KEMISKINAN adalah akar banyak masalah. Terlebih bila diperparah dengan gangguan dari luar macam Depresi Ekonomi Global sejak 1929. Orang-orang di berbagai pelosok dunia pun bisa merasakannya dampaknya meski tak sedikitpun paham apalagi terkait.
Kondisi itulah yang dialami Park Chung Hee dan keluarganya yang miskin di Korea. Akibatnya, masa kanak-kanaknya terganggu.
Sedari 1932-1937, Park Chung Hee bersekolah di Taegu Normal School, sebuah sekolah calon guru gratis dan bergengsi yang diimpikan banyak orangtua dan siswa. Namun dia sering dalam kondisi kurang makan hingga mengalami gangguan belajar hingga mempengaruhi prestasinya di sekolah.
Lapar membuatnya mendapat rangking buncit untuk urusan akademik. Namun meski buruk dalam pelajaran sebagai calon guru, dalam pelatihan semi militer Park berada rangking agak atas. Begitu lulus dari Taegu pada awal 1937, Park mendapat rangking buncit. Meski begitu, Park tetap bisa memulai karier sebagai guru.
“Pada Maret 1937, usia 20 tahun, Park mulai karirnya sebagai guru sekolah dasar di daerah desa pegunungan bernama Mungyong di Provinsi Kyongsang Utara,” catat Hyung-A Kim dalam Korea's Development Under Park Chung Hee.
Baca juga:
Park Chung Hee, Napoleon dari Korea Selatan
Profesi guru sebetulnya memperbaiki kondisi perekonomian Park. Dia mendapat gaji lumayan. Namun meski gajinya cukup untuk berbagi dengan keluarganya yang miskin, Park tak menikmati pekerjaan itu.
Park akhirnya mendaftar masuk Akademi Militer Manchukuo meski sudah telat dari segi usia, yakni sudah sekitar 22 tahun. Sejak umur 13 tahun, Park yang suka membaca cerita sejarah itu sudah menjadi pengagum Jenderal Napoleon Bonaparte. Maka akademi militer adalah “jalan pedang” yang mesti dilaluinya untuk bisa menjadi seperti orang yang diidolakannya. Dengan segala lika-likunya, dia akhirnya diterima Akademi Militer Manchukuo yang bagian dari militer Jepang.
“Dia mulai 1 April 1940 pendidikan militernya di akademi, pendidikan persiapan pertamanya yang penting bagi karir militernya,” catat Walter Jung dalam Gen. Park Chung-Hee and South Korea’s Han River Miracle.
Baca juga:
Tak seperti di sekolah guru yang pernah dilaluinya, di akademi militer Jepang itu Park bukanlah taruna dengan rangking buncit. Dia amat menikmati pendidikan ini.
“Kadet Park Chung Hee fokus pada studinya dengan tekun; dia melengkapi dua tahun program sebagai yang pertama di kelasnya dari 480 siswa,” tulis Jung.
Pada 1942, Park berhak meneruskan pelajaran tahun-tahun terakhirnya di Akademi Militer Jepang. Kesempatan itu tak disia-siakannya hingga pada 1944 Park lulus dan menjadi letnan pada Divisi Infanteri ke-8 di Manchuria.
Namun, kalahnya Jepang dalam Perang Pasifik pada 1945 membuat karier Park mentok. Itu berlangsung hingga perpolitikan negerinya berubah, di mana Korea merdeka lalu pecah jadi dua. Park lalu bergabung dengan militer Korea Selatan (Korsel). Pada 1946, dia diterima di kelas kedua Sekolah Kadet Pertahanan di Chosun, yang belakangan menjadi akademi militer. Dalam tiga bulan pelatihan, dia nomor tiga terbaik di antara 194 siswa. Artinya, dia merasakan tiga akademi militer berbeda semasa hidupnya. Sesuatu yang tak dialami banyak jenderal berpengaruh di dunia ini.
Baca juga:
Pada Desember 1946, Park dilantik menjadi kapten dan ditugaskan ke Resimen ke-8 di Chunchon. Namun, kariernya kembali terhambat memasuki tahun 1948 akibat dia dituduh sebagai komunis. Tuduhan itu bukan tidak berdasar. Semasa muda, Park memang dekat dengan gerakan komunis Korea. Namun, konteks saat itu adalah gerakan komunis sebelum Perang Dunia II umumnya gerakan melawan imperalis dan Korea pada masa itu berada di bawah kuasa pemerintah pendudukan Jepang.
“Pada 11 Noveber 1948, Park ditangkap di Seoul oleh tim investigasi militer atas tuduhan terlibat dalam kegiatan komunis di ketentaraan, termasuk keterlibatan dalam pemberontakan militer Yosu-Sunchon pada tanggal 19 Oktober 1948,” catat Hyung-A Kim dalam Korea's Development Under Park Chung Hee.
Kendati mendapat hukuman, Park tidak termasuk orang yang harus dihukum mati. Alhasil dia menjalani hari-hari sebagai serdadu dengan asa yang tak pasti.
Perang Korea yang pecah pada 1950-1953 menyelamatkan karier Park. Dia diaktifkan lagi. Setelah perang, kariernya justru makin bersinar. Belum 40 tahun usianya ketika Park mendapatkan pangkat brigadir jenderal. Setelah itu dia makin cemerlang hingga termasuk jenderal berpengaruh di Korsel pada 1960.
Sebagai militer, Park aktif dalam perpolitikan hingga dia bisa menjadi orang nomor satu di Korsel hingga kematiannya pada Oktober 1979. Park Chung Hee dikenal sebagai sosok diktator Korea Selatan.*