PANGERAN Diponegoro menjadi protagonis utama dalam Perang Jawa (1825-1830). Perang yang merepotkan dan menguras kas Belanda itu memiliki kompleksitas tersendiri karena menurut sejarawan Peter Carey dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785-1855, Pangeran Diponegoro menganggap dirinya tidak hanya seorang raja untuk masa tertentu tapi juga pemimpin rohani bagi raja-raja Jawa yang mempunyai banyak persamaan dengan peran para wali sejak abad ke-15.
“Sesungguhnya, teladan wali, khusus teladan Sunan Kudus, Demak, dan Giri, sering diperdebatkan Diponegoro dan para penasihatnya ketika mereka berusaha mencapai mufakat selama perang mengenai tujuan-tujuan politik dan agamis. Selain itu, mimpinya tepat menjelang pecahnya Perang Jawa yang Diponegoro gambarkan berupa pertemuannya dengan delapan wali pemangku jabatan duniawi maupun rohani, mengukuhkan anggapan bahwa dirinya ditakdirkan memerintah sebagai seorang wali terakhir atau raja-imam buat Jawa,” tulis Carey.
Walhasil, segala warisannya lekat dengan sebutan pusaka. Sebab, beraneka warisannya itu hampir semua memiliki cerita mendalam di baliknya. Pusaka-pusaka itu jadi saksi bisu pergulatan Pangeran Diponegoro ketika memerangi Belanda hingga penangkapannya usai dijebak pada 28 Maret 1830, tepat ketika Pangeran Diponegoro genap berusia 44 tahun.
Sejumlah pusaka itu turut dirampas dan dijadikan “trofi” kemenangan ketika diangkut ke negeri Belanda. Tetapi setelah dua dekade Indonesia berdiri, satu per satu pusaka itu bisa dipulangkan ke tempat asal bersamaan dengan beberapa benda bersejarah Nusantara lain.
“Komite (tim ahli) tahun 1975 yang diketuai (Dirjen Kebudayaan RI) Prof. Ida Bagus Mantra bisa mengembalikan (arca) Prajnaparamita, mahkota Lombok, dan benda-benda Pangeran Diponegoro,” ujar Duta Besar RI untuk Belanda periode 2015-2020 I Gusti Agung Wesaka Puja kepada Historia.ID.
Baca juga: Wajah Baru Museum Nasional Indonesia dan Pameran Repatriasi
Aneka Pusaka Pangeran Diponegoro
Pelana berukuran 80x68 cm bermaterial kulit dan dudukan pelananya berbahan kain dan dilengkapi pijakan besi untuk bagian kaki itu tampak mencolok karena terletak di tengah sebuah kabinet kaca. Benda bernama Pelana Kuda Kiai Gentayu itu masih baik kondisinya.
Di kanan-kirinya, ia “dikawal” sebuah tongkat, tombak, keris, dan sebuah payung. Kelimanya merupakan pusaka peninggalan Pangeran Diponegoro yang ditampilkan dalam “Pameran Repatriasi: Kembalinya Warisan Budaya dan Pengetahuan Nusantara” (Pameran Repatriasi 2024) yang dihelat di Museum Nasional Indonesia, Jakarta, 15 Oktober-30 Desember 2024. Pameran yang memamerkan benda-benda hasil repatriasi dari masa awal kemerdekaan hingga tahun ini tersebut meliputi koleksi pusaka Pangeran Diponegoro, koleksi eks-Museum Nusantara Delft, koleksi benda seni Pita Maha, koleksi Ekspedisi Lombok, dan koleksi arca Singhasari.
Ini kali ketiga koleksi pusaka Pangeran Diponegoro ditampilkan dalam sebuah pameran repatriasi. Pertama, ditampilkan di sebuah pameran pada 1978 – walau koleksinya belum selengkap sekarang. Kedua, di “Pameran Repatriasi: Kembalinya Saksi Bisu Peradaban Nusantara” di Galeri Nasional, Jakarta, 28 November-10 Desember 2023.
Pelana Kuda Kiai Gentayu, Tombak Kiai Rondhan, dan sebuah payung kehormatan adalah tiga pusaka Pangeran Diponegoro pertama yang kembali ke tanah air pada 1970-an. Menyusul kemudian berturut-turut Tongkat Kiai Cokro dan Keris Kiai Nogo Siluman pada dekade kedua abad ke-21.
Baca juga: Keris Diponegoro Dikembalikan Belanda, Ini Kata Peter Carey
Pelana kuda itu jadi kelengkapan Pangeran Diponegoro saat menunggangi kuda yang dinamai Kiai Gentayu semasa Perang Jawa. Salah satu kuda kesayangannya itu bewarna hitam dengan warna putih pada ujung keempat kakinya.
Sementara, Tombak Kiai Rondhan yang berukuran sekitar 54 cm berbahan kayu silinder dengan leher tombaknya berhias ukiran emas dan batu mulia, merupakan salah satu senjata keramat yang menurut Carey dipercaya sebagai penolak bala. Kedua pusaka ini terpaksa ditinggalkan Pangeran Diponegoro ketika mengelak dari kejaran pasukan Mayor A.V. Michiels di Pegunungan Gowong pada 11 November 1829.
“Sang Pangeran terpaksa terjun ke jurang dan bersembunyi di balik rumput gelagah tinggi untuk bisa lolos dari pasukan Belanda. Dengan meninggalkan beberapa ekor kuda miliknya dan tombak pusaka,” sambung Carey.
Pelana kuda dan tombak itu kemudian dirampas dan diangkut ke Belanda pasca-penangkapan Pangeran Diponegoro, sebagai hadiah kemenangan untuk Raja Willem I, lalu menjadi koleksi Koninklijke Kabinet van Zeldhaamheden (KKVZ) atau Koleksi Langka Kerajaan sejak 1831. Menyusul pembubaran KKVZ pada 1883, keduanya dipindahkan dan disimpan di Museum Veteran Tentara Belanda di Bronbeek, Arnhem.
Pada 1975, kedua pusaka itu dimasukkan daftar repatriasi oleh Ida Bagus Mantra berdasarkan kesepakatan “Cultural Accord” antara pemerintah Indonesia dan Belanda pada 1969. Pada medio 1976, keduanya tiba di tanah air lalu disimpan dengan baik di Museum Pusat (kini Museum Nasional Indonesia), Jakarta.
Adapun payung kebesaran Pangeran Diponegoro berbahan bambu, kayu, kertas, dan prada emas berukuran panjang 218 cm disebutkan baru dirampas hampir bersamaan ketika Pangeran Diponegoro ditangkap pada 1830 dan ikut diangkut ke Belanda setelahnya. Payung yang dibuat pada 1825 ketika Pangeran Diponegoro diangkat sebagai Sultan Erucokro (Ratu Adil) itu menyusul dipulangkan ke Indonesia pada 1978, tepat sebelum digelarnya pameran dalam rangka memperingati dua abad Museum Pusat, April 1978.
“Pokok pameran adalah benda-benda budaya yang baru-baru ini dikembalikan oleh Pemerintah Belanda dalam rangka kerja sama Kebudayaan dengan Pemerintah Indonesia. Sebagian besar benda tersebut terdiri dari benda-benda berharga dan alat upacara dari Lombok. Selain itu juga tiga buah benda yang pernah digunakan oleh Pangeran Diponegoro, yaitu sebuah payung kehormatan, sebilah tombak, dan sebuah pelana kuda,” tulis Direktur Museum Pusat M. Amir Sutaarga dalam kata pengantar Katalog: Pameran Peringatan Ulang Tahun Ke 200 Museum Pusat.
Baca juga: Repatriasi "Mulus" Usai Normalisasi
Berbeda cerita dengan dua koleksi lainnya. Tongkat Kiai Cokro baru kembali ke tanah air pada 2015. Sedangkan Keris Kiai Nogo Siluman dipulangkan pada 2020.
Tongkat Kiai Cokro mulanya bukan milik Pangeran Diponegoro. Tongkat sepanjang 1,4 meter bergagang besi serta ukiran berbentuk cakra setengah lingkaran di pucuknya itu awalnya adalah tongkat milik salah satu penguasa Kesultanan Demak di abad ke-16.
“Tongkat besi ini bergaya Jawa yang disebut Cakra (Cokro). Dinamai demikian karena punya makna yang berarti matahari,” sebut Residen Yogyakarta Frans Gerardus Valck dalam sebuah nota arsip tertanggal 4 Desember 1834.
Hal tersebut diamini Carey. Tongkat itu baru sampai ke tangan Pangeran Diponegoro pada 1815 setelah terjadi gejolak di Demak hingga tongkatnya jatuh ke tangan rakyat jelata yang kemudian mempersembahkannya untuk Diponegoro. Tongkat itu lantas acap menemani Pangeran Diponegoro setiap kali berziarah ke berbagai situs keramat.
“Ia (Diponegoro) memulai perjalanan ziarah tujuh puluh kilometer ke berbagai gua dan tempat keramat di selatan Yogya. Dalam perjalalan tirakat ketika menyepi ke Gua Secang (Selarong), ia berjalan membawa tongkat ziarah khusus yang diberikan kepadanya sekitar 1815 yang konon dibuat pada abad keenam belas untuk seorang raja Demak,” jelas Carey.
Ketika Pangeran Diponegoro tertangkap pada 28 Maret 1830, Tongkat Kiai Cokro “diselamatkan” salah satu pengikutnya, Raden Mas Papak alias Raden Tumenggung Mangkudirjo. Tongkat itu lalu dipersembahkan Mangkudirjo kepada Gubernur Jenderal J.C. Baud seiring kunjungannya ke Yogya pada Juli 1834.
Begitu Baud pulang ke Belanda pada 1836, Tongkat Kiai Cokro turut diangkutnya dan selama 170 tahun disimpan sebagai koleksi keluarganya turun-temurun. Setelah Rijksmuseum memediasi kepulangannya pada 2014, ahli waris Baud menyerahkannya kepada Mendikbud Anies Baswedan mewakili pemerintah Indonesia pada 5 Februari 2015.
Baca juga: Riwayat Keris Bertuah Milik Diponegoro
Last but not least, Keris Kiai Nogo Siluman. Keris pusaka berbahan dasar besi hitam ini memiliki luk (lekuk) 13 dan ukiran kepala naga emas di bagian bawah gagangnya. Menurut Carey, Keris Kiai Nogo Siluman didapat Pangeran Diponegoro pasca-bersemedi di Gua Siluman di Pantai Selatan medio 1805.
“Keris Kiai Nogo Siluman itu mempunyai isi makna tentang hubungan antara manusia dan dunia gaib. Keris itu sering dilempar ke laut kidul hingga kemudian tersembur semacam pintu terbuka di atas dunia para dewa-dewi. Diponegoro sangat hafal itu dan Ratu Kidul pernah datang untuk menawarkan bantuan pasukan gaib untuk mengusir Belanda. Tapi Diponegoro bilang, ia tidak membutuhkan pertolongan dunia gaib untuk urusan duniawi,” tambah Carey, yang meragukan Kiai Nogo Siluman adalah keris pusaka paling utama bagi Diponegoro, lebih-lebih digunakan untuk berperang.
Terlepas dari itu, keris tersebut jadi pusaka rampasan ketika Pangeran Diponegoro tertangkap. Keris itu lantas dibawa ke Belanda oleh negosiator Belanda, Kolonel Jan-Baptist Cleerens, sebagai “trofi” kepada Raja Willem I, lalu masuk dalam koleksi langka kerajaan di Koninklijke Kabinet van Zeldzaamheden (KKZ) pada 1831.
Pada 3 Maret 2020, Keris Kiai Nogo Siluman resmi dikembalikan dan diterima Puja selaku duta besar. Setelah tiba di tanah air, dilakukan penyerahan simbolis Raja Willem Alexander kepada Presiden RI Joko Widodo dalam agenda kunjungan sang raja ke Indonesia pada 10 Maret 2020.
Baca juga: Klewang Pangeran Diponegoro di Gudang Museum Belanda