SELALU menarik untuk melihat bagaimana pengalaman masa kecil seorang tokoh, terutama ketika dia kelak menjelma menjadi seorang pemimpin bangsanya. Pada otobiografinya masing-masing, Sukarno dan Soeharto, pernah merefleksikan masa kecilnya dan memaknainya sendiri-sendiri.
Sukarno dalam Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat Indonesia mengisahkan masa kecilnya yang lekat dengan ibunya, Ida Ayu Nyoman Rai. Sosok ibu begitu kuat mempengaruhi pembentukan sikap masa kanak-kanaknya.
“...Aku tidak punya apa-apa di dunia ini selain daripada ibu, aku melekat kepadanya karena ia adalah satu-satunya sumber pelepas kepuasan hatiku,” kenang Sukarno dalam otobiografinya.
Sebagai anak yang hidup di kota kecil seperti Blitar, hiburan satu-satunya baginya adalah dongeng sang ibu tentang kepahlawanan leluhurnya melawan penjajahan Belanda.
“Ibu selalu menceritakan kisah-kisah kepahlawanan. Kalau ibu sudah mulai bercerita, aku lalu duduk di dekat kakinya dan dengan haus meneguk kisah-kisah yang menarik tentang pejuang-pejuang kemerdekaan dalam keluarga kami,” kata Sukarno.
Ida Ayu Nyoman Rai ibu kandung Sukarno adalah perempuan asal Bali. Dia bertemu jodoh dengan seorang pria Jawa, Raden Soekemi Sosrodihardjo (versi lain menyebut namanya Soekeni), ketika Soekemi bertugas sebagai guru di Singaraja. Dari pernikahan mereka lahir dua anak: Sukarmini dan Sukarno.
Sebagai guru, Soekemi selalu menyempatkan diri untuk mendidik Sukarno di rumahnya. Menurut Sukarno, ayahnya adalah guru yang keras yang selalu mengajarinya membaca dan menulis tanpa kenal lelah walau berjam-jam lamanya. “Hayo, Karno, hafal ini di luar kepala: Ha-Na-Ca-Ra-Ka....hayo, Karno, hafal ini: A-B-C-D-E... dan terus menerus sampai kepalaku yang malang ini merasa sakit,” kenang Sukarno.
Tak kalah menariknya adalah cara Sukarno merefleksikan siapa dirinya: sebagai seorang anak bangsawan yang terpanggil untuk memimpin rakyatnya. “Ibuku, Idayu, asalnya dari keturunan bangsawan. Bapak asalnya dari keturunan Sultan Kediri...merupakan suatu kebetulan ataupun suatu takdir padaku bahwa aku dilahirkan dalam lingkungan kelas yang berkuasa...pengabdianku untuk kemerdekaan rakyatku bukan suatu keputusan yang tiba-tiba. Aku mewarisinya,” ujar Sukarno.
Sementara itu Soeharto punya cara berbeda dari Sukarno dalam merefleksikan masa kecilnya. Misalnya dalam soal status sosial keluarganya. Kendati Sukirah, ibu kandungnya, masih ada hubungan dengan keraton Yogyakarta, Soeharto enggan menyebut dirinya sebagai priayi, bahkan menganggap pangilan “den”, kependekan dari kata “raden”, sebagai sebuah penghinaan.
“Saya ingat terus kepada seseorang yang jelek rupanya, merongos dan mengece, mencemooh saya.... ia mengajak teman-teman lain agar mengece (mengejek, red.) saya dengan sebutan den bagus tahi mabul (tahi kering, red.)...mengapa saya anak orang melarat dipanggil-panggil Den,” kenang Soeharto dalam otobiografinya, Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya.
Kegembiraan masa kecil Soeharto, sebagaimana dituturkannya sendiri, terjadi ketika ayahnya datang menjenguk Soeharto dan menghadiahinya seekor kambing. “Bukan main senangnya,” kata dia.
Ayah Soeharto, Kertosudiro, bekerja sebagai ulu-ulu (petugas pengatur pengairan). Kertosudiro yang duda menikah dengan Sukirah, ibu kandung Soeharto. Namun tak lama setelah Soeharto lahir, pasangan tersebut bercerai. Soeharto diasuh oleh kakek dan neneknya. Pada usia empat tahun, Soeharto kecil kembali diasuh oleh ibunya, yang telah menikah lagi.
Sebagai anak dari keluarga yang bercerai, Soeharto hidup berpindah-pindah dari satu keluarga asuh, ke keluarga asuh lainnya. Setelah masa kecilnya diasuh oleh kakek-neneknya, kemudian kembali ke ibunya, Soeharto diambil oleh Kertosudiro dan dititipkan kepada adik perempuannya. Di rumah bibinya di Wuryantoro itu, Soeharto tinggal selama setahun dan kemudian kembali diasuh oleh ibu kandungnya di Kemusuk. Setelah setahun tinggal bersama ibunya, dia kembali ke Wuryantoro, di bawah asuhan keluarga bibinya.
Soeharto kerap memposisikan dirinya sebagai anak yang tersisihkan. Salah satu kisah yang dituturkan dalam otobiografinya adalah saat dia urung diberi baju buatan mbah buyutnya karena baju itu malah diberikan pada sepupunya. “Mas Darsono sebetulnya anak orang kaya, anak kakak ibu saya. Tetapi kok yang diberi surjan itu malah cucu mbah yang sudah mempunyai baju. Saya merasa nista. Saya nelangsa, sedih sekali,” kata Soeharto.
Pemimpin Umum jurnal Prisma Daniel Dhakidae tertarik utuk melihat perbedaan refleksi masa kecil dari kedua tokoh itu. Menurutnya, cara Sukarno merefleksikan masa kecil dan mencitrakan dirinya menjelaskan kadar kesadaran dia tentang peran apa yang harus dilakukan dalam hidupnya.
“Sukarno tidak pernah membicarakan soal harta dalam otobiografinya. Yang dia bicarakan hanya ide. Dia betul-betul punya kesadaran tentang takdirnya, apa yang harus dia perbuat untuk orang banyak,” kata Daniel.
Pada titik itulah terdapat perbedaan besar antara Sukarno dan Soeharto dalam memandang laku hidup yang kelak harus dipikulnya. Soeharto, kata Daniel, selalu mengenang masa kecilnya dengan sesuatu hal yang berhubungan dengan kepemilikan.
“Soeharto selalu bercerita kisah masa kecilnya tentang having, memiliki sesuatu. Tentang ayahnya mantri air punya tanah garapan (lungguh, red.), tentang berapa kambing yang dia punya. Sedangkan Sukarno tidak pernah ngomong harta. Benar-benar dia bicara tentang kesadaran memimpin, dia berasal dari rulling family (keluarga penguasa, red.) membawa bangsa ini kepada suatu cita-cita besar,” kata penulis buku Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru itu.
Sejarawan Asvi Warman Adam menggunakan pendekatan psikohistoris dalam menelaah refleksi masa kecil Sukarno dan Soeharto. Menurut peneliti senior Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu, kehidupan masa kecil mereka berdampak pada kehidupan mereka selanjutnya.
“Saya lihat Sukarno tidak mempunyai persoalan dengan masa kecilnya. Sementara Soeharto (masa kecilnya) tidak bahagia. Jadi saya kira aspek dia (Soeharto, red.) tidak memliki sesuatu pada masa kecilnya dan dia ingin memiliki sesuatu walaupun dengan alasan demi prajurit, walaupun berdampak juga pada dia,” ujar Asvi memberi contoh kasus penyelundupan gula semasa Soeharto jadi Panglima Kodam Diponegoro di Semarang.
Tidak mengherankan jika pada masa berkuasanya, Sukarno banyak melontarkan ide-ide besar kendati kerap dituduh menjalankan politik mercusuar. Sementara itu Soeharto lebih berkutat pada problem-problem keseharian rakyat, seperti pasokan pangan, walaupun atas nama itu pula dia ciptakan stabilitas yang kerapkali membungkam kebebasan.