Serba-serbi Demonstrasi 1966
Terselip banyak kisah di balik aksi mahasiswa yang pada akhirnya berhasil melengserkan Presiden Sukarno.
PULUHAN ribu mahasiswa turun ke jalanan. Mereka tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa (KAMI). Para demonstran itu menyampaikan tuntutan: bubarkan PKI, rombak kabinet, dan turunkan harga. Tiga tuntutan tersebut kelak dikenal sebagai Tritura (Tri Tuntutan Rakyat).
“Sejak 10 Januari 1966, puluhan ribu mahasiswa berdemonstrasi di jalanan selama lima hari berturut-turut,” kenang Jusuf Wanandi tokoh KAMI dari Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) dalam Menyibak Tabir Orde Baru: Memoar Politik Indonesia 1965—1998.).
Puncak demonstrasi terjadi pada 15 Januari 1966. Ketika itu Sukarno mengadakan sidang kabinet di Istana Bogor untuk menanggapi demonstrasi mahasiswa dan tuntutannya. Hingga Maret mahasiswa masih getol menyerukan agar rezim Sukarno turun. Di balik suasana panasnya situasi politik saat itu terselip beragam kisah dalam aksi-aksi demonstrasi mahasiswa yang kelak dikenal sebagai “Angkatan 66” itu. Berikut kisahnya.
Makanan dari Masyarakat
Demonstrasi tentu menyita tenaga dan bikin perut keroncongan. Para mahasiswa demonstran Angkatan 66 yang tergabung dalam KAMI pun mengalaminya. Di tengah rasa lapar dan dahaga, ada saja yang berbaik hati memberikan suguhan pengisi perut.
Baca juga: Makanan Buat Para Demonstran
“Ibu-ibu, anak-anak remaja dan berbagai kalangan datang silih berganti mengantarkan nasi bungkus, buah-buahan dan makanan kecil kepada mahasiswa yang berkumpul di markas setelah kembali dari demonstrasi,” kenang Cosmas Batubara dalam Cosmas Batubara: Sebuah Otobiografi Politik. Cosmas adalah aktivis PMKRI yang menjabat sebagai Ketua Presidium KAMI.
Menurut Cosmas mendapat suguhan makanan dan minumuman dari masyarakat adalah sebuah kenikmatan bagi rekan-rekannya sesama demonstran. “Apalagi, kalau disughi nasi bungkus,” katanya, “lengkaplah sudah kenikmatan itu.”
Tentara Melindungi Mahasiswa
Pada bulan Januari 1966, situasi politik semakin memanas. Demonstrasi mahasiswa semakin menjadi-jadi dalam melancarkan agitasi dan propaganda anti-pemerintah. Beredar isu bahwa sebagian kekuatan Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan sebagian Angkatan Darat, terutama Resimen Tjakrabirawa (pasukan pengawal presiden) tidak senang dengan gerakan mahasiswa. Hanya beberapa kesaruan Angkatan Darat khususnya dari Kostrad dan RPKAD yang siap sedia melindungi mahasiswa.
Menurut Jusuf Wanandi, setelah KAMI dibubarkan pada 25 Februari 1966, Tjakrabirawa mencoba menangkap pentolan demonstran. Adik Jusuf, Sofyan Wanandi bersembunyi di Markas Komando Tempur II Kostrad pimpinan Letkol Ali Moertopo yang terletak di Jalan Kebon Sirih. KAMI juga sekalian memindahkan markasnya ke sana.
Yang paling melindungi mahasiswa adalah Brigjen Kemal Idris, Kepala Staf Kostrad. Kemal memimpin semua pasukan Kostrad yang ada di Jakarta. Dengan wewenang komando yang ada padanya, Kemal kerap membantu dan mengamankan gerakan mahasiswa.
“Beberapa anggota saya, saya tempatkan di Markas KAMI,” tutur Kemal Idris dalam otobiografinya Kemal Idris: Bertarung dalam Revolusi. “Strategi yang saya lakukan itu sangat menunjang jalannya gerakan mahasiswa dan pengamanan yang dikehendaki pada masa itu,” Usaha Kemal melindungi demonstran inipun direstui oleh Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto. Terutama supaya jangan jatuh korban di pihak mahasiswa.
Istilah “Info” dan “Briefing”
Aksi demonstrasi mahasiswa Angkatan 66 dalam perkembangannya melahirkan istilah yang hanya dimengerti para demonstran. Istilah yang dimaksud adalah “info” dan “briefing”. Menurut Salim Said, yang pada 1966 jadi wartawan junior koran Angkatan Bersendjata, kodefikasi dua lema ini berkaitan erat dengan logistik.
“Begitu membudayanya kata ‘info’ dan ‘briefing’, kata Salim Said dalam Gestapu 65, “kata ‘info’ berubah makna menjadi suplai makanan, sedangkan ‘briefing’ berarti kumpul untuk makan.”
Hal senada juga diungkapkan Cosmas Batubara. Menurutnya info adalah kata ganti yang merujuk kepada ketersediaan makanan. “Nah, kita makan. Jadi, di sana, teriaknya, bunyinya itu info. Info sudah datang, berarti makanan sudah datang,” kata Cosmas dalam Pengumpulan Sumber Sejarah Lisan: Gerakan Mahasiswa 1966 dan 1998.
Menteri Kocar-Kacir
Untuk mengatasi carut marut keadaan politik, Presiden Sukarno merombak Kabinet Dwikora yang disempurnakan. Susunan menteri yang berjumlah banyak membuat kabinet ini disebut sebagai Kabinet 100 Menteri. Mahasiswa menolak karena Sukarno masih menyertakan menteri-menteri yang dicurigai terlibat Gestapu.
“Pada 24 Februari, aksi massa turun ke jalan secara besar-besaran kembali meledak di Jakarta. Demonstrasi dilakukan sebagai upaya KAMI menggagalkan acara pelantikan kabinet baru yang terus-menerus dicemoohkan sebagai Kabinet 100 Menteri,” tulis Julius Pour dalam Gerakan 30 September: Pelaku, Pahlawan & Petualang.
Baca juga: Meringkus Loyalis Sukarno
Lalulintas di Jakarta hari itu macet total. Istana Merdeka dikepung oleh demonstran. Sejumlah mahasiswa militan menggembosi ban mobil menteri. Walhasil para calon menteri kocar-kacir menuju Istana. Ada yang datang berjalan kaki bahkan ada yang nekat naik sepeda menembus barikade mahasiswa. Pelantikan tetap berlangsung setelah pihak Istana mengerahkan helikopter untuk menjemput calon menteri ke Istana.
Penunggang Gelap
Usai mengganggu acara pelantikan kabinet, gelombang aksi mahasiswa masih belum berhenti. Ketika sidang kabinet berlangsung pada 11 Maret 1966, Mahasiswa kembali bikin rusuh. Soebandrio yang menjabat Wakil Perdana Menteri I merangkap Menteri Luar Negeri dalam kesaksian mencatat kejadian hari itu.
“Pagi-pagi sekali sebelum sidang dibuka ribuan mahasiswa datang berbondong-bondong menuju Istana. Mereka mendesak masuk ke halaman Istana.
Menurut Soebandrio aksi mahasiswa itu tidak dilakukan sendiri. Ada pasukan liar yang ikut menunggangi. Mereka mengenakan seragam loreng dan bersenjata lengkap namun tanpa tanda pengenal. Siapa mereka?
Baca juga: Memburu Soebandrio
Dalam majalah TSM No. 21 Tahun II/Maret 1989, Kemal Idris membenarkan bahwa pasukan-pasukan liar itu di bawah komando dan pengendaliannya. Kemal mengirimkan sekira sepeleton pasukan RPKAD ke sekeliling istana. Operasi itu ditujukan untuk meringkus Soebandrio.
Isu keberadaan pasukan liar ini terdengar oleh Presiden Sukarno. Karena gusar dan panik Sukarno segera menghentikan sidang kemudian menyelamatkan diri ke Istana Bogor. Dari kejadian inilah lahir Surat Perintah 11 Maret 1966 yang mengakhiri kekuasaan Sukarno.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar