Masuk Daftar
My Getplus

Nisan dan Tengkorak dalam Peringatan Reformasi

Memperingati peristiwa Reformasi dengan instalasi nisan dan tengkorak sebagai tanda kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa Orde Baru belum diselesaikan.

Oleh: Amanda Rachmadita | 22 Mei 2024
Penampakan tengkorak dan nisan dalam pameran peringatan 26 Tahun Reformasi 21 Mei di Markas Front Penyelamat Reformasi Indonesia, Jakarta, Rabu (22/5/2024). (Amanda Rachmadita/Historia.ID).

MATAHARI mulai meninggi saat sejumlah kendaraan lalu lalang melintasi kawasan Cikini, Jakarta Pusat, Rabu, 22 Mei 2024. Aktivitas di kawasan ini terus berdenyut seakan tak pernah tidur. Kesibukannya sudah terlihat sejak zaman kolonial Belanda, di mana Cikini telah menjadi pusat bisnis dan hiburan bagi masyarakat Batavia.

Di sebuah bangunan, tak jauh dari kompleks Bioskop Metropole yang berdiri tahun 1930-an, seorang petugas keamanan membukakan gerbang untuk orang-orang yang hendak berkunjung ke sana. “Silahkan masuk,” kata pria itu. “Mau melihat pameran di dalam ya,” lanjutnya.

Baca juga: Reformasi atau Mati

Advertising
Advertising

Halaman Markas Front Penyelamat Reformasi Indonesia yang berlokasi di Jalan Diponegoro No. 72, Jakarta Pusat itu tengah menjadi area pameran foto dan intalasi untuk memperingati Reformasi 21 Mei 1998 yang terjadi 26 tahun lalu.

Saat memasuki gerbang lokasi acara, pengunjung disambut ribuan instalasi nisan dan tengkorak. Pada nisan-nisan tersebut tertulis nama-nama korban pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang terjadi di masa Orde Baru, beberapa di antaranya adalah Udin atau Fuad Muhammad Syafruddin, wartawan Bernas yang dibunuh karena kegiatan jurnalistiknya tahun 1996, dan Wiji Thukul, penyair dan aktivis dari Solo yang dihilangkan usai aktif mengkritik pemerintahan Soeharto melalui sajak-sajaknya.

Nisan kayu yang tertulis nama korban dan peristiwa pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia menjadi bagian dari peringatan 26 tahun reformasi 21 Mei yang diselenggarakan di Markas Front Penyelamat Reformasi Indonesia, Jakarta, Rabu (22/5/2024). (Amanda Rachmadita/Historia.ID).

Menurut Daniel Dhakidae dalam Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Wiji Thukul seakan menjadi simbol perlawanan terhadap kebijakan “tangan besi” Soeharto yang membelenggu kebebasan dan demokrasi di Indonesia. “Wiji Thukul –kurus perawakannya, miskin hidupnya, berbapakkan seorang yang mencari makan dengan mengayuh becak, dan lemah tubuh tak berdaya– menggubah banyak sajak yang tiap baitnya berisi semangat perlawanan yang membuat panas pemerintah. Salah satu baitnya ‘hanya ada satu kata: lawan’ begitu populer pada zaman Orde Baru dan menjadi penyatu para aktivis yang mau menjatuhkan Orde Baru, terutama Soeharto,” tulis Dhakidae.

Selain Wiji Thukul, 13 orang juga menjadi korban penculikan dan penghilangan paksa tahun 1998 yang hingga kini tak diketahui.

Baca juga: Wiji Thukul di Mana Rimbanya?

Selain nama-nama korban, pada sejumlah nisan juga tertulis kasus-kasus atau peristiwa yang diakui pemerintah sebagai pelanggaran HAM berat, seperti Peristiwa Talangsari Lampung 1989, Peristiwa Rumah Geudong dan Pos Sattis Aceh 1989, Peristiwa 1965–1966, Peristiwa Penghilangan Secara Paksa 1997–1998, Kerusuhan Mei 1998, hingga Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998–1999. Kasus-kasus lain di masa pemerintahan Soeharto yang menjadi sorotan publik juga tertulis di nisan kayu itu, salah satu yang terkenal adalah kasus Sum Kuning.

Sumaridjem atau lebih dikenal dengan Sum Kuning, gadis penjual telur berusia 18 tahun, menjadi korban pemerkosaan di Yogyakarta pada 1970. Pelakunya diduga anak petinggi di wilayah itu. Kasus ini menyedot perhatian publik karena korbannya yang justru ditahan dengan tuduhan memberikan laporan palsu. Selain itu, persidangan kasus ini juga dilakukan secara tertutup, bahkan wartawan yang hendak melaporkan kasus ini harus berurusan dengan militer.

“Kasus ini semakin melebar, sampai korban perkosaan ini dituduh sebagai anggota Gerwani, organisasi perempuan yang dianggap berafiliasi dengan PKI. Kemudian dihadirkan pula seorang penjual bakso yang disangkakan sebagai pelaku pemerkosaan, yang tentu saja dibantahnya di pengadilan. Lantas, ada pula 10 pemuda yang disuruh mengaku sebagai pemerkosa, juga menyangkal melakukan pemerkosaan, bahkan bersumpah rela mati jika memerkosa,” tulis Yudi Latief dalam Mata Air Keteladanan: Pancasila dalam Perbuatan.

Baca juga: Presiden Jokowi Akui 12 Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

Sejumlah foto dan kliping koran yang melaporkan aksi unjuk rasa mahasiswa pada bulan Mei 1998 dipamerkan dalam peringatan 26 tahun reformasi 21 Mei yang diselenggarakan di Markas Front Penyelamat Reformasi Indonesia, Jakarta, Rabu (22/5/2024). (Amanda Rachmadita/Historia.ID).

Tak butuh waktu lama, kasus Sum Kuning sampai ke Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Hoegeng Imam Santoso. Pada Januari 1971, Hoegeng membentuk Tim Pemeriksa Sum Kuning dan menegaskan akan mengusut tuntas kasus Sum Kuning.

“Perlu diketahui bahwa kita tidak gentar menghadapi orang-orang gede siapa pun. Kita hanya takut kepada Tuhan Yang Maha Esa. Jadi, walaupun keluarga sendiri, kalau salah tetap kita tindak. Geraklah, the sooner the better,” kata Hoegeng sebagaimana dikutip Yudi Latief. Namun, belakangan Presiden Soeharto turun tangan menghentikan kasus Sum Kuning. Dalam pertemuan di Istana, Soeharto memerintahkan kasus ini ditangani oleh Tim Pemeriksa Pusat Kopkamtib.

Baca juga: Kesaksian Kerusuhan Mei 1998

Kuatnya kendali Soeharto dan pemerintahan Orde Baru dalam berbagai aspek kehidupan akhirnya memicu banyak kritik dari berbagai lapisan masyarakat. Aksi unjuk rasa semakin marak, khususnya dilakukan mahasiswa. Demonstrasi yang semula menuntut turunkan harga kebutuhan pokok imbas krisis moneter tahun 1997 berujung tuntutan Soeharto mengundurkan diri. Gelombang demonstrasi mahasiswa pada Mei 1998 akhirnya berhasil menumbangkan Soeharto yang berkuasa selama 32 tahun.

Momen bersejarah 26 tahun lalu itu kembali dikenang melalui pameran foto, instalasi nisan dan tengkorak, serta berbagai kliping koran yang melaporkan aksi unjuk rasa dan momen pengunduran diri Soeharto. Pameran digelar dari Selasa sampai Kamis, 21–23 Mei 2024.

Pameran tidak hanya untuk mengenang kembali peristiwa bersejarah pada Mei 1998, tetapi juga sebagai refleksi dari tujuan Reformasi, yakni demokrasi yang sehat dan berkualitas. Kehadiran ribuan nisan dan tengkorak diharapkan menjadi pengingat masih banyak kasus pelanggaran HAM berat yang belum diselesaikan.*

TAG

reformasi soeharto orde baru

ARTIKEL TERKAIT

Perdebatan Gelar Pahlawan untuk Presiden Soeharto TAP MPR Dicabut, Sejarah Makin Berkabut Pencabutan TAP MPR Membuka Lagi Wacana Gelar Pahlawan Soeharto, Begini Kata Sejarawan Merehabilitasi Soeharto dari Citra Presiden Korup Tak Akur dengan DPR, Gus Dur Lengser Nawaksara Ditolak, Terbit TAP MPRS XXXIII/1967 Eks KNIL Tajir Soeharto Berkuasa seperti Raja Jawa Ali Moertopo “Penjilat” Soeharto Pangeran Haryasudirja Hampir Mati Ditembak Jepang