Bom Bakar Amerika Menjadikan Tokyo seperti Neraka

Pemboman Tokyo jadi pemboman konvensional terburuk di Perang Dunia II. Sudah 80 tahun para penyintas dan keluarga mereka terpinggirkan. 

Oleh: Randy Wirayudha | 12 Mar 2025
Bom Bakar Amerika Menjadikan Tokyo seperti Neraka
Kehancuran sebuah distrik padat penduduk usai Pemboman Tokyo (Repro: The Great Tokyo Air Raid Assault Photo Book/nationalww2museum.org)

SHIZUKO Nishio belum lama terlelap tengah malam 9 Maret 1945 itu. Gadis berusia 6 tahun itu antusias untuk sekolah keesokannya karena berbarengan dengan hari ulang tahunnya. Namun tetapi ketika tanggal baru berganti beberapa menit, Nishio dibangunkan suara sirine peringatan serangan udara. 

“Ayah menyuruh kami untuk segera pergi ke gedung sekolah dasar di depan rumah,” kenang Nishio yang kini menginjak usia 86 tahun, dilansir The Guardian, Senin (10/2/2025). 

Nahas, ruang perlindungan di sekolah yang dimaksud sudah penuh. Sementara sang ayah dan sepupunya masih bisa menyelipkan diri di kerumunan itu, Nishio dan ibunya terpaksa mencari tempat berlindung lain, sebuah ruang bawah tanah di gedung sekolah lain di kawasan permukiman padat penduduk, Distrik Shitamatchi, Tokyo. 

Advertising
Advertising

Waktu sudah sekira pukul 00.08 tanggal 10 Maret 1945 ketika deru mesin-mesin pesawat pembom berat Boeing B-29 Superfortress terbang rendah dan menjatuhkan lebih dari 200 bom bakar dan napalm. Tak satupun bangunan berbahan kayu dan kertas di permukiman seluas 41 kilometer persegi itu selamat dari lumatan api yang diperkuat kobarannya oleh hembusan angin kencang pada dini hari itu. 

Berjam-jam Nishio bertahan di ruang bawah tanah. Ketika kemudian keluar, ia melihat tempat perlindungan di gedung sekolah sebelumnya sudah jadi abu. Sekitar 200 orang di dalamnya turut hangus terbakar, termasuk sepupunya dan sekitar 100 orang di tempat lain dengan nasib serupa. Belum lagi, dari 20 teman sekelasnya di taman kanak-kanak, hanya Nishio yang selamat. Momen pedih buat Nishio di hari ulang tahunnya.

“Masih banyak (penyintas dan keluarga) yang mengalami trauma berat sampai sekarang. Beberapa dari mereka bahkan tak bisa membicarakan apa yang mereka alami, jadi kami berusaha mendorong mereka untuk setidaknya menggambar tentang ingatan mereka untuk bisa sedikit membuka diri,” tutur sejarawan Universitas Senshu Prof. Yoshiaki Tanaka di laman yang sama. 

Baca juga: Kakek Buyut Ole Romeny Korban Perang Pasifik

Jasad korban tewas yang menghitam berserakan pasca-Pemboman Tokyo (Repro: Tokyo Air Raids Secret Photo Collection)

Terpinggirkan Memori Hiroshima dan Nagasaki 

Sejak serangan udara Doolittle pada April 1942 untuk membalas serangan Pearl Harbor (7 Desember 1941), Tokyo beberapa terus jadi sasaran pemboman Amerika Serikat hingga fase-fase akhir Perang Dunia di front Pasifik. Itu bisa terjadi ketika Amerika sudah bisa merebut beberapa pulau strategis di Pasifik. 

“Serangan-serangan udara ini luar biasa karena sejak 1944 menyasar ke target-target militer tapi mulai musim semi 1945 beralih untuk menghancurkan struktur ekonomi dan sosial Jepang. Sebelumnya serangan ke Jepang dianggap kurang efektif tapi pada akhir 1944 datang panglima yang tangguh, bahkan kejam yang diperlukan, Mayor Jenderal Curtis LeMay, di mana ia datang saat di Amerika sendiri terjadi perdebatan soal pemboman ke permukiman sipil,” tulis Edwin P. Hoyt dalam Inferno: The Firebombing of Japan, March 9-August 15, 1945. 

Maka pemboman Tokyo pada 10 Maret 1945 jadi satu pemboman konvensional terburuk sepanjang PD II. Dalam satu serangan destruktif itu saja, korban jiwa yang ditimbulkan lebih besar ketimbang Pemboman Dresden (13 Februari 1945) atau bahkan jika dibandingkan dengan korban bom atom kota Nagasaki (9 Agustus 1945). Serangan itu jadi satu dari beberapa peristiwa kejahatan perang Amerika Serikat terhadap warga sipil yang tak pernah mendatangkan keadilan pada korban-korbannya. Serangannya dilancarkan lebih dari 200 pesawat pembom B-29 dari tiga wing pembom di bawah naungan Komando Pembom ke-21 USAAF (Kesatuan Udara Angkatan Darat Amerika) pimpinan Mayjen Curtis LeMay yang berbasis di Kepulauan Marianas. 

Baca juga: Setelah Kasel Amerika Menghabisi Ratusan Pelajar Jepang

Serangan itu dilancarkan lewat “Operasi Meetinghouse” atas titah Jenderal LeMay pada 8 Maret 1945. Targetnya ditandai dengan kode “Zone I”, sebuah area persegi di Distrik Shitamachi yang meliputi Sungai Sumida, serta kawasan Asakusa, Honjo, dan Fukugawa. Kawasan yang saat itu dipadati 1,1 juta penduduk kelas pekerja dan para seniman. 

Tetapi Amerika juga melihatnya sebuah kawasan yang terdapat pabrik-pabrik kecil dan fasilitas militer untuk keperluan industri perang tersembunyi di antara padatnya pemukiman. Kawasan itu juga turut dilindungi 638 meriam pertahanan udara dari Divisi ke-1 Anti Udara Angkatan Darat (AD) Jepang yang berbasis di Sektor Pertahanan Udara Distrik Timur Kanto, serta sisa-sisa 90 pesawat tempur Divisi Udara ke-10 yang pangkalannya ada di Honshu. 

Agar lebih efektif, Jenderal LeMay memerintahkan pesawat-pesawatnya terbang rendah dan menjatuhkan bom-bom cluster bakar khusus M69 dan M47. Tak ketinggalan beberapa jenis bom bakar dan napalm lainnya yang dipersiapkan untuk dibawa 346 pesawat pembom B-29 dari tiga satuan di bawah Komando Pembom ke-21: Wing Pembom ke-73 (169 pesawat), Wing Pembom ke-313 (121 pesawat), serta Wing Pembom ke-314 (56 pesawat). Untuk pelaksanaan operasi, Jenderal LeMay mempercayakannya pada Komandan Wing Pembom ke-314, Brigjen Thomas Sarsfield Power. 

“Dengan membakar mereka, Anda bisa membunuh para pekerja dan membuat mereka jadi tunawisma. Anda akan menghancurkan pabrik-pabrik kecil yang tersebar di sekitar zona-zona pemukiman domestik. Dan ini akan mendorong kemerosotan ekonomi perang Jepang. Walaupun tidak dimungkiri penduduk sipil sengaja ikut dijadikan target,” ungkap Richard Overy dalam Rain of Ruin: Tokyo, Hiroshima and the Surrender of Japan. 

Brigjen Thomas Sarsfield Power (kiri) & Mayjen Curtis Emerson LeMay (kedua dari kiri) (Air Force Association)

Dari 346 pesawat B-29 yang lepas landas dari sejumlah pangkalan di Kepulauan Marianas pada 9 Maret petang, sekitar 279 yang kemudian diperintahkan memilih target-targetnya, sementara sisanya jadi kekuatan cadangan di udara. Rombongan B-29 itu kemudian akhirnya tiba di langit Tokyo pada 10 Maret sekira pukul 00.08 dini hari. 

Selama dua jam ratusan B-29 itu menjatuhkan bom-bom bakar pada target-target menurut di petanya. Memicu ratusan meriam anti-udara menyalak ke langit gelap. Hampir semua alutsista pesawat milik Divisi ke-10 juga coba diterbangkan untuk memberi perlawanan hingga menumbangkan 14 pesawat B-29 dan 42 lainnya mendarat darurat di laut serta mencatatkan 96 krunya tewas atau hilang. 

“Misi ini menunjukkan bahwa para kru Anda bernyali untuk misi apapun,” tulis isi telegram Panglima USAAF Jenderal Henry Harley Arnold yang memberi ucapan selamat kepada LeMay, dikutip Francis Pike dalam Hirohito’s War: The Pacific War, 1941-1945. 

Baca juga: Yang Tertinggal di Hiroshima

Namun kerugian Amerika itu tak seberapa jika dibandingkan dengan penderitaan penduduk sipil Tokyo. Sekitar 125 petugas pemadam kebakaran dan 500 garda sipil kewahan melawan kobaran api yang kian membesar akibat angin kencang. Hampir semua bangunan di kawasan itu hangus dilalap api dengan suhu mencapai 980 derajat celcius, membakar siapapun dan apapun di dalamnya. Bahkan mereka yang berusaha berlindung di sungai atau kanal juga ikut tewas ibarat direbus hidup-hidup. 

“Menurut beberapa saksi mata (penyintas), di Sungai Sumida sesak dengan jasad-jasad yang menghitam seperti arang dan mengapung. Sekitar 80 persen dari kawasan seluas 10 mil persegi rata dengan tanah. Bahkan kesuksesan ‘Operasi Meetinghouse’ membuat Komando Pembom ke-21 melanjutkan serangannya selama 10 hari ke Nagoya, Osaka, dan Kobe, dan mereka baru puas dan berhenti ketika stok bom bakarnya habis,” tulis Alexander B. Downes dalam Targeting Civilians in War. 

Sejumlah pesawat pembom berat Boeing B-29 "Superfortress" menjatuhkan bom-bomnya dari langit Tokyo (Repro: Mission to Tokyo)

Horor itu menimbulkan kerusakan lebih dari 267 ribu bangunan. Korban jiwanya pun berkisar 90-100 orang, baik yang hangus di tempat maupun mereka yang mengalami luka bakar hebat dan tak tertolong nyawanya. Sekitar sejuta orang kehilangan tempat tinggal. Akan tetapi kengerian Pemboman Tokyo yang menjadikan kota itu bak neraka seolah terpinggirkan pasca-dijatuhkannya bom atom di Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan Nagasaki pada 9 Agustus 1945. 

Jangankan permintaan maaf dari Amerika, pengakuan dan kompensasi pun tak pernah didapat para penyintas dan keluarga mereka hingga kini dari pemerintah Jepang. Jika pemerintah Jepang mengalokasikan dana hingga 60 triliun yen untuk membantu para veteran hingga korban bom atom Hiroshima dan Nagasaki, tak sepeser pun penyintas dan keluarga korban Pemboman Tokyo mendapatkan keadilan dan kompensasi. Pada 2020 sejumlah anggota parlemen yang bersimpati mencoba untuk mengajukan proposal kompensasi senilai 500 ribu yen tapi akhirnya tetap ditolak mayoritas di parlemen. 

“Tahun ini akan jadi kesempatan terakhir kami (menuntut). Memang benar kita harus menghormati para korban dan penyintas bom atom namun kita juga semestinya mengingat pemboman api Tokyo dan menatap masa depan agar bagaimana hal serupa tak harus terjadi lagi,” tukas Prof. Tanaka. 

Baca juga: Heroisme di Tengah Kehancuran dalam Godzilla Minus One

TAG

jepang perang pasifik perang-pasifik amerika-serikat amerika serikat

ARTIKEL TERKAIT

Memasak Sejarah Penanak Nasi Obati Paru-paru ke Kampung Belanda Lagi, Ribuan Arsip JFK Dirilis ke Publik Patung Liberty Simbol Kebebasan dan Demokrasi Pembantaian di Atas Awan Teror Pesawat Zero di Pesisir Australia Jasa Zus Ratulangi Harta, Wanita, dan Kapten Nakamura Kakek Buyut Ole Romeny Korban Perang Pasifik Masa Belia Sang Pujangga