PADANG menjadi kota penting bagi bekas kombatan Diponegoro dari Barisan Sentot Alibasa setelah Perang Jawa berakhir. Usai “menyeberang” ke pihak Belanda, di antara mereka ada yang hidup dengan tunjangan cukup besar. Sekira 40-an dari mereka bahkan mendapat jatah tanah ladang untuk melanjutkan hidup di sana dan Beberapa di antaranya mendapat pasangan hidup perempuan Minangkabau.
“Yang cukup menarik dipandang adalah besarnya pensiun yang diberikan Pemerintah Belanda kepada para kiai bekas barisan Sentot. Yang tertinggi adalah Haji Nisa, menetap di Padang, menerima pensiun tidak kurang dari 224 gulden sebulan. Mungkin karena dia juga dianggap mengepalai semua orang asal suku Jawa di sana,” tulis Rusli Amran dalam Cerita-cerita Lama dalam Lembaran Sejarah.
Tunjangan lebih 200 gulden yang diterima Haji Nisa tentu amat besar. Sebab, pada 1940 saja harga emas masih sekitar 2 gulden per gram.
Namun, tak banyak catatan tentang Haji Nisa. Sebab, sumber-sumber Belanda tak mengeja namanya sebagai Haji Nisa, melainkan Hadjie Nissoeh atau Hadji Nisoeh.
Hadji Nisoeh, disebut Eduard Servaas de Klerck dalam De Java Oorlog van 1825-1830, adalah orang kepercayaan Alibasah Sentot Prawirodirdjo (1808-1855). Besar kemungkinan Hadji Nisoeh dalam Perang Jawa ini adalah Haji Nisa yang di Padang.
Ketika pertempuran antara laskar Diponegoro dengan tentara Belanda agak mereka pada bulan puasa Maret 1829, Hadji Nisoeh dipercaya Sentot untuk bertemu petinggi Belanda. Tujuannya untuk berunding. Sentot dan pasukannya tak ingin bertempur selama puasa. Baru sekitar April setelah puasa mereka siap untuk berunding atau bertempur lagi.
“Hadjie NISSOEH menyatakan keinginannya untuk datang dan berbicara kepada saya. Hari ini atau besok dia akan berada di perusahaan Kapten Roeps,” kenang Letnan Gubernur Jenderal Mercus de Kock, dalam buku Gedenkschrift van den oorlog op Java van 1825 tot 1830.
De Kock menyebut Hadjie Nisoeh bersama seorang Pandjie (sersan pasukan Jawa) bertemu Mayor Bauer untuk mengambil surat dari Kyai Modjo. Dari sanalah Hadji Nisoeh sebagai utusan Sentot akhirnya dikenal oleh pihak Belanda.
Pada 17 Oktober 1829, Kolonel Cochius selaku perwakilan Belanda menyambutnya ke Imogiri, Bantul untuk berunding. Sentot biasa berada di selatan Bantul dan Kulonprogo.
“Awal November 1829 dia sudah pindah ke Bantulan sementara itu orang yang mengelilinginya terdiri dari Pangeran Soemo Negoro dan Ngabdoel Samson. Hadji Nisoeh yang kami kenal dari perundingan terakhir,” catat AWP Weitzel dalam artikel “Gedenkwaardige tafereelen uit den oorlog op Java , van 1825 tot 1830” di majalah Militaire Spectator edisi Juli 1853.
Selain Hadji Nisooeh, Sentot didampingi 41 Tumenggung (setara letnan dua), 84 Panji (sersan), 268 Ngabehi (kopral), dan 600 prajurit dalam perundingan itu. Mereka membawa senjata api dan tombak.
Usai perundingan, di antara anggota pasukan itu kemudian ada yang pulang ke kampung masing-masing. Mereka yang tidak pulang kemudian dijadikan satu barisan tentara dengan Sentot pemimpinnya, dinamakan Barisan Alie Bassa Prawiero Dirdjo.
Barisan itu, sebut Weitzel, dimaksudkan untuk melawan. Namun ternyata tidak lagi diperlukan karena pada Maret 1830 ada gencatan senjata yang diharapkan Diponegoro akan berlanjut dengan perundingan damai yang menguntungkan, sebagaimana yang didapatkan Sentot sebelum menyerah. Apa yang terjadi kemudian adalah Diponegoro ditangkap. Setelahnya, Barisan Alie Bassa dibawa ke Batavia dan sempat bertempur di Karawang-Purwakarta sebelum dikirim ke Sumatra Barat. Hadji Noesah alias Haji Nisa ikut bersama mereka.