Presiden Joko Widodo mengakui 12 pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat yang terjadi di masa lalu pada Rabu, 11 Januari 2023. Pernyataan ini disampaikan setelah menerima laporan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM) di Istana Negara.
“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, saya sebagai kepala negara Republik Indonesia mengakui bahwa pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” terang Joko Widodo dalam konferensi pers di Istana Negara seperti disiarkan saluran Youtube Sekretariat Presiden.
Daftar peristiwa pelanggaran HAM berat yang disampaikan Joko Widodo merentang dari peristiwa 1965-1966 hingga peristiwa Jambo Keupok di Aceh pada 2003.
Baca juga: Sepuluh Kejahatan Negara dalam Peristiwa 1965 dan Sesudahnya
Peristiwa 1965-1966 merupakan pelanggaran HAM berat di mana mereka yang dituduh sebagai anggota maupun terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI) ditangkap, disiksa, hingga dieksekusi tanpa proses hukum. Sekira 500.000 hingga tiga juta orang tewas dalam pembantaian massal ini.
Sementara peristiwa Jambo Keupok di Aceh pada 2003 merupakan tindakan kekerasan aparat TNI kepada warga Aceh ketika menyisir anggota dan pendukung Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Menurut laporan Komnas HAM, TNI bahkan melakukan penembakan terhadap sejumlah warga serta membakar korban dalam keadaan hidup.
Berikut 12 pelanggaran HAM berat yang diakui pemerintah:
- Peristiwa 1965-1966
- Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985
- Peristiwa Talangsari Lampung 1989
- Peristiwa Rumah Geudong dan Pos Sattis Aceh 1989
- Peristiwa Penghilangan Secara Paksa 1997-1998
- Peristiwa Kerusuhan Mei 1998
- Peristiwa Tri Sakti dan Semanggi I-II 1998-1999
- Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999
- Peristiwa Simpang KKA di Aceh 1999
- Peristiwa Wasior Papua 2001-2002
- Peristiwa Wamena Papua 2003
- Peristiwa Jambo Keupok Aceh 2003
“Saya menaruh simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban,” ungkap Joko Widodo.
Presiden mengatakan bahwa pemerintah akan berusaha memulihkan hak-hak korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial. Ia juga menegaskan bahwa pemerintah berupaya agar pelanggaran HAM berat tidak terjadi lagi di masa depan.
“Dan saya minta kepada menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Menkopolhukam untuk mengawal upaya-upaya kongkret pemerintah agar dua hal tersebut dapat terlaksana. Semoga upaya ini menjadi langkah yang berarti bagi pemulihan luka sesama anak bangsa guna memperkuat kerukunan nasional kita dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” pungkasnya.
Baca juga: Meneropong Jejak Konflik di Tanah Rencong
Menkopolhukam Mahfud MD dalam konfernsi pers yang sama sebelumnya telah menegaskan bahwa Tim PPHAM tidak meniadakan proses yudisial.
“Karena di dalam undang-undang disebutkan pelanggaran HAM berat di masa lalu yang terjadi sebelum tahun 2000 itu diselesaikan melalui pengadilan HAM Ad Hoc atas persetujuan DPR. Sedangkan yang sesudah tahun 2000 diselesaikan melalui pengadilan HAM biasa,” terangnya.
Mahfud menjelaskan bahwa menurut Pasal 46 UU No. 26 Tahun 2000, pelanggaran HAM barat itu harus diproses ke pengadilan tanpa ada kadaluarsa.
“Maka kami akan terus usahakan itu dan persilahkan Komnas HAM bersama DPR dan kita semua mencari jalan untuk itu,” tambahnya.