PAGI 3 Maret 1942 itu, rasa lelah pilot Kapten Ivan Smirnoff (beberapa sumber menuliskan “Smirnov”) berganti lega ketika pesawat Douglas DC-3-nya sudah mencapai ruang udara Broome di Australia Barat. Penerbangan sembilan jam pesawat milik maskapai KLM bernomor registrasi PK-AFV itu dari Bandung sarat bahaya. Empat kru dan delapan penumpang yang dibawa pesawat itu –plus sebuah berlian milik perusahaan perhiasan NV De Concurrent di Bandung– pun senang.
Namun, ketika Smirnoff tengah bersiap mendaratkan pesawatnya di Bandara Broome sekira pukul 10 pagi itu, dari balik awan tetiba datang rentetan tembakan dari tiga pesawat tempur Mitsubishi A6M “Zero”. Kapten Smirnoff, veteran infantri dan pilot tempur Rusia di Perang Dunia I, pun tak bisa mengelak karena tembakannya datang dari posisi di atasnya. Mesin bagian kanan langsung terbakar. Smirnoff sendiri tertembak lengan dan pinggulnya meskipun dengan usaha ekstra keras dia mampu mendaratkan darurat pesawatnya di sebuah pantai.
“Tetapi pesawat-pesawat Zero itu masih sempat menembaki DC-3 di bibir pantai ketika para penyintasnya sedang berusaha keluar dari pesawat yang akhirnya menewaskan empat orang,” tulis Nicholas Millman dalam A6M Zero-sen Aces 1940-42.
Itu memang hari sial para penumpang pesawat DC-3 KLM tersebut. Tiga pesawat Zero yang menembakinya sebetulnya tak sengaja memergokinya. Zero-Zero tadi sedianya sedang dalam perjalanan kembali ke basisnya di Pangkalan Udara (Lanud) Penfui, Kupang, Pulau Timor. Tak hanya menewaskan empat penumpang dan melukai tiga lainnya serta teknisi Van Romondt, kargo berlian senilai 20 ribu poundsterling itu juga hilang.
“Teknisi Van Romondt berusaha mengamankan paket berlian itu dari bangkai pesawat tapi ketika sudah ada di tangannya, hilang lagi ketika ia tersapu ombak,” kenang Smirnoff dalam memoarnya, De Toekomst heeft Vleugels.
Van Romondt sendiri akhirnya tewas karena luka tembaknya. Pun tiga penumpang sipil lain, termasuk seorang bayi. Adapun delapan penumpang serta kru, termasuk Smirnoff, masih selamat dengan luka-luka. Mereka jadi korban terakhir dalam Serangan Broome sejam sebelumnya. Satu dari tiga penyerbu Zero tadi juga dipiloti Letnan Zenjirō Miyano, komandan operasi Dai 3 Kōkūtai (Grup Udara ke-3) yang turut memimpin delapan pesawat Zero lain yang menyerbu dermaga di Teluk Roebuck dan Bandara Broome.
Baca juga: Mengubah Hayabusa menjadi Garuda Tak Sekadar Meluruskan Sejarah
Teror di Langit Australia Barat
Dai 3 Kōkūtai dari Kaigun (Angkatan Laut/AL Jepang) merupakan salah satu kekuatan tempur di kapal induk Hōshō. Tetapi usai ofensif Jepang menguasai bagian barat Pulau Timor medio Februari 1942, ia dipindahkan sementara ke pangkalan darat di Kupang. Dari Pulau Timor pula Jepang kemudian merongong pesisir utara dan barat Australia. Tujuannya untuk mencegah Sekutu memberi bantuan militer seiring gerak ofensif pasukan darat Jepang ke Pulau Jawa.
Serangan Broome jadi raid kedua yang dilancarkan Jepang. Sebelumnya, sekitar 242 pesawat pembom medium Jepang yang berbasis di empat kapal induk di perairan Pulau Timor melancarkan Pemboman Darwin (19 Februari 1942). Serangan udara dengan dua gelombang itu memakan 236 korban jiwa dan sekitar 400 lainnya terluka, serta menenggelamkan 11 kapal perang armada gabungan Sekutu, ABDA (Amerika Serikat, Belanda, Australia, Inggris).
Serangan Broome jadi operasi kedua dengan tujuan mencegah serangan balik Sekutu dan mengganggu suplai militer Sekutu saat pasukan darat Jepang menginvasi Pulau Jawa sejak 1 Maret 1942. Setidaknya itu gambaran umum yang diberikan Letkol Takeo Shibata, atasan Letnan Miyano yang kemudian diteruskan sang komandan operasi dalam taklimatnya kepada delapan pilotnya di Lanud Penfui (kini Lanud El Tari Kupang) pada dini hari, 3 Maret 1942.
Baca juga: Ketika JFK Nyaris Meregang Nyawa di Perang Pasifik
Karena operasi serangannya tergolong jarak menengah, maka delapan alutsista yang diandalkan adalah A6M2 Model 21, varian pesawat Zero dengan jarak tempuh lebih jauh karena dilengkapi sepasang tangki bahan bakar eksternal di kedua sayapnya dengan muatan 520 liter (internal) dan 320 liter (eksternal). Adapun persenjataan pesawat yang bisa melesat dengan kecepatan maksimal 553 km/jam (288 knot) masih pada standarnya berupa sepasang senapan mesin Type 97 kaliber 7,7 mm di moncongnya dan sepasang senapan mesin Type 99-1 Mk.3 kaliber 20 mm di kedua sayapnya, tanpa membawa bom karena kebutuhan penghematan bahan bakar pada jarak tempuhnya. Sementara satu alutsista, pesawat Mitsubishi Ki-15 “Karigane” varian C5M2 bertindak sebagai pesawat pengintai.
“Perjalanan bolak-balik dari Penfui ke Broome bisa mencapai jarak 1.600 kilometer dengan target yang dibatasi. Shibata memastikan para pilotnya menerima taklimat yang komprehensif dan mendetail. Shibata menaruh kepercayaan penuh pada komandan operasinya, Letnan Zenjirō Miyano yang meski masih muda, 26 tahun, tapi sudah punya pengalaman misi tempur di China dan Filipina,” ungkap Ian W. Shaw dalam The Ghosts of Roebuck Bay.
Pukul 7 pagi, tiga rombongan pimpinan Miyano itu berangkat dari Kupang dengan formasi “V” yang masing-masing terdiri dari tiga pesawat. Miyano ditemani dua wingman-nya terbang dengan ketinggian yang lebih tinggi untuk mengamati serangan dari dua formasi lainnya.
Salah satu targetnya adalah Teluk Roebuck. Perairan di utara kota Broome itu punya dermaga buatan yang jadi basis pendaratan pesawat-pesawat amfibi Sekutu setelah membawa para pelarian sipil dan militer dari Jawa via Cilacap. Target lainnya adalah Bandara Broome yang jadi basis pesawat-pesawat angkut militer dan pesawat-pesawat sipil yang juga membawa para pengungsi sipil dan militer dari Jawa via Bandung dan Yogyakarta.
“Masing-masing dua formasi itu diperintahkan setidaknya melancarkan serangan terbatas selama 10 menit pada target-target yang ditentukan. Miyano memimpin skadronnya untuk terbang dari Kupang pukul 7 pagi dengan rute ke selatan melintasi Samudera Hindia. Dua jam dan 20 menit kemudian Broome sudah dalam jangkauan Miyano,” tambahnya.
Baca juga: Membidik Nyawa Panglima Perang Asia Timur Raya
Serangan dua formasi itu pecah serentak sekira pukul 9.20 pagi. Baik di Teluk Roebuck tempat berkerumunnya sejumlah pesawat amfibi RAAF (Angkatan Udara Australia) dan Bandara Broome, basis pesawat-pesawat angkut sipil maupun militer Belanda dan Australia, serta pesawat pembom USAAF (Dinas Udara Angkatan Darat Amerika Serikat).
Sekitar 22 pesawat di Bandara Broom hancur lebur. Satu di antaranya sebuah pesawat pembom berat Consolidated B-24 “Liberator” milik USAAF saat hendak lepas landas. Pesawat itu penuh sesak dengan para pasien militer yang hendak dievakuasi hingga akhirnya pesawat Liberator itu jatuh di 16 kilometer lepas pantai Broome dan menewaskan hampir 20 orang. Lainnya adalah pesawat-pesawat yang masih terparkir di bandara, di antaranya dua pembom berat Boeing B-17 “Flying Fortress” Amerika, dua pesawat pembom ringan Lockheed Hudson milik RAAF, dan satu pesawat angkut milik ML-KNIL (Angkatan Udara/AU Tentara Kerajaan Hindia Belanda) yang diteror tembakan-tembakan Zero tanpa perlawanan lantaran saat itu tidak ada satupun pesawat tempur yang bersarang di Bandara Broome. Satu-satunya perlawanan sekadar secara sporadis dengan senjata-senjata seadanya dari darat, di mana setidaknya satu pesawat Zero sempat tumbang usai ditembaki senapan mesin ‘copotan’ dari pesawat Liberator.
Kehancuran alutsista Sekutu juga tak kalah besar di Teluk Roebuck. Tercatat 15 pesawat amfibi luluh lantak, di antaranya delapan pesawat amfibi Consolidated Model 28 alias PBY Catalina milik RAAF, AL Amerika, RAF (AU Inggris), dan Marineluchtvaartdienst (MLD/AL Belanda), dua pesawat amfibi Short Empire milik RAAF dan maskapai sipil Qantas, serta lima lagi pesawat amfibi Dornier Do 25 milik MLD. Di sinilah horor serangan Jepang itu menyisakan dampak terdalamnya karena tak sedikit korban jiwa sipil.
“Dengan sekira 57 pesawat yang berlalu-lalang tiba dan berangkat dalam sehari, fasilitas dermaga kelebihan batas tampung. Dermaga itu juga penting untuk pengisian bahan bakar yang fasilitasnya pompanya bekerja tanpa henti selama 12 jam sehari,” ungkap Tom Womack dalam The Dutch Naval Air Force Against Japan: The Defense of the Netherlands East Indies, 1941-1942.
Baca juga: Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian I)
Seorang navigator MLD, Sersan Rudolf J. ‘Rudi’ Idzerda, turut jadi saksi matanya. Ia memang bukan bagian dari personel MLD yang mengawaki PBY Catalina yang mengevakuasi pengungsi dari Jawa. Saat itu ia sekadar transit di Broome dari Surabaya untuk mengisi bahan bakar sebelum terbang kembali ke Melbourne. Ia sempat syok ketika formasi Zero menembaki Teluk Roebuck yang penuh pengungsi dan pesawat hingga bak lautan api lantaran bahan bakar yang tumpah ke perairan turut terbakar hebat.
“Dari bibir pantai, Idzerda mengajak rekan operatior radio mendayung sampannya ke perairan. Apa yang terjadi berikutnya takkan pernah bisa dilupakan Idzerda. Ia mendapati seonggok kepala hitam mengapung di air. Ia menceburkan diri untuk membantu korban yang sempat ia sangka seorang pengungsi (warga) Jawa. Tapi rupanya bukan. Dia seorang perempuan Belanda yang mengalami luka bakar begitu hebat sehingga kulitnya menghitam dan melepuh. Ia masih hidup saat diselamatkan dan menangis hebat karena kehilangan anaknya,” sambung Shaw.
Horor lain juga terdapat di dua pesawat Catalina milik Wing Patroli 10 USAAF yang masing-masing disesaki 30 pengungsi dan baru tiba dari Cilacap. Keduanya hancur dengan menewaskan belasan orang. Nasib serupa dialami dua Catalina dari Skadron 205 RAF yang juga mengangkut para pengungsi dari Cilacap.
Penyelamatan heroik lain juga coba dilakukan seorang kelasi Aborigin, Charlie D’Antoine. Di bawah desingan peluru Zero dan di atas ancaman hiu, D’Antoine memberanikan diri berenang di perairan yang juga sudah tercemar bahan bakar itu.
“Tanpa ragu ia masuk ke air karena ia perenang yang handal dan mengenal pasang-surut Teluk Roebuck dengan baik. Kekhawatirannya hanya Zero di atasnya dan hiu-hiu di bawah air. Ia mendengar jeritan seorang perempuan Belanda yang kesulitan bertahan mengapung di air. D’Antoine segera berenang ke arahnya,” lanjut Shaw.
D’Antoine kemudian beruntung menemukan sampan yang tercecer. Dalam perjalanan ke daratan, D’Antoine mendapati dua korban lagi dan menyelamatkan pula mereka ke sampan.
Pihak penyerbu hanya kehilangan satu pilotnya tewas, Kopral Osamu Kudo. Pesawat Zero-nya dimangsa senapan mesin copotan tadi. Sedangkan pihak Sekutu, selain 22 pesawat berbagai jenis hancur, sekitar 88 jiwa –sipil maupun militer– melayang.
“Sungguh pemandangan horor kehancuran yang begitu hebat. Pesawat-pesawat amfibi kami hancur di balik kepulan asap hitam. Bahan bakar yang tertumpah turut terbakar di lautan. Banyak yang tumbang disapu rentetan tembakan (Zero). Termasuk beberapa pesawat Dornier Belanda yang penuh sesak dengan perempuan dan anak-anak yang mestinya selamat tapi hancur saat hendak lepas landas,” kenang Letda Frank Russell, kru RAAF-penyintas, dikutip Mervyn W. Prime dalam Broome’s One Day War: The Story of the Japanese Raid on Broome 3rd March 1942.
Baca juga: Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian II – Habis)