Masuk Daftar
My Getplus

Soeharto Lulus SD dan Ki Hadjar Tak Pernah SMA

Sistem pendidikan di masa lalu berbeda dari sekarang. Tak semua orang bisa sekolah di masa lalu.

Oleh: Petrik Matanasi | 12 Jul 2023
Proses belajar mengajar di Taman Siswa Bandung. Inset: Ki Hajar Dewantara, pendiri Taman Siswa. (Tropenmuseum).

“Soeharto gak lulus SD. Megawati gak lulus kuliah. Ki Hadjar Dewantoro tidak kuliah, lulusan SMA, jadi Bapak Pendidikan Republik Indonesia,” kata influencer Pandji Pragiwaksono ketika memberi contoh orang-orang sukes di Indonesia. Ucapan Pandji dalam kanal Youtube Kemal Palevi itu lalu dikutip. Begitu juga potongan audionya, dijadikan video motivasi di Instagram. Meski maksudnya baik, sayangnya ada yang tidak pas dari apa yang dikatakan Pandji itu.

Di zaman Soeharto bocah, ada beberapa jenis sekolah dasar. Paling elite adalah Europeesche Lagere School (ELS), sekolah dasar tujuh tahun berbahasa Belanda untuk anak Eropa tapi menerima segelintir anak bangsawan tinggi bumiputra juga. Di bawah ELS ada Hollandsch-Inlandsche School (HIS) yang agak elite bagi golongan non-Eropa. Sekolah dasar tujuh tahun berbahasa Belanda ini untuk anak bumiputra. HIS muncul sejak 1914. Sekolah dengan lama pelajaran seperti HIS ini ada variannya. Untuk anak Tionghoa ada Hollands Chinesche School (HCS) dan anak-anak Jawa ada Hollandsche Javansche School (HJS).

Baca juga: Menengok Kisah Masa Kecil Sukarno dan Soeharto

Advertising
Advertising

Selain sekolah-sekolah dasar elite tadi, sejak lama sudah ada Volkschool (Sekolah Rakyat) yang lama belajarnya hanya tiga tahun. Ijazah Volkschool tak bisa disamakan dengan ijazah HIS. Jika ingin ijazahnya setara, seorang lulusan Volkschool harus bersekolah lagi di Schakelschool (sekolah sambungan), yang lama belajarnya 5 lima tahun. Setelah lulus Schakelschool, barulah ijazahnya sama seperti lulusan HIS. Ada juga lulusan sekolah dasar lima tahun, yang biasa dianggap Standard School, lalu belajar juga di Schakelschool.

“Setelah menamatkan sekolah rendah lima tahun, saya dimasukkan sekolah lanjutan rendah (Schakelschool) di Wonogiri,” aku Soeharto dalam biografinya, Soeharto: Pikiran Ucapan dan Tindakan Saya. Soeharto mengaku berhasil “menamatkan sekolah Schakel Muhammadiyah.”

Jadi, Soeharto sebenarnya adalah lulusan sekolah dasar juga. Ijazahnya bisa dipersamakan dengan HIS.

Baca juga: Teka-Teki Silsilah Presiden Soeharto

Bersekolah dan punya ijazah di zaman Hindia Belanda adalah sesuatu yang hanya dimiliki sedikit orang. “Sampai 1945, persentase rakyat Indonesia yang melek huruf barulah sekitar 10 persen,” catat Ahmad Syafii Maarif dalam Islam dan Politik.

Meski merasa hidupnya kurang beruntung, sejatinya Soeharto tergolong pemuda yang beruntung. Dia bahkan pernah bekerja di bank. Dengan ijazah Schakelschool tadi pula Soeharto diterima masuk tentara Koninklijk Nederlands-Indische Leger (KNIL) dengan pangkat sersan. Kala itu, jadi sersan bagi kebanyakan pribumi adalah pencapaian luar biasa. Jika tak lulus SD, Soeharto harus 10 tahun jadi serdadu rendahan dulu untuk bisa menjadi kopral.

Lalu, tentang Megawati. Ia hidup di zaman yang berbeda dari Soeharto dan ia tidak datang dari golongan keluarga yang macam Soeharto juga. Megawati pernah sekolah di SD dan SMP Perguruan Cikini, sebuah sekolah swasta terkenal buatan kaum nasionalis dan tempat anak-anak pembesar negara disekolahkan orangtua mereka. Di zaman Megawati belia, jumlah SMA bertambah. Setelah Megawati lulus SMA, kampus yang ada di Indonesia sudah ada beberapa universitas negeri yang bermunculan sejak era 1950-an dan makin menjamur di kota-kota penting di luar Jawa pada era 1960-an. Megawati juga mengalami berkuliah.

Baca juga: Mau Menikahi Megawati, Ini Syaratnya!

“Sempat kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Padjajaran, Bandung tahun 1965-1967. Tapi tidak tamat, karena gejolak politik yang melanda pada masa transisi dari pemerintahan Orla ke Orba. Sejak 1967, Megawati menemani Bung Karno yang kondisi kesehatannya sudah cukup memprihatinkan. Kemudian pada tahun 1970-1972, Mega kuliah di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, tapi juga tidak tamat,” catat Indra dalam Megawati Soekarnoputri: Saya Siap jadi Presiden. Jadi, Pandji benar jika Megawati tak lulus kuliah.

Selanjutnya, Ki Hadjar Dewantara (1889-1959). Masa bocah dan mudanya jauh sebelum Soeharto lahir, apalagi Mega. Raden Mas Soewardi Soerjaningrat alias Ki Hadjar Dewantara hidup di zaman sekolah menengah di Hindia Belanda amat berbeda dari saat ini. Ada SMP dan SMA yang digabung menjadi satu, dengan masa belajar 5 tahun, yakni Hoogere Burgerschool (HBS). Ada pula sekolah kedokteran yang menerima lulusan ELS atau sekolah dasar 7 tahun berbahasa Belanda, namanya School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) alias Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputra.

“Soewardi masuk ELS (sekolah rakyat Belanda), kemudian meneruskan pelajarannya ke STOVIA (Sekolah Dokter Jawa ) di Jakarta,"catat Pranata Ssp dalam Ki Hadjar Dewantara: Perintis Perdjuangan Kemerdekaan Indonesia.

Baca juga: Ki Hajar dan Sekolah Liar

Tak hanya Soewardi yang mengalami ini, dr. Soetomo pendiri Boedi Oetomo juga langsung ke STOVIA setelah lulus ELS. Soewardi sendiri tak lulus dari STOVIA lantaran aktif di pergerakan nasional hingga diasingkan. Di masa pembuangan di Belanda, dirinya mendapat Europeesche Akta (Akta Mengajar Eropa) dan kemudian mendirikan Taman Siswa.

Pada zaman Soetomo dan Soewardi, STOVIA yang lama belajarnya bisa 9 tahun itu ibarat SMK dan diploma tiga yang disatukan. Setelah STOVIA dibubarkan, ia digantikan Geneeskundige Hoogeschool (Sekolah Tinggi Kedokteran), juga di Jakarta. Sekolah tinggi ini hanya menerima lulusan HBS 5 tahun atau Algemene Middelbare School (AMS) alias SMA. SMA macam AMS ini belum ada di zaman Ki Hajar muda. Jadi Ki Hadjar tak pernah belajar di SMA, namun pernah “kuliah” di STOVIA.*

TAG

soeharto megawati soekarnoputri ki hajar dewantara pendidikan

ARTIKEL TERKAIT

Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Ledakan di Selatan Jakarta Supersemar Supersamar Sudharmono Bukan PKI Dianggap PKI, Marsudi Dibui Dulu Rice Estate Kini Food Estate Dari Petrus ke Kedung Ombo Soeharto Nomor Tiga, Mendagri Murka pada Lembaga Survei Soeharto Nomor Tiga, Lembaga Survei Ditutup Soeharto, Yasser Arafat, dan Dukungan untuk Palestina