MASA-masa produktif Pramoedya Ananta Toer sebagai sastrawan habis dalam penjara Orde Baru. Setelah Peristiwa Gerakan 30 September (G30S) 1965, Pram dikenai status tahanan politik. Total 14 tahun lamanya Pram ditahan tanpa diproses pengadilan. Waktu Pram mendekam di penjara-pembuangan Pulau Buru memasuki tahun ke-8, Presiden Soeharto berkirim surat padanya.
“Kekhilafan bagi seorang manusia adalah wajar, namun kewajaran itu harus pula ada kelanjutannya yang wajar. Yakni kejujuran, keberanian, dan kemampuan untuk menemukan kembali jalan yang benar dan dibenarkan. Semoga Tuhan Yang Maha Besar dan Maha Kasih memberi perlindungan dan bimbingan di dalam Saudara menemukan kembali jalan tersebut,” kata Soeharto dalam suratnya bertanggal 10 November 1973.
Padahal, ketika diwawancarai wartawan asing Brian May pada November 1972, Soeharto mengatakan bahwa Pram sama sekali tidak terlibat G30S. Namun, menurut Soeharto, siapa saja yang berpihak pada kekuatan yang berada di balik G30S, tidak boleh diberi hati. Pram termasuk dalam kelompok ini karena aktivitasnya dalam organisasi Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra).
“Tapi Pramoedya adalah anggota Lekra yang dibentuk PKI sebagai bagian dari rencana mereka untuk mengonsolidasi kekuatan mereka dan menggulingkan pemerintah. Seandainya kudetanya berhasil, orang-orang seperti Pramoedya pasti akan menyetujuinya,” terang Soeharto dikutip May seperti diulas sejarawan Robert Elson dalam Suharto: Sebuah Biografi Politik.
Baca juga: Mereka yang Memihak Pramoedya
Dengan dalil itu, Soeharto memperoleh pembenaran atas pengasingan dan penghancuran mental para tahanan politik di Pulau Buru. Bagi Soeharto sendiri, seperti tercermin dalam suratnya kepada Pram, hukuman pembuangan ke Pulau Buru seolah menjadi jalan untuk menebus dosa para tapol. Sementara bagi Pram, isi surat Soeharto itu tentulah menyakitkan. Meskipun demikian, Pram masih bisa menjawabnya dengan rasa penuh hormat.
“Surat Bapak Presiden RI yang berseru tentang kejujuran, keberanian, dan kemampuan untuk menemukan jalan kembali yang benar dan dibenarkan, adalah sekan-akan seruan dari orang tua sendiri yang selalu mencerlangkan nilai-nilai pesangon tersebut. Jiwa besar memaafkan kekhilafan dan tangan kuat diulurkan pada yang lemah,” balas Pram.
Setelah bebas dari pulau Buru pada 1979, Pram tak merdeka sepenuhnya. Secara berkala, Pram wajib lapor kepada Kodim Jakarta Timur. Rezim Orde Baru masih mewaspadai Pram, apalagi buah pikirannya dalam mengarang. Beberapa novel karya Pram yang terbit setelah bebas dari Buru ditarik dari peredaran. Kejaksaan Agung bahkan menerbitkan larangan terhadap beberapa karya Pram, termasuk tetralogi Pulau Buru. Status tahanan kota pun masih melekat pada Pram dari 1992 hingga berakhirnya rezim Orde Baru.
Baca juga: Mengenang Karya Pram yang Hilang
Pada 1999 atau 20 tahun setelah bebas dari Pulau Buru, Pram mengenang kembali surat dari Soeharto. “Surat itu diberikan setelah delapan tahun saya jadi tahanan Soeharto. Ia memberi nasihat yang indah-indah semacam itu. Inilah wajah dan jantung hati orang yang 'sakit',” tutur Pam dengan nada getir seperti dikutip Kompas, 16 September 1999.
Dalam seminar yang mempertemukan para korban rezim Orde Baru itu, Pram menyatakan orang-orang sepertinya adalah tumbal politik perebutan kekuasaan. Saat itu, Soeharto telah lengser dari kekuasaan oleh gerakan reformasi. Menurut Pram, semua kekerasan selama Orde Baru bisa terjadi karena budaya tumbal. Dalam budaya tumbal, untuk mendapatkan suatu keinginan orang mau mengorbankan sesuatu. Karena itulah Orde Baru berdiri dengan tumbal jutaan orang dibunuh. Pram juga mengemukakan bahwa yang seharusnya dinamakan G30S adalah seluruh periode Orde Baru. Ia yang melaksanakan dan ia juga yang harus mempertanggungjawabkan.
“Jadi bukan hanya peristiwa 1 Oktober, tetapi seluruh Orde Baru,” kata Pram dalam Kompas.
Baca juga: Asal-usul Istilah Orde Baru
Mengenai sosok Soeharto, Pram pun punya penilainnya sendiri. Sulit bagi Pram untuk menemukan sisi baik pada diri Soeharto. Menurut Pram, Soeharto sudah menyandang reputasi buruk sejak muda. Dalam sebuah wawancara pada 2001, Pram mengatakan Soeharto masuk jadi tentara kolonial Hindia Belanda (KNIL) menjelang masa pendudukan Jepang.
“Orang pada masuk penjara karena gerakan kemerdekaan, dia aja masuk KNIL. Itu aja sudah kejahatan,” kata Pram dalam kumpulan wawancara Pram Melawan suntingan Hasudungan Sirait. “Waktu saya dipenjara kan dikirimi surat, tahu kan? Ngomongnya kan seperti orang suci.”
Dalam sebuah wawancara, Pram juga pernah mempertanyakan intelektualitas Soeharto. Soeharto, kata Pram, tidak jelas pendidikannya. Untuk level perwira tinggi militer, Soeharto berbeda dari Abdul Haris Nasution yang jauh lebih terpelajar serta fasih bahasa Bahasa Belanda.
“Harto itu Sekolah Dasar saja tidak tamat. Tidak jelas pendidikannya. Ia mengaku jebolan MULO, tapi Bahasa Belanda tak tahu,” kata Pram dalam Menuju Demokrasi: Politik Indonesia dalam Perspektif Sejarah suntingan Baskara Tulus Wardaya.
Baca juga: Soeharto di Tengah Dua Jenderal
Pada wawancaranya yang lain, Pram makin keras bersuara mengecam Soeharto seiring waktu bergulirnya reformasi. Pram menyebutnya diktator, koruptor, hingga memperkaya diri sendiri. Jejak korupsi Soeharto bahkan telah direkam Pram sejak periode 1960-an. Kala itu Presiden Sukarno menunjuknya sebagai panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat.
“Ketika Sukarno mengangkat dia untuk memimpin unit antipenyelundupan, malah dia sendiri yang menyelundupkan barang dari Indonesia ke Singapura. Fakta ini tercantum dalam surat dari Soebandrio (Menteri Luar Negeri merangkap Ketua Badan Pusat Intelijen) ke Sukarno,” ulas Pram dalam wawancaranya pada dengan Andre Vitchek dan Rossie Indira pada 2003—2004, yang dibukukan Saya Terbakar Amarah Sendirian.
Tapi, penilaian Pram terhadap Soeharto tak melulu menyoal kekurangannya. Menurutnya, Soeharto juga punya kelebihan. Sebagai tentara yang berpengalaman di lapangan tempur, Soeharto, kata Pram adalah seorang ahli strategi yang tak tertandingi. Berkat kecakapan inilah turut membawa Soeharto menapaki langkah demi langkah hidupnya hingga menjadi Presiden RI ke-2.
“Memang. Strateg nomor satu dalam sejarah Indonesia,” kata Pram dalam Pram Melawan. “Tapi untuk kepentingan dirinya sendiri. Sayang sekali.”
Baca juga: Hitung-hitungan ala Soeharto