BULAN November identik dengan bulan pahlawan. Setiap tahun, menjelang tanggal 10 November, pemerintah menganugerahi gelar pahlawan nasional pada para tokoh anumerta yang dianggap berjasa serta punya sumbangsih besar untuk bangsa dan negara. Namun, untuk mengetahui siapa saja yang menjadi pahlawan nasional tahun ini, kita masih harus menunggu setelah Presiden Prabowo menyelesaikan kunjungannya dari luar negeri.
Penyematan gelar pahlawan nasional melewati proses dan pengkajian dari pengusulan hingga penetapannya. Mulai dari pengajuan di tingkat daerah, penilaian di tingkat pusat, dan kemudian dipungkasi penetapannya oleh keputusan presiden. Salah satu nama yang masih terus diperdebatkan kelayakannya atas gelar pahlawan nasional sampai saat ini ialah Soeharto, presiden RI ke-2.
Pengusulan Soeharto sebagai pahlawan nasional telah berlangsung lama. Wacana itu setidaknya berhembus sejak satu dekade silam. Namun, kontoversi selalu mengiringi wacana tersebut terkait kepemimpinan Soeharto dan catatan sejumlah kasus pelanggaran HAM semasa rezimnya berkuasa. Kendati demikian, agenda menjadikan Soeharto pahlawan nasional menguat kembali dengan pencabutan TAP MPR XI/1998 pada akhir September silam.
Baca juga: Merehabilitasi Soeharto dari Citra Presiden Korup
TAP MPR XI/1998 mengamanatkan pemberantasan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) secara tegas terhadap siapapun, termasuk Presiden Soeharto dan kroni-kroninya. TAP MPR ini senafas dengan agenda reformasi untuk mengadili Soeharto dan pengikutnya serta menyelenggarakan pemerintahan yang bersih dari KKN. Dengan dicabutnya TAP tersebut, nama Soeharto dipulihkan dari citra presiden korup. Begitupun dengan pemutihan kasus-kasus hukum yang menuntut pengadilannya secara in absentia. Pernyataan Ketua MPR Bambang Soesatyo kian memperkuat sinyalemen gelar pahlawan nasional layak disematkan pemerintah atas nama Soeharto.
“Maka rasanya tidak berlebihan sekiranya mantan Presiden Soeharto dipertimbangkan oleh pemerintah yang akan datang dan oleh pemerintah mendapat anugerah gelar pahlawan nasional selaras dengan mendapatkan martabat kemanusiaan dengan peraturan perundangan,” kata Bambang Soesatyo dikutip dari Antaranews.com, 28 September 2024.
Menurut sejarawan Ambar Wati Tulistyowati, penghapusan TAP MPR tidak serta-merta memudahkan Soeharto menjadi pahlawan nasional. Karena bila merujuk sesuai mekanisme yang berlaku, pengajuan pahlawan nasional harus melalui uji persyaratan. Di sisi lain, untuk menilai ketokohan seseorang menjadi pahlawan nasional tidak dapat ditinjau dari satu periode saja.Baca juga:
TAP MPR Dicabut, Sejarah Makin Berkabut
“Kalau saya sebagai sejarawan, saya tidak akan menjawab (Soeharto) pantas atau tidak. Proses menjadi pahlawan nasional kan tidak semudah itu kalau kita bicara normatif. Mesti ada seminar nasional dan naskah akademik yang bisa dipertanggungjawabkan. Setelah lolos di tingkat Kementerian Sosial masih ada satu pintu terakhir lagi, yaitu Istana. Nah, ini tergantung mau bagaimana jalannya. Nanti masyarakat yang akan menilai,” terang Ambar yang terlibat dalam pengajuan Soekanto Tjokrodiatmodjo, Kapolri pertama, menjadi pahlawan nasional pada 2020.
Untuk kasus Soeharto, lanjut Ambar, perannya untuk bangsa dan negara paling tidak dapat dijejaki dari periode Perang Kemerdekaan (1945—1949). Salah satu kiprahnya yang krusial terkait dengan peristiwa Serangan Umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta. Meskipun terdapat interpretasi peran Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang lebih besar dalam peristiwa itu, peran Soeharto sebagai komandan lapangan juga tidak dapat dikesampingkan begitu saja.
“Untuk menerjemahkan dan mewujudkan serangan besar-besaran di lapangan, itu kan kemampuan militer bukan sipil. Bagaimana atur strategi, menempatkan pasukan, inikan Soeharto yang punya kemampuan di lapangan sebagai komandan militer,” kata Ambar kepada Historia.id, “Ini kan satu track record Pak Harto yang memiliki value jasa-jasanya untuk bangsa dan negara tidak main-main.”
Baca juga: Letkol Soeharto Makan Soto
Serangan Umum 1 Maret 1949 berimplikasi terhadap pengkuan dunia internasional terkait eksistensi Republik. Ia membuktikan Tentara Republik masih ada. Setelahnya berlanjut pada perundingan-perundingan yang berakhir dalam Konferensi Meja Bundar (KMB). Jenderal Abdul Haris Nasution dalam salah satu jilid bukunya Sekitar Perang Kemerdekaan menyebut Letkol Soeharto sebagai “bunga pertempuran”.
Pada periode 1950—1959, Soeharto sebagai panglima militer daerah Jawa Tengah terlibat dalam operasi keamanan dalam negeri kendati pernah tersandung skandal penyelundupan. Berlanjut pada periode 1960-an, nama Soeharto melambung terutama atas prakarsanya menumpas Gerakan 30 September (G30S) 1965. Pun demikian, Soeharto disorot tajam atas terjadinya praktik kekerasan dan pembunuhan massal terhadap mereka yang terindikasi dan berafiliasi dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Setelah menjadi kepala negara, kita tidak bisa melihat Soeharto jeleknya semua,” kata Ambar. “Kita tidak bisa menutup mata bahwa pahlawan itu bukan superman, tetap manusia yang ada plus- minusnya. Saya lebih kepada bagaimana pertimbangan (gelar pahlawan) itu didasari kepada pertimbangan akademis, yang bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya.”
Baca juga: Adakah Udang di Balik Gelar Pahlawan Nasional?
Sementara itu, pengamat politik Insan Praditya Anugrah menyatakan wacana penobatan Soeharto sebagai pahlawan nasional yang bergulir jauh sebelum terganjal dengan memori soal kepemimpinan otoriter dan represifnya pada era Orde Baru. Penghapusan TAP MPR tentang Soeharto disinyalir jadi pijakan untuk merehabilitasi namanya lebih lanjut dalam narasi sejarah. Yang lebih celaka, ini sekaligus menjadi seolah sikap pemakluman terhadap korupsi kekuasaan mantan presiden.
“Pemberian gelar pahlawan nasional bagi Soeharto berbahaya bagi narasi bangsa ke depan, karena hal ini bisa menjadi pemakluman dan pemaafan bagi setiap pejabat dan mantan presiden yang terlibat KKN,” ujar Insan kepada Historia.id.
Budaya maaf tanpa pengadilan kepada para elite, menurut Insan, adalah ketidakadilan untuk ratusan juta rakyat yang menderita akibat kelakuan pemimpin tersebut. Dalam studinya yang mengomparasi pretorianisme militer dalam politik dan ekonomi rezim Orde Baru dengan junta militer Myanmar, Insan menyebut bahwa kegagalan Indonesia mencapai kemandirian industri merupakan akibat dari KKN Soeharto. “Krisis 1998 juga tidak akan terjadi apabila kebijakan Pakto 88 yang disetujui Soeharto tidak diberlakukan,” imbuhnya.
Baca juga: Ketika Habibie Harus Menyelesaikan Kasus Soeharto
Pada 1988, untuk melancarkan kembali roda perekonomian yang melambat karena pendapatan migas menurun, pemerintah mempermudah pendirian bank hanya dengan modal Rp 10 miliar. Ketika banyak pemodal asing yang menarik modalnya dari Asia karena kelakuan George Soros, banyak industri terutama properti gagal bayar ke bank dan terjadi kredit macet. Sementara itu, bank dengan modal minim tidak memiliki likuiditas. Akibatnya, beberapa bank ditutup dan sebagian menerima dana likuiditas dari negara, dikenal dengan nama BLBI yang bermasalah sampai saat ini.
“Saya rasa, para lansia tak dikenal yang masih berjuang menghidupi keluarga di usia senja lebih layak disebut pahlawan ketimbang elite yang memperkaya diri dan kelompoknya terlepas dari kebaikan dari kebijakannya selama memerintah,” sentil Insan.
Baca juga: Soeharto Bukan Pahlawan