Tubuh Zainal Zakse rebah di tanah. Luka-luka tusukan bayonet tentara menghujam wajahnya. Dia menjadi salah satu korban kerusuhan dalam demonstrasi mahasiswa pada 3 Oktober 1966. Saat itu, Zakse bertugas sebagai wartawan harian KAMI yang meliput jalannya unjuk rasa.
“62 korban demonstrasi di depan Istana,” lansir harian Angkatan Bersendjata (AB), 4 Oktober 1966.
Unjuk rasa ribuan mahasiswa dan pelajar yang tergabung dalam kesatuan KAMI/KAPPI/KAPI berlangsung sejak pukul 10 pagi di Lapangan Monas. Bentrokan pecah karena pihak Penguasa Pelaksana Perang Daerah (Pepelrada) Jakarta Raya telah mengumumkan pelarangan aksi demonstrasi. Setiap pelanggaran akan ditindak tegas.
Baca juga: Serba-serbi Demonstrasi 1966
Menurut Jenderal Abdul Haris Nasution, saat itu menjabat ketua MPRS, kesatuan-kesatuan aksi semakin tidak sabar terhadap penyelesaian perkara Presiden Sukarno. Resolusi untuk memberhentikan Presiden Sukarno memang telah diajukan kepada DPR sejak awal Maret 1966. Pada 28 September, mulailah rentetan demonstrasi yang tegas-tegas menuntut pemberhentian, penahanan, dan pengadilan atas Bung Karno. Para demonstran menyimpulkan keterlibatan Sukarno dalam G30S dari perkembangan pengadilan Mahmilub.
“Ketika terjadi lagi tanggal 3 Oktober serta demonstrasi besar di depan Istana, maka garnisun bertindak dan menurut mahasiswa mereka menghadapi satuan Brawijaya yang dibawahi oleh Kostrad,” tutur Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 7: Masa Konsolidasi Orde Baru.
Dalam upaya menertibkan para demonstran, terjadilah insiden berdarah. Seorang mahasiswa, sebut AB, mencoba merebut senjata petugas. Dalam pergelutan, petugas yang mempertahankan senjata lantas menikamkan ujung sangkurnya kepada mahasiswa itu. Dia juga menghantamkan popor senapannya karena terdesak dorongan massa yang ada di belakang. AB tidak menyebutkan nama, namun kuat dugaan mahasiswa yang mengalami nahas itu ialah Zainal Zakse.
Baca juga: Mahasiswa Ingin Ganti Presiden, Tentara Duduki Kampus
Zainal Zakse merupakan mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia (UI) angkatan 1960. Lahir di Binjai, 4 Januari 1938, dengan nama lengkap Zainal Abidin Katung Sikumbang Enang, disingkat Zakse. Anak sulung Bendaharo Katung ini, semasa mahasiswa aktif dalam Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos) dan Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI). Sama-sama kuliah di jurusan sejarah, Zakse adalah senior sekaligus karibnya Soe Hok Gie, yang juga aktivis mahasiswa. Di harian KAMI, Zakse termasuk salah satu wartawan yang rajin dan berbakat. Sayang, liputan unjuk rasa mahasiswa pada 3 Oktober 1966 itu menjadi tugas terakhirnya meliput sebagai wartawan. Zakse jadi korban penganiayaan pada peristiwa itu.
Dalam aksi demonstrasi yang berujung rusuh itu, Zakse mengalami luka parah. Dia segera dilarikan ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Setelah dirawat beberapa lama, pemulihan luka dan cedera yang dialami Zakse tidak mengalami perbaikan. Atas penggalangan dana Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Jakarta Raya dan Panitia Setia Kawan Wartawan Indonesia, Zakse diboyong ke Belanda untuk mendapat pengobatan yang lebih memadai. Selama di Belanda, Zakse dirawat di Rumah Sakit Katwijk, Leiden.
Tingkat cedera yang diderita Zakse ternyata sedemikian serius. Akibatnya, Zakse mengalami cacat permanen. Di tengah pembaringannya, Zakse sempat bersurat dengan sahabat-sahabatnya, termasuk kepada rekannya di mingguan Mahasiswa Indonesia cabang Jawa Barat.
Baca juga: Misteri Kematian Seorang Demonstran
Zakse dalam salah satu suratnya mengatakan bahwa dia mendapat tusukan bayonet di mukanya menembus bagian kanan bibirnya. Tusukan bayonet juga menancap pada leher dan bahu kiri. Tapi, yang paling berat rasa sakitnya ialah pukulan popor senapan yang bertubi-tubi menerjang punggung dan menghancurkan susunan saraf-sarafnya.
“Aku tidak dapat menggerakkan kedua belah kakiku, begitu pula sebagian daripada badanku. Tentang keadaan kelumpuhan yang menimpa kedua belah kaki dan bagian badanku ini dan juga kedua tanganku adalah disebabkan pukulan-pukulan popor senapan pada tulang belakangku. Seperti kau ketahui tulang belakang itu adalah pusat syaraf-syaraf sehingga akhirnya pukulan-pukulan tadi mengganggu syaraf-syarafku yang mengakibatkan kelumpuhanku,” kata Zakse sebagaimana dipublikasikan mingguan Mahasiswa Indonesia Jawa Barat, Minggu ke-II, Mei 1967.
Tidak seperti yang diberitakan harian AB, menurut Mahasiswa Indonesia, Zakse kena hajar tentara lantaran posisinya yang terlalu dekat dengan petugas keamanan. Ketika suasana demo berubah jadi rusuh, Zakse jadi sasaran hantam petugas.
Baca juga: Mengadili Polisi Brutal
Semula diharapkan bahwa di Leiden kerusakan tulang belakang dan pusat sarafnya dapat dipulihkan kembali. Namun, raga Zakse ternyata sudah terlambat untuk ditolong. Setelah tujuh bulan lamanya menderita, Zainal Zakse meninggal dunia di Rumah Sakit Katwijk, Leiden pada 8 Mei 1967. Jenazahnya dibawa pulang ke Jakarta. Sewaktu jasadnya disemayamkan di UI, Jenderal Nasution hadir sebagai salah satu pelayat.
“Saya memakai seragam TNI, saya anggap psikologis perlu, karena ia adalah korban bentrokan antara KAMI dengan ABRI,” kata Nasution.
Akhir hidup Zainal Zakse sama seperti Arief Rahman Hakim yang lebih dulu mendahului. Pada 24 Februari 1966, Arief, mahasiswa Fakultas Kedokteran UI, meninggal karena ditembak tentara sewaktu berlangsungnya demonstrasi mahasiswa menuntut Tritura atas pemerintahan Orde Lama. Sementara Arif Rahman Hakim dikenang sebagai martir dan disematkan gelar kehormatan Pahlawan Ampera, Zakse lebih menjadi tumbal yang ditelan zaman oleh rekan-rekannya.
Baca juga: Setelah Arief Tewas di Ujung Peluru
Dalam keterangannya yang dimuat AB, 5 Oktober 1966, Fahmi Idris selaku pimpinan Laskar Ampera Arief Rahman Hakim mengatakan kerusuhan yang terjadi pada 3 Oktober itu janganlah diartikan sebagai bentrokan antara ABRI dan Angkatan 66. Tetapi hal tersebut merupakan kejadian antara tugas dan perjuangan. Sementara itu, korban luka-luka yang jatuh dalam insiden tersebut adalah risiko dan pengorbanan dalam perjuangan.
“Ini hendaknya dipahami untuk memelihara partnership antara ABRI dan Angkatan 66 sebagai kekuatan inti Orde Baru menumbangkan Orde Lama,” kata Fahmi dikutip AB.
Penjelasan Fahmi itu tiada bedanya pula dengan pernyataan Ketua Presidium KAMI Pusat Cosmas Batubara. Masih dalam suratkabar yang sama, Cosmas meminta agar tidak ada sikap-sikap negatif terhadap ABRI sebagai partner yang paling setia. Hal tersebut, menurutnya berarti melanggar kebulatan tekad KAMI sebagai rekan ABRI untuk mengikis habis Orde Lama dan menegakkan Orde Baru.
“Kalau terjadi hal-hal tersebut, maka KAMI menyatakan bahwa itu adalah gerpol PKI yang hendak memecah belah kekuatan Orde Baru,” tandas Cosmas.
Baca juga: Cosmas Batubara Sang Menteri Rumah Susun
Semasa Orde Baru berkuasa, kedua orang ini menikmati jabatan sebagai anggota dewan dan menteri. Fahmi Idris menjadi anggota DPR Gotong Royong periode 1966—1971 mewakili kelompok mahasiswa dan kemudian jadi petinggi Golkar. Sementara Cosmas Batubara menjabat Menteri Perumahan Rakyat (1978-1988) dan Menteri Tenaga Kerja (1988-1993). Dalam otobiografinya Cosmas Batubara: Sebuah Otobiografi Politik, Cosmas cerita panjang lebar mengenai aksi mahasiswa Angkatan 66, perannya dalam KAMI, hingga martirnya Arief Rahman Hakim, namun sama sekali tiada menyebut nama Zainal Zakse.
Pada 1977, makam Zainal Zakse dipindahkan dari TPU Blok P Kebayoran ke TPU Tanah Kusir, Kebayoran Lama. Di sejumlah kota, nama Zainal Zakse diabadikan sebagai nama jalan, seperti di Binjai, Malang, dan Sukabumi. Pada akhir 2022 silam, prasasti Zainal Zakse tampak menghiasi Tugu Rambutan di Kota Binjai. Dalam prasasti itu, terukir profil singkat tentang Zainal Zakse. Namun, termuat sejumlah kesalahan data sejarah yang isinya sebagai berikut (dengan koreksi dalam tanda kurung):
“Zainal Zakse adalah seorang Pemuda Sosialis Kerakyatan kelahiran Binjai, 4 Januari 1938. Ia adalah wartawan Universitas Indonesia (Wartawan harian KAMI -red). Dikenal sebagai salah satu wartawan Pahlawan Ampera melalui TAP MPRS No. XXIX/MPRS/1966 yang gugur pada bentrokan antara mahasiswa dan penjaga Istana (Zainal Zakse wafat pada 8 Mei 1967, tujuh bulan setelah bentrokan –red). Tanggal 1 Oktober (kerusuhan terjadi pada 3 Oktober -red) 1966 kemudian dimakamkan di TPU Tanah Kusir Jakarta.”
Baca juga: 9 Martir Gerakan Mahasiswa Indonesia