SETELAH lulus dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia pada 1958, Adi Andojo Soetjipto berhak memakai gelar Meester in Rechten (Mr.) di depan namanya. Mula-mula Adi menjadi hakim di kawasan bekas Keresidenan Madiun. Setelah lama di Jawa Timur, Adi kemudian dikirim ke Papua. Dia menjadi hakim lalu sempat pula menjadi rektor Universitas Cenderawasih di Jayapura.
Setelah 1969, Adi dipindahkan ke Semarang. Ketika berada di Semarang, Adi tinggal di Jalan Sriwijaya, tidak begitu jauh dari Simpang Lima sebagai tempat ikonik pusat kota Semarang.
“Di Jalan Sriwijaya kami bertetangga dengan penasihat spiritualnya Presiden Soeharto, yakni Romo Diyat,” aku Adi dalam Menyongsong dan Tunaikan Tugas Negara Sampai Akhir, Sebuah Memoar.
Bagi banyak orang Jawa, terutama yang percaya Kejawen, Romo Diyat bukan orang sembarangan di era Orde Baru. Konon, menurut Achmadi Moestahal dalam memoarnya, Dari Gontor ke Pulau Buru, Romo Diyat sampai diberi pangkat Brigadir Jenderal Kehormatan.
Baca juga: Guru Spiritual Soeharto
Bukan hanya pangkat kehormatan yang didapatkan romo bernama lengkap Raden Panji Soediyat Prawirokoesoemo itu dari penguasa. Fasilitas di rumahnya pun tak sembarang orang bisa mendapatkan.
“Nyatanya di rumah Romo Diyat selalu ada kendaraan militer yang berada di situ, mungkin kendaraan pengawal,” kata Adi.
Pemandangan itu tentu bertujuan untuk menjauhkan Romo Diyat dari gangguan dan menjamin ketenangannya. Sang romo merupakan orang penting bagi Soeharto. Romo Diyat adalah guru penting dalam hidup dan karier Jenderal TNI Soeharto.
Tentu Soeharto bukan satu-satunya murid Romo Diyat. Romo Diyat juga dekat dengan asisten pribadi Soeharto bernama Soedjono Hoemardani, yang sudah lama menjadi pembantu Soeharto untuk urusan ekonomi sejak di Jawa Tengah.
Romo Diyat adalah seorang guru kebatinan. Sebelum bekerja sebagai pegawai negeri sipil di Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dia seorang kapten TNI. Dia pernah disuruh Presiden Sukarno membangun sebuah universitas. Semasa Soeharto berkuasa, nasihat-nasihatnya dijadikan “pegangan” sang presiden.
Baca juga: Obsesi Soeharto pada Gajah Mada
Kendati begitu, tak ada kesombongan pada Romo Diyat. Dia adalah tetangga yang pandai bergaul. Meski rumahnya dijaga tentara, Romo Diyat bisa bergaul dengan Adi yang kala itu menjadi pejabat kehakiman di Semarang. Adi mengaku berhubungan baik dengan Romo Diyat. Pun Romo Diyat selalu berlaku baik kepada Adi.
Adi pun tak lupa pada kebaikan Romo Diyat saat Adi dan keluarganya akan pindah ke Bandung. Sebelum berpisah, Romo Diyat memberi Adi sebuah barang unik, yakni sebuah kendi atau benda dari tanah liat yang dijadikan orang-orang Jawa alat untuk minum. Kendi itu sudah berisi air. Romo Diyat lalu berpesan kepada Adi agar kendi itu harus terus terisi air.
Di Bandung, Adi pernah menjadi kepala Pengadilan Tinggi Jawa Barat. Dia selalu ingat dan patuh pada pesan Romo Diyat.
“Sampai sekarang kendi itu masih kami simpan di kamar tidur kami, dan kenyataannya sejak memiliki kendi itu keuangan kami bertambah dan tidak pernah kekurangan lagi,” ujar Adi yang belakangan pernah menjadi Hakim Agung sebelum Soeharto lengser dari kursi kepresiden.
Pesan seperti itu tentu bukan hanya diberikan Romo Diyat kepada Adi semata. Murid-murid spiritual lainnya pun kemungkinan besar juga pernah mendapatkannya. Termasuk Soedjono Hoemardani, yang –seperti Soeharto– juga gemar belajar spiritual dan ilmu kebatinan sejak muda.
Baca juga: Soeharto Tak Kunjung Pulang, Ibu Tien Bikin Sesajen
Kepada Soedjono, Romo Diyat menitipkan pesan bukan untuk dirinya melainkan untuk Soeharto. Kala pesan itu dititipkan Romo Diyat, Soeharto sedang merasa di ujung tanduk dalam kariernya. Soeharto bahkan sampai mengirim surat pengunduran diri dari dinas militer. Surat itu dititipkan Soeharto kepada Soedjono agar diteruskan.
Menghadapi situasi pelik yang menyangkut atasannya itu, Soedjono tak langsung manut. Dia kemudian teringat Romo Diyat.
“Romo Diyat pernah berpesan kepada Soedjono untuk menjaga Soeharto karena ia sudah diramalkan kelak akan menjadi orang hebat. Itu sebabnya, pada tahun 1965, Soedjono menahan surat pengunduran diri Soeharto,” catat Jusuf Wanandi dalam Shades of Grey: A Political Memoir of Modern Indonesia, 1965-1998.
Tak lama setelah Soedjono menahan surat Soeharto itu, peristiwa G30S pecah. Pimpinan Angkatan Darat kosong karena panglima dan jajarannya terbunuh. Sebagai Pangkostrad, Soeharto –yang termasuk senior di Angkatan Darat dan biasa diminta menggantikan panglima AD bila berhalangan hadir– lalu mengambil alih kepemimpinan. Dari sana kariernya terus menanjak hingga akhirnya dia menjadi orang nomor satu di Angkatan Darat dan kemudian presiden Republik Indonesia.*