PASCA peristiwa Gerakan 30 September 1965, Ibu Tien gelisah karena suaminya, Mayjen Soeharto, belum juga pulang ke rumah. Ibu Tien pun hendak mengadakan ritual selametan untuk menenangkan diri dan menciptakan rasa aman.
“Mbakyu Harto adalah seorang muslimah yang menganut pula paham kejawen. Dia punya kebiasaaan membuat sesajen pada hari-hari khusus. Ketika suasana tegang menguasai hatinya lantaran Mas Harto tidak diketahui keberadaannya, Mbakyu Harto lalu berniat membuat sesajen dan melakukan doa-doa,” kata Probosutedjo, adik Soeharto, dalam memoarnya Saya dan Mas Harto karya Alberthiene Endah.
Ibu Tien mempersiapkan beberapa syarat: kue-kue tradisional, kopi, teh, buah-buahan, dan bunga. Namun, ada satu syarat yang kurang dan penting. “Dik Probo, tolong carikan nasi kebuli. Saya perlu untuk sesajen,” pinta Ibu Tien seraya mengungkapkan keresahannya. “Saya waswas terus dengan kondisi Mas Harto.”
Probo bingung, di mana harus membeli nasi kebuli. Tentu saja mencari kebuli tak semudah mencari bakmi. Dia berkeliling ke beberapa tempat di Jakarta. Namun, tak menemukan satu pun warung yang menjual nasi kebuli, apalagi saat itu keadaan Jakarta sedang mencekam. Dia sempat terpikir untuk kembali saja dan menyampaikan tak ada penjual nasi kebuli.
“Namun, saya teringat wajah Mbakyu Harto yang penuh kekhawatiran. Segera saya arahkan mobil menuju warung nasi Padang. Saya beli saja nasi yang disiram dengan kuah merah dari sayur tertentu. Beres. Bungkusan nasi berkuah yang entah apa itu saya bawa pulang ke rumah,” kata Probosutedjo.
Sesampainya di rumah, Probosutedjo memberikan bungkusan nasi itu kepada Ibu Tien. Setelah membuka bungkusan nasi itu, Ibu Tien mengomel. “Ini nasi apa sih? Ini bukan nasi kebuli, tapi nasi Padang!”
Untunglah kegelisahan Ibu Tien segera mereda setelah Bob, ajudan Soeharto, mucul di rumah pada 3 Oktober 1965. Ibu Tien menanyakan dimana suaminya. Namun, Bob mengatakan bahwa dia dilarang memberitahu siapa pun perihal keberadaan Soeharto.
Setelah Probosutedjo naik pitam, Bob baru memberitahunya, “Pak Harto ada di Kostrad. Mengendalikan situasi.” Saat itu, Soeharto adalah Panglima Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat).
Di Kostrad, Soeharto mengumpulkan para petinggi militer Angkatan Darat: Letkol Ali Murtopo, Brigjen Sabirin, Kolonel Yogasugama, Kolonel Wahono, Kolonel Hartono, dan Brigjen Achmad Wiranatakusumah. Dalam pertemuan itu, Soeharto menegaskan bahwa PKI (Partai Komunis Indonesia) adalah dalang pembunuhan para jenderal dan berusaha merebut kekuasaan negara. Dia kemudian menghubungi petinggi Angkatan Laut dan Polri, serta memanggil Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, Komandan RPKAD (Resimen Para Komando Angkatan Darat).
“Surat panggilan Mas Harto kemudian ditanggapi cepat oleh Sarwo Edhie. Sarwo dengan tegap menyatakan siap. Ini merupakan awal kerja sama Soeharto-Sarwo, yang kemudian menjadi duet yang sangat klop selama aksi pemberantasan PKI,” kata Probosutedjo.
Sukarno sempat meminta Soeharto agar menghentikan pembantaian orang-orang yang dituduh komunis. Saat itu, Sukarno baru menerima laporan dari Fact Finding Commission (komisi yang menghimpun fakta, keterangan, dan bukti jumlah korban akibat peristiwa G30S) bahwa korban pembantaian mencapai 78.000 orang. “Tapi Pak Harto tak menggubris permintaan itu, sampai Bapak (Sukarno, red) mengeluh, hasil kerjaku selama dua puluh tahun musnah,” kata Ratna Sari Dewi, istri Sukarno, seperti dikutip Eros Djarot dalam Siapa Sebenarnya Soeharto.
Pembantaian pun terus berlanjut. Korbannya mencapi lebih dari 500.000 orang. Bahkan, Sarwo Edhie pernah menyebut korbannya mencapi tiga juta orang.
[pages]