Masuk Daftar
My Getplus

Ibu Sud, Cak Roes, dan Sekolah Belanda

Beda cara seniman dengan politisi menentang sistem pendidikan zaman kolonial. Yang satu membalasnya dengan karya, satu lagi meluapkan dengan kejengkelan.

Oleh: Martin Sitompul | 16 Mei 2023
Siswa Sekolah Guru (Kweekschool) Fort de Kock di Bukittinggi, Sumatra Barat. (Foto: Tropen Museum).

Saridjah Niung gundah gulana. Sebagai guru HIS (Sekolah Belanda untuk Bumiputra setingkat SD) Jaga Monyet di Batavia, dia menyadari kesulitan anak didiknya dalam belajar bernyanyi. Bukannya mereka malas belajar, tapi kendala bahasa menyebabkan para murid sukar memaknai lagu anak berbahasa Belanda. Beberapa di antaranya yang terkenal berjudul  “Zakdoek Leggen dan “Kruip Door”. Pada zaman kolonial Belanda, lagu-lagu tersebut wajib diajarkan di HIS.

“Yang mengganggu saya adalah kenyataan bahwa lagu-lagu yang saya ajarkan semuanya lagu-lagu Belanda. Selalu lagu Belanda,” keluh Saridjah seperti dikisahkannya dalam bunga rampai Sumbangsihku Bagi Pertiwi (Jilid 1).

Sebagai anak negeri jajahan, sekolah resmi yang berdiri atas izin pemerintah Hindia Belanda harus mengikuti kurikulum pendidikan Belanda. Hal ini berimbas terhadap penggunaan bahasa Belanda sebagai pengantar. Begitupun dengan pengajaran pengetahuan umum yang bersumber mengenai negeri induk Belanda nun jauh di Eropa sana. Inilah yang mengganjal bagi Saridjah selama mengajar di berbagai HIS di Batavia sejak 1925-1941.

Advertising
Advertising

Baca juga: Balonku dan Rahasia Penciptaan Lagu Anak-anak

Menurut Saridjah, mustahil menghayati lagu-lagu Belanda tanpa kemampuan secara visual menggambarkan bagaimana keadaan alam di Eropa dan cara hidup bangsa Belanda. Terlebih lagi bagi anak-anak pribumi yang duduk di bangku sekolah dasar. Mereka tidak mengenal salju. Bunga tulip pun entah seperti apa rupanya. Padahal, di negeri sendiri tak kurang suburnya, pemandangan alam tak kurang indahnya,

“Alangkah akan baiknya jika anak-anak kita bernyanyi tentang keindahan tanah air sendiri,” ujar Saridjah. “Apakah selamanya kita harus menggunakan bahasa Belanda padahal kita punya bahasa sendiri.”

Berangkat dari kegelisahan itulah Saridjah mulai menciptakan lagu anak-anak dalam bahasa Indonesia. Pada 1928, lagu gubahan Saridjah untuk kali pertama mengudara di siaran anak radio pemerintah (VORO). Beberapa lagunya yang cukup populer adalah: “Lagu Gembira”, “Waktu Sekolah Usai”, dan “Adik Mulai Berjalan”. Saridjah atau yang kemudian lebih dikenal dengan nama Ibu Sud lantas menjadi salah satu penggerak lagu anak terpenting dalam belantika musik Indonesia. Senandung yang dia ciptakan sejak zaman kolonial Belanda turut membesarkan anak-anak Indonesia sampai beberapa generasi.

Baca juga: Asal-Usul Lagu "Halo-Halo Bandung"

Beda lagi cerita Roeslan Abdulgani, mantan menteri luar negeri (menjabat 1956-1957) dan menteri penerangan (1963--1964). Ketika berkunjung ke Belanda pada awal 1970, Roeslan diundang sebagai pembicara oleh salah satu radio Belanda. Cak Roes –panggilan akrabnya– berbincang dengan penyiar tentang masa mudanya bersekolah di zaman kolonial Belanda. Percakapan Roeslan itu direkam oleh H. Joezahar Sirie, pejabat Atase Penerangan RI di Den Haag.

Roeslan, seperti dituturkan ulang Joezahar dalam memoarnya Moralitas Informasi dalam Diplomasi, berkisah pengalamannya sewaktu ingin berangkat dari Amsterdam menuju Kota Zwolle di Friesland, sebelah utara Belanda. Di tengah perjalanan, Roeslan tiba-tiba meminta sopirnya yang berkebangsaan Belanda untuk berhenti di pinggir jalan. Tepatnya sebelum memasuki jembatan Moerdijk. Sang sopir segera memijak pedal rem dan mobil pun berhenti. Pertanyaan “hendak ke mana?” dari sopir tidak digubris oleh Roeslan. Sang sopir berpikir barangkali Roeslan hanya ingin melihat-lihat pemandangan dari atas jembatan.

“Saya turun dari mobil, langsung menuju tonggak pertama jembatan dan bergumam, ‘hah, inilah yang menjadi penyebab dulu sewaktu HBS (setingkat SMA) di Surabaya, saya jatuh dalam ujian karena lupa nama jembatan ini’,” celetuk Cak Roes.

Baca juga: Cak Roeslan, Yang Bertahan di Dua Zaman

Terdengar suara gemuruh dan tepuk tangan yang riuh tanda pendengar sangat menikmati banyolan Roeslan. Namun, celotehan itu juga mengandung satir betapa kolonialisme menguasai berbagai aspek kehidupan negeri jajahan, termasuk pendidikan. Joezahar, yang pernah bersekolah di HIS dan MULO (setingkat SD dan SMP) di Padang, juga mengakui hal yang sama.

Menurut Joehazar para siswa diharuskan menghafal di luar kepala ilmu bumi Belanda. Mulai dari nama-nama provinsi, kota-kota, sungai-sungai, bahkan jembatan-jembatan, istana-istana, dan gedung-gedung bersejarah Belanda. Sementara itu, pengetahuan yang berbasis muatan lokal sama sekali diabaikan.

“Tak jarang dalam perjalananku berkeliling di Belanda, aku temukan kembali yang tadinya disebut sungai, ternyata hanya kali-kali kecil untuk tidak disebut ‘selokan’,” ujarnya.

TAG

ibu sud pendidikan roeslan abdulgani

ARTIKEL TERKAIT

Soeharto Lulus SD dan Ki Hadjar Tak Pernah SMA Peran Lasminingrat dalam Pendidikan dan Penerjemahan Gejolak di Osvia Pendidikan Seks dalam Serat Nitimani Korupsi di Perguruan Tinggi Kisah Perancang Mode pada Zaman Jepang Setelah Pulang Sekolah Melengserkan Dekan yang Suka Perempuan Mahar Mardjono, Rektor UI yang Pandai Menjaga Keseimbangan Sekolah Masa Revolusi