Masuk Daftar
My Getplus

Soe Hok Gie dan Perploncoan di UI

Sebelum jadi aktivis kampus, Gie juga pernah diplonco oleh para senior. Namun kesannya mengenai kegiatan orinetasi itu tidak melulu buruk.

Oleh: Martin Sitompul | 18 Sep 2020
Soe Hok Gie sebagai mahasiswa UI. Ilustrator: Betaria/Historia.

Perploncoan lazim dialami oleh mahasiswa baru di perguruan tinggi. Bahasa formalnya orientasi studi dan pengengalan kampus atau kerap disebut ospek.  Kegiatan itu sudah jadi rutinitas ketika memasuki tahun ajaran baru. Namun, sederet stigma miring melekat kala mendengar kata “diplonco”. Mulai dari senioritas, intimidasi, hingga kekerasan kerap terjadi dalam perploncoan.

Itulah yang terjadi baru-baru ini di Universitas Negeri Surabaya (Unesa). Walaupun pada masa pandemi seperti sekarang, perploncoan tetap dilaksanakan secara daring. Dalam sekejap, kegiatan itu menjadi sorotan publik lantaran terlihat beberapa senior membentaki juniornya. Aksi bentak-bentak itu muncul di media sosial, jadi viral, dan menuai banyak kecaman.

Merentang ke belakang, perploncoan memang sudah menjadi tradisi dari masa-masa. Soe Hok Gie, aktivis mahasiswa terkemuka itupun pernah merasakannya.  Dalam catatan hariannya, Gie menuangkan pengalamannya diplonco bahkan dirundung oleh seniornya.     

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Kisah Plonco Sejak Zaman Londo

Mahasiswa Jurusan Sejarah

Pengumuman ujian selesai. Setelah menyandang predikat lulus, Soe Hok Gie pun resmi menjadi alumnus SMA Kanisius. Gie kemudian mengikuti seleksi masuk perguruan tinggi.

Semula Gie diterima di Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan Jakarta (kini UNJ). Tapi, Gie mencoba peruntungan juga di Universitas Indonesia. Pilihan pertamanya jurusan Psikologi tapi gagal. Gie diterima pada pilihan kedua, yaitu jurusan sejarah. Resmilah Gie jadi mahasiswa Fakultas Sastra Jurusan Sejarah UI angkatan 1961. Kampusnya masih di Rawamangun. Sebelum mulai kuliah, diadakan masa perploncoan dari tanggal 27 September sampai 1 Oktober.

“Ketika baru diplonco kami dibentak-bentak, ditendang tas kami dan dimaki-maki,” catat Gue tanggal 20 Oktober 1961 dalam catatan hariannya yang dibukukan Catatan Seorang Demonstran.

Baca juga: 

Soe Hok Gie dan Para Penyusup di UI

Gie menyaksikan dirinya dan kawan-kawan seangkatan diperlakukan seperti binatang. Berbagai risakan terlontar dari lisan senior. Misalnya, “jelek lu”, “muka lu lihat dulu”, “gigi lu kuning”, dan sebagainya. Pada awalnya, Gie menganggap perploncoan itu sia-sia belaka tiada guna. Tetapi kemudian Gie melihat sisi positifnya. Khususnya bagi "anak-anak borjuis" atau yang mereka tidak bepikiran dewasa.  

Ketika diplonco, Gie mengingat salah satu kawannya bernama Nurul Komari. Gie mendapat kesan bahwa kawannya itu seorang “anak mami” karena sangat tergantung dengan ibunya. Dalam perploncoan, dia menangis karena dimaki-maki.

“Di sinilah adanya unsur positif dari perploncoan, setidak-tidaknya kita dicoba (biar cuma lima hari), untuk menghadapi situasi nyata atas beban sendiri,” kata Gie. Seorang anak, lanjutnya, mau tidak mau tidak mau menjadi dewasa. Dia harus berani dan sadar untuk melepaskan diri dari pelindungnya, dalam hal ini orang tuanya.

Baca juga: 

Curhat Soe Hok Gie Kepada Arief Budiman

Menurut Gie, dalam perploncoan ada dua jenis manusia. Sebagian berani menghadapi kenyataaan dengan bersikap sesuai. Gie termasuk dalam golongan ini. Waktu diplonco, Gie ketawa-ketawa saja  sehingga ada seniornya yang bilang kalau dia senang diplonco. Sebagian lagi marah-marah dan mendendam. Dalam keadaan demikian, perploncoan ibarat malapetaka bagi mereka. Mereka adalah orang-orang konyol, demikian tulis Gie dalam catatannya.

Dalam perploncoan, Gie mendapat kawan-kawan senior yang menjadi akrab. (Richard Zakaria) Leirissa (Sejarah tingkat II) seorang yang baik hari dan mau membimbing. Ong Hok Ham (Sejarah tingkat II) seorang yang pandai dan berkata supaya Gie merasakan hidup kemahasiswaan yang sedalam-dalamnya. Di kemudian hari, Leirissa dan Ong menjadi sejawaran beken Indonesia lewat karya-karya mereka.    

Plonco di Mapala

Pada waktunya, Gie pun naik tingkat menjadi senior. Meski demikian, Gie tidak ikutan memplonco anak baru. Dalam catatan hariannya tanggal 4 Oktober 1962, Gie sebenarnya mengakui punya ketertarikan untuk ikut sebagai senior dalam masa perkelanan. Tujuannya semata-mata ingin mengetahui perangai mahasiswa baru dan memberikan pandangan postif bagi mereka. Tapi pada akhirnya, Gie lebih memilih bergumul dengan alam dengan membentuk komunitas Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala).

Baca juga: 

Sang Demonstran dan Politikus Berkartu Mahasiswa

Mapala UI didirikan pada 1964 sebagai organisasi internal mahasiswa UI. Kegiatannya berupa perkemahan, perjalanan, dan pendakian gunung, termasuk konservasi alam. Mapala juga menjadi penampungan bagi mahasiswa yang jenuh dari hiruk pikuk politik kampus yang melibatkan organisasi kampus dengan partai politik tertentu.Gie merupakan salah satu perintisnya di Fakultas Sastra. Sudah jadi tradisi pula jika calon anggota Mapala mesti “ditatar” terlebih dahulu sebelum resmi diterima sebagai anggota.

Pada Desember 1969, Mapala melakukan pendakian ke Gunung Semeru, Jawa Timur.  Dalam daftar rombongan, tercatat beberapa nama pentolan pencinta alam. Gie salah satu diantaranya. Saat itu, Gie telah menjadi dosen muda di kampusnya. Selain itu Gie juga dikenal sebagai penulis, aktivis, dan tokoh pergerakan mahasiswa di zaman awal Orde Baru.

Dalam kumpulan tulisan Soe Hok-Gie Sekali Lagi, Rudy Badil mengenang waktu itu masih mahasiswa tingkat persiapan jurusan Antropologi Fakultas Sastra UI. Seingat Badil, Maman (Ketua Mapala) dan Gie kemungkinan besar akan melantiknya dan diberi nomor anggota Mapala FS-UI kalau dirinya yang perilakunya dianggap pembangkang bisa perfrom lumayan.

Baca juga: 

Bang BD Telah Berpulang

“Ingat, elo kami plonco di hutan gunung supaya lebih dewasa dan tidak ngotot dan melawan senior-senior, ya,” kira-kira begitu kata Hok-Gie sebagaimana dikisahkan Badil dalam artikel
“Antar Hok-gie dan Idhan ke Atas”.

Gie menasehati Badil supaya mengurangi sedikit perilaku hura-hura. Beberapa senior Mapala Fakultas Sastra kurang begitu menyukai Badil. Saat itu dia tergabung dalam Ikatan Mahasiswa Djakarta yang kerap diplesetkan Ikatan Mahasiswa Dansa yang katanya borjuis.

Di sela-sela perjalanan, Gie pernah berujar, “Ingat Dil, elo harus punya kepribadian ya,” Wejangan Gie itu begitu membekas bagi Rudy Badil. Lelaki yang kemudian menjadi jurnalis itu tak menyangka jika pendakian itu menjadi kebersamaan terakhir mereka.

 

 

TAG

pendidikan hok gie plonco ospek

ARTIKEL TERKAIT

Soeharto Lulus SD dan Ki Hadjar Tak Pernah SMA Ibu Sud, Cak Roes, dan Sekolah Belanda Peran Lasminingrat dalam Pendidikan dan Penerjemahan Gejolak di Osvia Pendidikan Seks dalam Serat Nitimani Korupsi di Perguruan Tinggi Kisah Perancang Mode pada Zaman Jepang Setelah Pulang Sekolah Melengserkan Dekan yang Suka Perempuan Mahar Mardjono, Rektor UI yang Pandai Menjaga Keseimbangan