Wacana Wapres RI Ada Dua
Dua wakil presiden sebagai pendamping presiden telah bergulir sejak negara RI dirancang. Wacana ini didengungkan kembali menjelang masa kepresidenan Abdurrahman Wahid.
Untuk pemilu 2024 mendatang, tiga orang kandidat telah dideklarasikan oleh partai pengusung masing-masing. Anies Baswedan oleh Partai Nasdem, Ganjar Pranowo oleh PDIP, dan Prabowo Subianto oleh Partai Gerindra. Namun, masing-masing belum menentukan siapa calon wakil presiden yang akan mendampingi. Peran wakil presiden di era demokrasi ini memang bisa jadi menentukan gerak laju pasangan capres dalam gelaran pilpres. Apakah itu karena popularitas sang wapres mampu mendongkrak suara ataupun kekuatan logistik yang disandangnya.
Sepanjang berjalannya republik ini, tercatat sebanyak 8 presiden dan 13 wakil presiden dengan komposisi tiap periode satu orang presiden didampingi satu orang wakil. Tetapi, beberapakali pula muncul wacana presiden didampingi dua orang wakil. Pucuk pimpinan eksekutif dengan dua wakil presiden memang dianut beberapa negara.
“(Negara) yang dua wapres tuh Costa Rica sama Uni Emirat Arab,” sebut Insan Praditya Anugrah, dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan Universitas Terbuka, kepada Historia.id. “Biasanya yang terjadi di negara-negara tersebut lebih sebagai akomodasi posisi buat orang-orang berpengaruh.”
Baca juga: Wapres Adam Malik Salah Alamat
Insan mencontohkan lagi Myanmar di masa pra-kudeta yang mengadopsi dua wakil presiden. Presiden Myanmar saat itu, Htin Kyaw, berasal dari kalangan sipil. Sementara wakilnya ada dua dan keduanya berasal dari kalangan militer.
“Itu sebagai akomodasi biar militer nggak ngamuk. Karena kanselirnya dari sipil juga, Aung San Suu Kyi, jadi dua lawan dua,” jelas Insan.
Di Indonesia, wacana mengangkat dua wakil presiden pernah disebut-sebut ketika para pendiri bangsa urun rembuk menyusun dasar negara. Mohammad Yamin adalah yang pertama kali mengusulkan format dua wakil presiden. Usulan tersebut dikemukakan Yamin dalam rapat Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan (BPUPK) tanggal 11 Juli 1945. Yamin menyatakan kepala negara sebaiknya didampingi oleh dua wakil kepala negara dengan pertimbangan luasnya aliran golongan serta besarnya populasi rakyat Indonesia.
Baca juga: Imajinasi Yamin Tentang Papua
Kepala negara, menurut Yamin, haruslah kepala segala aliran dan yang menjunjung kedaulatan negara. Sementara itu, wakil kepala negara pertama ditunjuk dengan mencakup syarat-syarat yang berhubungan dengan kemauan rakyat pada umumnya. Sedangkan wakil kepala negara kedua merepresentasikan rakyat Islam yang menjadi agama mayoritas di Indonesia.
“Oleh sebab itu maka jumlah wakil kepala negara perlulah dibesarkan, yaitu dengan menambah seorang wakil kepala negara, menjadi dua orang. Hendaklah yang seorang dipandang sebagai wakil dunia Islam, walaupun hal itu tidak perlu disebutkan dalam konstitusi dan tidak perlu pula disebutkan dalam surat-surat yang lain, melainkan hanya sebagai pancaran dari pada keadaan dalam negara kita,” kata Yamin seperti termaktub dalam Himpunan Risalah Sidang BPUPKI dan PPKI terbitan Sekretariat Negara.
Gagasan Yamin seturut dengan ahli hukum tata negara Mr. Soepomo. Dalam rapat lanjutan BPUPK tentang perumusan Undang-Undang Dasar 15 Juli 1945, Soepomo menyampaikan konsep yang lebih teknis. Dia setuju untuk diangkat satu atau dua wakil presiden untuk mendampingi presiden. Mekanisme penunjukannya, kata Soepomo, diserahkan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai pemangku kekuasaan tertinggi. Meski demikian, jumlah dua wakil presiden tidak bersifat mengikat dalam undang-undang dasar. Setidaknya, kemungkinan adanya dua wakil presiden untuk membantu presiden menjadi opsi yang terbuka.
Baca juga: Debat Pendiri Bangsa Soal Papua
“Dalam Undang-undang Dasar diberi kelonggaran, artinya menurut keadaan, jikalau perlu, diangkat 2, jika tidak perlu diangkat 1 orang di samping Presiden, tetapi ini hanya suatu keyakinan saja, tidak dimasukkan dalam undang-undang ini,” demikian Soepomo.
Namun, wacana dua wakil presiden itu akhirnya mentah. Banyak delegasi yang keberatan karena dua wakil presiden dianggap tidak efisien. Dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945, ditetapkan hanya satu wakil presiden saja di samping presiden.
“Agar bisa lebih efisien jangan ada 2 orang wakil presiden, tetapi seorang saja,” tandas Mohammad Hatta, wakil ketua PPKI yang kemudian menjadi wakil presiden RI pertama.
Baca juga: Ketika Hatta Menolak Papua
Sekian lama Republik Indonesia dipimpin satu presiden dan satu wakil presiden. Hingga memasuki masa reformasi, tepatnya menjelang era kepresidenan Abdurrahman Wahid, wacana dua wakil presiden kembali mengemuka. Dalam buku Perjalanan Politik Gus Dur. suntingan Irwan Suhanda, disebutkan terjadi lobi-lobi alot dalam Sidang Umum MPR untuk menentukan siapa pendamping Gus Dur –panggilan Abdurrahman Wahid– sebagai wakil presiden. PKB, partai yang mengusung Gus Dur, mencalonkan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri sebagai wakil presiden.
“Melihat kondisi rakyat dan PDI tidak punya posisi apapun, Mbak Mega harus maju menjadi calon wakil presiden. Saya tidak tahu bahwa Mega sendiri masih maju-mundur, tetapi kita bertekad Mega harus maju terus,” ujar Muhaimin Iskandar, saat itu Sekjen PKB, dikutip Kompas, 1 November 1999.
Sebaliknya, PPP yang dipimpin Hamzah Haz maju terus bersama Poros Tengah, bahkan minta dukungan PKB. Tapi, PKB menolak pinangan PPP. Sebagai solusi, PPP minta UUD 1945 diamandemen untuk memungkinkan pengangkatan dua wakil presiden. PKB melihat hal itu tidak rasional. Apalagi, opsi dua wakil presiden pada rapat pimpinan fraksi dan pimpinan MPR, sudah ditolak.
Baca juga: Wejangan Penguasa Buat Partai Kalah
Sebelumnya, ide dua wakil presiden telah dilontarkan Marwah Daud Ibrahim, anggota DPR dari Fraksi Golkar, jelang pemungutan suara pilpres. Seperti disebut Andi Muawiyah Ramly dalam Konspirasi Mengoyak Demokrasi: Kesaksian Sebelas Jurnalis, Marwah Daud interupsi meminta pimpinan sidang untuk mempertimbangkan pengangkatan dua wakil presiden. Spontanitas Marwah amat mengejutkan Marzuki Darusman, yang juga sama-sama dari Fraksi Golkar, dan langsung menyambar mikrofon. Marzuki menegaskan usulan Marwah itu merupakan usulan pribadi, bukan usulan partai. Silang pendapat itu menyebabkan ketegangan dalam tubuh Fraksi Golkar.
Sementara itu, harapan PPP untuk menaikkan Hamzah Haz ke kursi wakil presiden kedua pupus. Namun, ketika Megawati naik menjadi presiden menggantikan Gus Dur pada 2002, Hamzah Hazlah yang mendampinginya sebagai wakil presiden. Sampai saat ini, wacana mengangkat dua wakil presiden di satu periode bersamaan tidak pernah terealisasi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar