Panglima Divisi Siliwangi Kolonel R.A. Kosasih mengerahkan mahasiswa sebagai pasukan jajar kehormatan untuk menyambut kedatangan Presiden Sukarno di lapangan Udara Husein Sastranegara, Bandung. Sukarno akan memberikan kuliah umum di halaman depan kampus ITB.
Sukarno merasa heran dan terkesan dengan pasukan jajar kehormatan tersebut. Sebelum masuk ke mobil yang akan mengantar ke kampus ITB, dia bertanya kepada Kosasih. “Kos, itu tadi pasukan dari mana, kok nggak pakai tanda pangkat?”
Kosasih menjawab, “Itu tadi adalah pasukan Resimen Mahasiswa yang sedang dipersiapkan untuk membentuk Operasi Pagar Betis guna menumpas gerombolan Darul Islam/TII Kartosoewirjo.”
Percakapan tersebut dikemukakan oleh Tjipto Sukardhono, mantan anggota Resimen Mahasiswa Batalion I/ITB angkatan 1959, kepada Raditya Christian Kusumabrata, dalam “Resimen Mahasiswa Sebagai Komponen Cadangan Pertahanan 1963–2000: Pembentukan Resimen Mahasiswa Mahawarman”, skripsi di Program Studi Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia tahun 2011.
Baca juga: Sukarno Kuliah dengan Biaya Sendiri
Resimen Mahasiswa tersebut adalah Batalion Wajib Latih (Wala) yang terdiri atas mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Jawa Barat yang dilatih oleh Divisi Siliwangi pada 13 Juni sampai 14 September 1959.
“Presiden Sukarno pernah dibuat kagum menyaksikan penampilan Batalion Wala ketika Panglima Siliwangi, Kolonel R.A. Kosasih mengerahkan satuan mahasiswa ini sebagai pasukan jajar kehormatan untuk menyambut kedatangan presiden di lapangan udara Husein Sastranegara, Bandung,” tulis Hasyrul Moechtar dalam Mereka dari Bandung: Pergerakan Mahasiswa Bandung, 1960–1967.
Menurut Hasyrul, pembentukan Resimen Mahasiswa di kampus-kampus perguruan tinggi menemukan momentum yang tepat setelah Presiden Sukarno mengeluarkan komando Trikora untuk membebaskan Irian Barat pada 19 Desember 1961.
Baca juga: 9 Martir Gerakan Mahasiswa Indonesia
Selaku Penguasa Perang Daerah, Kosasih merespons komando tersebut dengan mengeluarkan keputusan pada 10 Januari 1962 untuk membentuk Resimen Serbaguna Mahasiswa/Mahasiswi. Rekrutmen diserahkan kepada perguruan tinggi, sedangkan penyusunan program latihan dan pelaksanaannya ditangani oleh Kodam (Komando Daerah Militer) dan Korem (Komando Resor Militer).
Raditya mencatat, dari 25.000 mahasiswa yang ikut seleksi, hanya 4.969 yang lulus seleksi. Batalion Resimen Serbaguna Mahasiswa ini dipimpin oleh Kapten Ojik Soeroto, yang terdiri dari Kompi I dan II dari ITB, Kompi III dari Unpad, Kompi IV dari Unpar dan perguruan tinggi lainnya.
Pada 1963, Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pengetahuan dan Wakil Menteri Pertama Urusan Pertahanan/Keamanan mengeluarkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pelaksanaan Wajib Latih dan Pembentukan Resimen Mahasiswa di Lingkungan Perguruan Tinggi. Melalui keputusan inilah Resimen Mahasiswa dibentuk di setiap perguruan tinggi di Indonesia.
Seluruh Menwa yang berada di perguruan tinggi kemudian disatukan dalam satu Menwa berdasarkan wilayahnya masing-masing dan berada di bawah asuhan Kodam masing-masing. Ini berdasarkan instruksi Menko Hankam/KASAB Jenderal TNI A.H. Nasution melalui radiogram pada 1964.
“Radiogram ini dikeluarkan juga karena melihat ide dari Resimen Serbaguna Mahasiswa di Bandung yang secara organisasi berada di bawah Kodam, sehingga pengorganisasian/pengomandoannya menjadi lebih mudah dan terarah,” tulis Raditya.
Baca juga: Riuhnya Gagasan Milisi Negara
Sejak dikeluarkannya radiogram tersebut, Menwa didirikan di setiap provinsi. Menwa-Menwa ini memiliki nama dengan awalan “Maha”, seperti Mahawarman (Jawa Barat), Mahajaya (Jakarta), Mahakarta (Yogyakarta), dan lain-lain.
Dibentuk dengan semangat merebut Irian Barat, maka para anggota Menwa pun diikutsertakan dalam Korps Sukarelawan Pembebasan Irian Barat. Mereka juga dikerahkan sebagai sukarelawan dalam Satuan Tugas Dharma Bakti untuk membantu pembangunan di Timor Timur.
“Sebelumnya terkait dengan usaha mempertahankan NKRI, Resimen Mahasiswa Mahawarman ikut andil dalam upaya penumpasan DI/TII di Jawa Barat,” tulis Raditya.
Kedekatan Menwa dengan militer berdampak pada penampilan dan sikap para anggotanya. Menwa menjadi organisasi mahasiswa yang terpisah dari kegiatan kemahasiswaan pada umumnya.
“Penampilan dan tata cara organisasi yang militeristik membuat Menwa kerap disangkutpautkan dengan kekerasan, sehingga menimbulkan sikap tidak bersahabat dari rekan mahasiswa yang lain,” tulis Raditya.
Pada 1994, mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Semarang didukung mahasiswa dari perguruan tinggi di berbagai kota mengeluarkan pernyataan keprihatinan atas berbagai tindakan kekerasan yang dilakukan anggota Menwa. Bahkan, Kelompok Cipayung yang terdiri atas PB HMI, GMNI, PMKRI, dan GMKI, menuntut penghapusan Menwa dari lingkungan perguruan tinggi.
Baca juga: Kisah Plonco Sejak Zaman Londo
Tuntutan pembubaran Menwa kemudian datang dari IAIN Walisongo Semarang setelah mahasiswanya dianiaya oleh anggota Menwa. Pada 2000, melalui referendum, mahasiswa IAIN Walisongo memutuskan menolak keberadaan Menwa di kampusnya.
“Keberhasilan IAIN Walisongo Semarang menjadi pemicu tindakan-tindakan serupa di perguruan tinggi lain di Indonesia,” tulis Raditya.
Pemerintah mendengar tuntutan tersebut kemudian meninjau kembali keberadaan Menwa. Akhirnya, pada 11 Oktober 2000 keluar Surat Keputusan Bersama Menteri Pertahanan, Menteri Pendidikan Nasional, dan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah yang menetapkan Menwa sebagai UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) yang pembinaannya diserahkan kepada masing-masing perguruan tinggi. Menwa menjadi UKM biasa, tidak lagi berada di bawah asuhan Kodam.
Baca juga: Soe Hok Gie dan Perploncoan di UI