Masuk Daftar
My Getplus

Pencabutan TAP MPR Membuka Lagi Wacana Gelar Pahlawan Soeharto, Begini Kata Sejarawan

Pemberian gelar pahlawan pada sebagian tokoh elit dianggap kental kontroversi. Perlukah moratorium lagi?

Oleh: Randy Wirayudha | 06 Okt 2024
Presiden Soeharto ketika meresmikan sebuah proyek (ANRI)

PEMBERIAN gelar pahlawan pada seseorang semestinya pada yang telah mendarmabaktikan dirinya pada negeri dalam upaya mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan dan mesti tanpa cela. Maka menjadi perdebatan apakah rekam jejak sosok Jenderal (Purn.) Soeharto yang merupakan presiden RI kedua itu memenuhi kriteria dan moralitas itu?

“Dari tahun 2014, kemudian tahun 2019, kemudian sekarang dan seringkali wacana (gelar pahlawan) itu mulai hidup ketika mendekati tahun-tahun politik, tahun-tahun ada kontestasi politik,” tutur sejarawan Bonnie Triyana dalam diskusi SINTAStalk bertajuk “Habis Sukarno, Terbitlah Soeharto: Manipulasi Memori dan Politik Sejarah di Indonesia” yang digelar kelompok akademisi Sejarah Lintas Batas secara daring via Zoom, Sabtu (5/10/2024) petang.

Wacana pengusulan gelar pahlawan kepada Soeharto mencuat lagi pasca-Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI mencabut nama Soeharto dalam Ketetapan (TAP) MPR No. 11 Tahun 1998. Selama ini TAP MPR tersebut jadi batu sandungan untuk pengusulan gelar pahlawan buat Soeharto.

Advertising
Advertising

“TAP MPR No.11 Tahun 1998 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas KKN (korupsi, kolusi, nepotisme, red). Tetapi di dalam Pasal 4 disebutkan upaya pemberantasan KKN harus dilakukan secaara tegas terhadap siapapun, baik pejabat negara, mantan pejabat negara, keluarga dan kroni-kroninya, maupun pihak swasta konglomerat, termasuk mantan Presiden Soeharto. Jawaban pimpinan MPR (Bambang Soesatyo) karena beliau sudah meninggal, jadi beliau tidak bisa dituntut lagi,” timpal sejarawan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Asvi Warman Adam.

Baca juga: Merehabilitasi Soeharto dari Citra Presiden Korup

Tak ayal keputusan MPR itu menuai kritik tajam dari kalangan aktivis yang menyebut keputusan itu sebagai pengkhianatan terhadap Reformasi 1998 dan melecehkan para korban pelanggaran HAM berat rezim Orde Baru. Lebih-lebih jika kemudian Soeharto diusulkan untuk mendapat gelar pahlawan nasional.

“Terkait pencalonan Soeharto sebagai pahlawan nasional, itu sempat diadakan seminar juga di Hotel Lor In punyanya Tommy Soeharto pada 2009 di Karanganyar, oleh KNPO Surakarta. Yang jadi pembicaranya saya, Dr. Budiawan dari (Universitas) Gadjah Mada, dan Bupati Karanganyar yang perempuan dari PDIP (Rina Iriani),” kenang Asvi.

Budiawan, seingat Asvi, ketika itu berpendapat bahwa selayaknya Soeharto dikenang sebagai tokoh sejarah semata. Toh Soeharto tetap punya jasa-jasa sebagai pejuang di masa revolusi kemerdekaan RI (1945-1949). Sedangkan sang bupati berkomentar normatif: jika rakyat menghendaki, ia siap menindaklanjuti proses pengusulannya.

“Nah saya sendiri mengutip sebuah pernyataan beberapa orang awam dari survei Denny JA tentang Soeharto. Beberapa orang itu punya pandangan bahwa Soeharto itu adalah pembangun terbesar Indonesa tetapi sekaligus perusak terbesar di Indonesia. Tentu itu sangat kontroversial,” tambahnya.

Baca juga: Soeharto Bukan Pahlawan

Moratorium Gelar Pahlawan Nasional? 

Belakangan, pemberian gelar pahlawan nasional acapkali diberikan pemerintah menjelang peringatan Hari Pahlawan. Hingga 2023, tercatat sudah ada 206 tokoh yang dianugerahkan pahlawan nasional. 

“Di Amerika (Serikat) sendiri enggak ada istilah pahlawan nasional dalam arti formal, di mana pemerintahnya memberikan gelar pahlawan. Di beberapa negara pun begitu. Indonesia sendiri sudah mulai tahun 1950 (1959) kalau tidak salah. Jadi sejak 1950 kita mulai punya kebiasaan memberikan penetapan gelar pahlawan. Waktu ktu Abdul Muis yang diangkat pahlawan pertama,” sambung Bonnie.

Namun, sambung Bonnie, muatan politik memorinya dari suatu tokoh lebih berat daripada memori politiknya. Alhasil, beberapa branding terkait tokoh itu, semisal tentang slogan “Enak Zamanku, tho” jadi hal yang problematik. Membuat kejahatan HAM di masa itu kian tenggelam.

“Jadinya bagaimana kita bisa punya ingatan tertentu tentang Orde Baru, sementara riwayat kelam atau halaman gelapnya tidak pernah ditulis dengan benar, tidak pernah diajarkan sehingga ingatan orang Indonesia waktu itu dan sekarang didominasi ingatan yang baik-baiknya saja,” lanjutnya.

Sejarawan Bonnie Triyana mengusulkan moratorium gelar pahlawan nasional (Tangkapan Layar Zoom SINTAStalk)

Assistant Professor Universitas Utrecht Grace Leksana juga mafhum terkait beberapa keberhasilan pembangunan lewat Revolusi Hijau, utamanya swasembada pangan di era 1980-an. Hanya saja, di masa itu dan sekarang, apalagi di Indonesia, masih jarang yang mengetahui sisi kelam di balik kesuksesan pembangunan itu.

“Ide mengangkat pahlawan untuk Soeharto yang dipikirkan kan karena jasanya juga dalam pembangunan. Jadi sebenarnya selain ada banyak kejahatan kekerasan dan pelanggaran HAM yang dilakukan Presiden Soeharto, kita juga bisa membongkar perspektif atau makna pembangunan yang dipakai di masa itu. Bahwa ada penelitian-penelitian tentang (di balik) proyek pembangunan di 1970-an dan 1980-an itu sebenarnya,” terang Grace.

Baca juga: Kontroversi Gelar Pahlawan Nasional untuk Soeharto

Grace mencontohkan, salah satunya adalah penelitian kritis Benjamin White terkait program pengendalian jumlah penduduk. Menurut penelitian itu, pengendalian populasi di masa swasembada pangan dengan Keluarga Berencana (KB) tidaklah diperlukan karena surplusnya ketersediaan pangan.

“Dianggap bahwa kalau populasi meningkat juga akan membahayakan lingkungan dengan permukiman yang crowded atau orang-orang yang tinggal di bantaran kali. Padalah isu lingkungan yang sebenarnya terbesar justru dari industri, tambang, dan kayu,” tambahnya.  “Ada riset lain yang menguraikan juga bahwa KB bisa jadi pilihan bagi orang-orang kelas menengah ke atas tapi wajib bagi orang-orang di desa. Mereka (kaum perempuan) dipaksa memakai IUD (intrauterine device) dan yang laki-laki dipaksa vasektomi dan mereka enggak bisa melawan juga. Jadi sebenarnya penting untuk dipertanyakan, pahlawan pembangunan seperti inikah yang kita mau?” lanjut Grace.

Assistant Professor Universiteit Utrecht, Dr. Grace Tjandra Leksana (Tangkapan Layar Zoom SINTAStalk)

Oleh karena itulah usulan moratorium muncul. Toh pada 1970-an pun pernah terjadi moratorium gelar pahlawan nasional selama lima tahun.

“Jadi selama lima tahun (1978-1983) ada usulan pahlawan nasional yang tidak diangkat. Kenapa? Interpretasi saya karena pada tahun 1983 akan ada pengangkatan seseorang yang luar biasa, yaitu Presiden Soeharto sebagai Bapak Pembangunan,” tutur Asvi.

Hal itu, lanjut Asvi, ditetapkan dalam TAP MPR No. 5 Tahun 1983 tentang pertanggungjawaban presiden selaku mandataris MPR serta pengukuhan pemberian penghargaan sebagai Bapak Pembanguan Indonesia. Namun hal itu sudah tak lagi berlaku lewat keluarnya TAP MPR No. 1 Tahun 2003.

“Nah kalau yang satu sudah dinyatakan einmalig (final) telah dicabut ataupunn sudah selesai dilaksanakan, berarti juga yang sama terhadap Bapak Pembangunan itu sudah tidak berlaku lagi gelar itu,” tegasnya.

Baca juga: Ketika Habibie Harus Menyelesaikan Kasus Soeharto

Oleh karenanya, Bonnie mengusulkan moratorium. Tujuannya agar publik tak lagi terjebak pada perdebatan tentang Soeharto atau tokoh-tokoh kontroversial yang lain.

“Tentu kita tahu dia tokoh sejarah. Tapi alih-alih kita terus-menerus memberikan gelar pahlawan setiap tahunnya dan selalu dipenuhi kontroversi sebagaimana juga yang terjadi pada tahun 2007 ketika diberikan kepada Anak Agung Gede Agung dan terjadi kontroversi di Bali karena ada sebagian pihak masyarakat yang menganggap tidak layak karena pernah bersekutu dengan Belanda gitu ya, kemudian penggunaan narasinya digunakan untuk kepentingan politik, jadi saya pikir idenya adalah bagaimana moratorium dilakukan,” sambung Bonnie.

Selain moratorium, Bonnie juga mendorong pemerintah melakukan riset dan penulisan riwayat tokoh-tokoh sejarah secara obyektif dan berimbang. Tujuannya agar bisa diajarkan kepada generasi muda ketimbang melabel satu-dua orang menjadi pahlawan setiap tahun tapi timbul kontroversi.

“Kemudian juga ada semacam kesan cara kita memahami sejarah menjadi sangat elitis. Seolah-olah yang yang berperan itu hanyalah tokoh-tokoh besar. Kan di setiap kota itu selalu ada pahlawan-pahlawan tanpa nama yang perannya pun tidak kalah besarnya dengan tokoh-tokoh dari golongan elit dan itu tidak adil. Artinya tidak bisa mengakomodir kepahlawanan dimainkan juga oleh orang-orang kecil,” tandas Bonnie.

Baca juga: Pro-Kontra Gelar Pahlawan Nasional

TAG

tap mpr tap mprs soeharto suharto pahlawan nasional pahlawan-nasional

ARTIKEL TERKAIT

TAP MPR Dicabut, Sejarah Makin Berkabut Merehabilitasi Soeharto dari Citra Presiden Korup Nawaksara Ditolak, Terbit TAP MPRS XXXIII/1967 Eks KNIL Tajir Soeharto Berkuasa seperti Raja Jawa Ali Moertopo “Penjilat” Soeharto Pangeran Haryasudirja Hampir Mati Ditembak Jepang Nisan dan Tengkorak dalam Peringatan Reformasi Tuah Guru Soeharto Guru Soeharto