menetapkan Hamzah menjadi ketua umum PPP. Di tahun yang sama, Presiden Habibie menunjuknya sebagai Menteri Negara Investasi /Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Menjelang pemilihan umum, Hamzah mundur karena harus bertugas sebagai juru kampanye partai demi memenangkan PPP. Hasilnya PPP menempati urutan ke-4 partai pemenang dan mendapat 58 kursi di DPR.
Di masa kepresidenan Abdurrahman Wahid, Hamzah ditunjuk lagi jadi menteri. Kali ini sebagai Menteri Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dan Pengentasan Kemisikinan (Menkokesra dan Taskin). Baru sebulan jadi menteri, Hamzah kembali minta mundur. Pengunduran dirinya dikaitkan dengan beredarnya rumor tentang tiga menteri yang menerima suap, yang dilontarkan Presiden Abdurrahman Wahid. Hamzah sendiri sebenarnya lebih suka menjadi anggota DPR ketimbang menteri.
“Jadi Ketua Fraksi PPP di DPR saja berat, apalagi menteri. Jadi menteri sekarang ini kan cari penyakit,” kelakar Hamzah suatu ketika dikutip Waspada.
Baca juga: Presiden Ketularan Menteri Perhubungan
Tak lama kemudian, justru Presiden Abdurrahman Wahid yang dilengserkan MPR setelah tersandung kasus “Bruneigate” atau bantuan dana Sultan Brunei. Wakil Presiden Megawati naik menggantikan Abddurrahman Wahid. MPR kemudian menggelar sidang istimewa untuk memilih wakil presiden dari lima kandidat yang diajukan tiap-tiap fraksi dan golongan. Dalam pemilihan itu, Hamzah Haz (PPP) bertarung sengit dengan Akbar Tanjung (Golkar), Agum Gumelar (Fraksi Perserikatan Daulatul Ummah), Susilo Bambang Yudhoyono (Fraksi Kesatuan Kebangsaan Indonesia), dan Siswono Yudohusodo (dicalonkan 88 anggota DPR).
Pada putaran pertama Rapat Paripurna MPR, Hamzah unggul dengan perolehan 238 suara dari 613 anggota yang hadir. Akbar Tanjung 177 suara, SBY 122 suara, Agum Gumelar 41, dan Siswono 31. Di putaran kedua, Hamzah memperoleh 254 suara, Akbar 204, dan SBY 147 suara. Karena belum ada yang memperoleh suara lebih dari separuh jumlah anggota MPR, voting kembali dilakukan pada putaran ketiga. Hasilnya, Hamzah unggul dengan torehan 340 suara atas Akbar Tanjung yang mendapat 237 suara.
Sejak semula, Hamzah diperkirakan bakal memenangi kontestasi untuk RI-2. Selain itu, Presiden Megawati cenderung lebih mau bekerjasama dengan Hamzah dan enggan berkoalisi dengan Partai Golkar, partai pemenang kedua Pemilu 1999. Pada 26 Juli 2001, Sidang Istimewa MPR melantik Hamzah Haz sebagai wakil presiden RI ke-9. Dalam pidato pelantikannya, Hamzah menyerukan islah atau rekonsiliasi nasional di antara elite-elite politik maupun masyarakat pada umumnya.
“Dengan rekonsiliasi nasional insya Allah bangsa Indonesia akan bisa keluar dari krisis multidimensional yang melilitnya,” kata Hamzah. Bersama Presiden Megawati, Hamzah juga bertekad untuk menyelenggarakan pemerintahan yang harmonis dan gotong-royong.
Baca juga: Wacana Wapres RI Ada Dua
Semasa menjabat wakil presiden, Hamzah sesuai dengan bidangnya lebih banyak mengurusi soal-soal ekonomi moneter. Bila kurang setuju dengan kebijakan Presiden Megawati, seperti dituturkan Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, Hamzah punya kode tersendiri, yaitu dengan menjawil (mencolek) tangan Megawati. Maka menjelang pengambilan keputusan, Megawati menskors rapat kabinet agar bisa berkonsultasi lebih dulu dengan Hamzah Haz..
Setelah menyelesaikan periode pemerintahan, Megawati dan Hamzah berpisah jalan. Dalam Pemilu 2004 yang langsung dipilih rakyat, Megawati maju bersama Ketua PBNU Hasyim Muzadi. Sementara itu, Hamzah juga ikut bursa calon presiden didampingi Agum Gumelar. Namun, pemilu kali itu dimenangkan oleh pasangan SBY-Jusuf Kalla.
Meski gagal dalam gelaran pilpres, Hamzah tetap menjadi ketua umum PPP hingga 2007. Tidak seperti Megawati, rekan seperjuangannya yang terus aktif memimpin partai, Hamzah kemudian mundur dari aktivitas politik. Kendati demikian, seruannya untuk islah atau rekonsiliasi nasional tampaknya masih menjadi harapan yang relavan untuk politik Indonesia hari ini, ketika ditinggal Hamzah untuk selamanya. Selamat jalan Hamzah Haz.
Baca juga: Membidik Wapres Usia Muda
Tambahkan komentar
Belum ada komentar