KAMPUS Universitas Nasional Jakarta, Maret 1998. Di tengah teriakan yang bersanding dengan suara tembakan, Seta Basri menyeruak cepat ke barisan depan. Sambil mendorong beberapa kawannya yang asyik melempar batu ke arah Polisi Anti Huru Hara dan para prajurit dari Korps Marinir, ia berteriak agar kawan-kawannya kembali masuk kampus.
“Gua coba menenangkan kawan-kawan karena tak ada dalam rencana rapat aksi sebelumnya kita akan chaos dan berbenturan dengan aparat,” kenang dosen ilmu politik di sebuah kampus swasta tersebut.
Baca juga: Di Balik Pendudukan Gedung DPR
Tetiba bagian kiri perutnya terasa nyeri dan panas. Sebelum sadar bahwa dia tertembak peluru karet, tubuhnya pun menjadi lemas dan ambruk. Kawan-kawan Seta menjadi panik. Mereka kemudian menyeret tubuh kecil mahasiswa FISIP itu ke dalam kampus. “Pertempuran” pun berlangsung semakin seru dan tak terkendali.
“Sejak 16 Januari sampai awal-awal Mei, kami sudah turun ke jalan memprotes kenaikan harga dan penurunan Harga (Harto Sekeluarga),” ujar Faizal Husein, eks Koordinator Keluarga Mahasiswa Universitas Nasional (KM UNAS).
Universitas Indonesia (UI) juga tak mau kalah. Setelah menumpahkan sekira 4000 mahasiswanya di flyover Kelapa Dua, Depok pada akhir Februari 1998, dua minggu kemudian mereka lantas mengutus 20 perwakilannya untuk pergi ke Gedung DPR/MPR.
Baca juga: Kesaksian Kerusuhan Mei 1998
Di hadapan Fraksi ABRI, para ketua senat fakultas pimpinan Rama Pratama menolak secara tegas laporan pertanggungjawaban Presiden Soeharto dalam Sidang Umum MPR. Selain itu mereka pun menyodorkan agenda reformasi versi UI kepada para angggota DPR.
“Saya ingat sekali, sebelum masuk ke ruangan rapat, satu persatu wajah kami direkam oleh seseorang yang memegang kamera video. Entah buat apa,” kenang Dede Suryadi, Ketua Senat Fakultas Sastra UI periode 1997-1998.
Tidak hanya di Jakarta, aksi mahasiswa pun marak di Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Purwokerto, Jember dan kota-kota lainnya di Sumatera dan Sulawesi. “Tercatat antara April-Mei 1998, sekitar 600 mahasiswa dan 100 aparat terluka akibat bentrok yang terjadi antara dua pihak tersebut di kampus-kampus seluruh Indonesia,” tulis X-Pos edisi 16-22 Mei 1998.
Krisis Ekonomi
Badai krisis moneter yang terjadi pada 1997 menghantam semua lapisan masyarakat. Akibatnya, menurut ekonom UI Faisal Basri, harga pangan naik hingga 1000% dan membengkakan jumlah orang miskin di Indonesia menjadi 118,5 juta orang. “Ini memang di luar nalar kita,” ujar Faisal dalam suatu kesempatan diskusi bersama mahasiswa IAIN Jakarta pada penghujung 1997.
Situasi tersebut tentunya berimbas langsung kepada kehidupan para mahasiswa. Kebutuhan sehari-hari, buku-buku dan biaya kuliah melambung tinggi dan tak terjangkau lagi. Kiriman rutin dari orangtua di daerah menjadi tersendat, bahkan terhenti.
“Pokoknya kehidupan kami saat itu menjadi susah, banyak kawan-kawan yang tak bisa lagi melanjutkan kuliah. Bahkan di Medan, saya dengar banyak mahasiswa menjadi tukang becak,” ujar Zulkarnain, eks aktivis mahasiswa Universitas Padjadjaran (Unpad) Bandung.
Baca juga: Saksi Bisu Kerusuhan Mei 1998 di Glodok
Krisis ekonomi berkelindan dengan maraknya praktek korupsi, kolusi dan nepotisme di kalangan para pejabat Orde Baru. Sementara itu, institusi legislatif dan yudikatif impoten dan tak bisa menjalankan fungsinya.
Semua itu menjadi penyebab utama bergolaknya kampus sejak pertengahan 1997. Sejak Juni, aksi-aksi protes terhadap pemerintah Orde Baru kerap dilakukan di dalam kampus. Awal 1998, aksi mulai bergeser ke luar kampus dan langsung berhadapan dengan aparat keamanan, bahkan tak jarang terjadi bentrokan fisik. Situasi pun jadi mencekam.
Turunkan Soeharto!
Aksi-aksi mahasiswa direspon secara negatif oleh pemerintah Orde Baru. Alih-alih mengakomodasi permintaan mahasiswa, mereka malah menuduh anak-anak kampus tersebut sudah melakukan aksi politik praktis. Dalam Republika edisi 15 April 1998, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Wiranto Arismunandar mengancam secara keras agar para mahasiswa tidak terjebak dalam politik praktis dan mengingatkan sisi negatifnya bagi kegiatan akademik di kampus.
Pernyataan Wiranto, yang masih memiliki kekerabatan dengan keluarga besar Presiden Soeharto, menuai badai protes di kampus-kampus. Aksi-aksi anti-Presiden Soeharto dan kroninya semakin menggila. Tuntutan penurunan harga menjadi sering diiringi juga oleh penuntutan Soeharto lengser dari jabatannya sebagai presiden. “Dalam situasi sengsara seperti zaman itu, tak ada pilihan lain: reformasi kehidupan politik atau kami mati sekalian,” ungkap Seta.
Baca juga: Perlawanan dari Gejayan
Sesuai kesepakatan, kampus-kampus pun mulai mengganti jargon “turunkan harga” menjadi “turunkan Soeharto”. Menindaklanjuti peralihan tuntutan yang mulai mengarah kepada orang nomor satu di Republik Indonesia pada saat itu, para aktivis mahasiswa sadar bahwa perlawanan yang dibangun berdasarkan sentiment kampus tak akan efektif.
Lantas berbagai organ gerakan mahasiswa pun bermunculan. Mulai dari Forkot (Forum Kota), Front Nasional, FKSMJ (Forum Komunikasi Senat Mahasiswa Jakarta hingga KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Merekalah di antaranya yang pada 18 hingga 22 Mei 1998 “menduduki” Gedung DPR MPR dan dikatakan banyak orang sebagai penumbang kekuasaan Presiden Soeharto yang sudah berlangsung 32 tahun lamanya.*